Banyak orang berpikir, DNA adalah bukti absolut. Tapi penelitian hukum forensik justru memperingatkan sebaliknya. Dalam artikel akademik "Forensic Evidence in Arizona" karya Valena Beety, dijelaskan bahwa laboratorium kriminal di AS pun pernah menjadi sarang manipulasi.
Contohnya: Kasus Joyce Gilchrist,  seorang analis forensik di Oklahoma, yang  memalsukan hasil DNA dan berkolusi dengan jaksa untuk menyembunyikan bukti yang bisa membebaskan terdakwa. Hasilnya? Orang yang mungkin tak bersalah malah duduk di kursi mati.
Kasus Ray Krone di Arizona, dijuluki "Snaggletooth Killer", yang dihukum mati karena bukti gigitan palsu. Bertahun-tahun kemudian, "DNA sungguhan" Â justru membuktikan ia tidak bersalah.
Pelajaran satirnya jelas: bahkan "bukti ilmiah" bisa dipakai sebagai senjata politik, alat balas dendam, atau sekadar tiket promosi bagi pejabat hukum.
 Bias di Balik Mikroskop
Masalah terbesar bukan hanya pemalsuan langsung, tapi juga  "bias manusia" yang mengoperasikan mesin.
-Analis forensik yang bekerja di bawah polisi bisa secara psikologis terdorong untuk menghasilkan data yang "menguntungkan jaksa".
- Tekanan institusional bisa membuat ilmuwan laboratorium lebih mirip tukang servis: kerjakan sesuai pesanan, jangan banyak tanya.
Di sinilah satire menemukan panggungnya. Kita membayangkan seorang ilmuwan forensik berdiri di depan PCR machine, lalu berbisik:
> "Tuhan, hari ini bos maunya hasil positif atau negatif?"
Jika bosnya politisi, jawabannya mungkin sudah bisa ditebak.
DNA di Indonesia: Antara Ilmu dan Drama
Mari kita tarik kembali ke kasus Ridwan Kamil. Publik heboh bukan karena ingin memahami metodologi PCR, melainkan karena haus akan drama. "Apakah benar? Apakah palsu? Siapa yang bohong?"---pertanyaan yang sebenarnya lebih cocok untuk sinetron jam 7 malam daripada jurnal sains.