Ada rahasia kecil yang tersembunyi di setiap gelas anggur, segelas bir, bahkan jus jeruk yang jernih. Rahasia itu bukan hanya pada buah yang diperas, biji yang difermentasi, atau air yang disuling. Rahasia itu bernama enzim. Kata ini sederhana, tetapi ia adalah salah satu penemuan paling berpengaruh dalam sejarah sains modern. Wilhelm Khne, seorang fisiolog Jerman pada abad ke-19, memberinya nama dari bahasa Yunani: en zyme, "di dalam ragi".
Sejak itu, enzim seperti tokoh senyap dalam drama kehidupan: tak terlihat, tetapi menggerakkan seluruh cerita. Ia bekerja tanpa lelah, membelah, merangkai, mempercepat. Di tubuh kita, ia mengubah makanan jadi energi. Di laboratorium, ia menjelma jadi biokatalis yang membuat industri pangan lebih efisien. Dan di dunia anggur, bir, serta minuman fermentasi, ia adalah seniman tak kasatmata yang memberi warna, aroma, dan rasa.
Enzim, singkatnya, adalah penyair kimia. Ia menulis puisi di dalam tong fermentasi.
1. Dari Buah Anggur ke Gelas Wine
Kita bisa memulai dari pemandangan sederhana: kebun anggur di musim gugur. Buah-buah ranum dipetik, dihancurkan, lalu dimasukkan ke dalam tangki. Dari situ, kerja enzim dimulai.
Ada enzim yang hidup di kulit buah, ada yang dibawa oleh jamur dan bakteri, ada pula yang ditambahkan oleh manusia lewat bubuk komersial. Masing-masing punya peran seperti pemain orkestra. Pektinase misalnya, memecah dinding sel buah agar sari anggur lebih mudah keluar. Glukosidase melepaskan senyawa aromatik dari ikatan gula, agar wangi bunga dan buah bisa tercium dalam segelas wine.
Bayangkan: tanpa enzim, anggur merah mungkin tak akan berwarna sepekat itu. Aroma bunga violet yang samar mungkin tak akan muncul. Dan tekstur yang lembut di lidah mungkin tak akan terasa. Enzim seperti penyair yang menyingkap makna tersembunyi dalam sebuah kata. Ia membuka pintu kecil dalam molekul, lalu membiarkan aroma dan rasa menyembur keluar.
2. Fungi, Ragi, dan Teater Mikroba
Di balik segelas bir dingin, ada drama lain. Para pemainnya: jamur, ragi, dan bakteri. Saccharomyces cerevisiae, si ragi klasik, sudah ribuan tahun menjadi buruh setia manusia. Ia mengubah gula menjadi etanol dan karbon dioksida. Tetapi di balik pekerjaannya yang sederhana, enzim-enzimnya memainkan melodi kompleks.
Dari jamur Aspergillus niger lahir berbagai enzim: dari amilase yang memecah pati, hingga lipase yang bisa memodifikasi aroma wine. Dari Trichoderma reesei muncul xilanase dan glukanase yang memperlancar proses klarifikasi. Bahkan bakteri asam laktat, si penghuni senyap dalam tong anggur, menghasilkan enzim malolaktat yang mengubah rasa asam menjadi lebih lembut.
Proses ini sering disebut malolactic fermentation. Bukan sekadar istilah teknis, melainkan sebuah metafora: rasa keras (malat) diubah jadi rasa lembut (laktat). Seperti manusia yang belajar melunakkan kata-katanya setelah bertahun-tahun pengalaman. Wine, dalam hal ini, seolah belajar dari bakteri bagaimana cara menua dengan anggun.
3. Komersialisasi: Dari Laboratorium ke Pabrik Minuman
Namun manusia tak puas hanya dengan enzim alami. Seiring berkembangnya bioteknologi, kita belajar memproduksi enzim secara massal. Enzim yang dulu hanya ada sedikit di dalam buah, kini bisa diciptakan dalam jumlah besar dengan bantuan mikroba yang direkayasa.
Enzim komersial hari ini hadir dalam bentuk bubuk putih atau cairan bening, dikirim dalam drum logam ke pabrik-pabrik wine, bir, atau jus. Mereka bekerja dengan lebih efisien, lebih stabil, dan lebih mudah dikendalikan. Pektinase untuk meningkatkan hasil perasan buah, glukanase untuk mempercepat klarifikasi, protease untuk memperhalus tekstur.
Di satu sisi, ini adalah kemenangan sains: produksi meningkat, energi hemat, limbah berkurang. Tapi di sisi lain, ada pertanyaan filosofis yang muncul: apakah wine yang dibuat dengan bantuan enzim komersial masih bisa disebut "alami"? Apakah rasa yang kita minum masih murni berasal dari kebun, atau sudah menjadi produk rekayasa laboratorium?
Pertanyaan ini mirip dengan kegelisahan kita pada makanan modern: ayam broiler yang tumbuh cepat, tomat yang tahan lama, atau kopi instan yang seragam rasanya. Kita ingin efisiensi, tetapi kita juga merindukan keaslian.
4. Aroma, Rasa, dan Ingatan
Bicara enzim dalam minuman berarti bicara soal aroma. Bau adalah pintu ke ingatan, kata Proust. Dari sepotong kue Madeleine ia bisa mengingat seluruh masa kecilnya. Dalam wine pun sama: aroma bisa membawa kita kembali ke kebun anggur di Bordeaux, ke pesta pernikahan di desa, atau ke percakapan intim di kafe kecil.
Enzim berperan besar dalam hal ini. Glukosidase membebaskan aroma terpen---senyawa yang memberi wangi bunga mawar atau jeruk. Esterase membantu membentuk aroma buah tropis atau apel hijau. Bahkan tannase, enzim yang memecah tanin, bisa mengubah sensasi astringen menjadi lebih lembut.
Setiap tegukan, dengan demikian, adalah hasil kerja enzim. Ia bukan sekadar rasa kimia, tetapi semacam puisi yang ditulis dalam molekul.
5. Dari Dapur Tradisional ke Bioteknologi Modern
Jika kita mundur sejenak, sebenarnya manusia sudah lama menggunakan enzim tanpa menyadarinya. Orang Jepang dengan miso dan soya sauce-nya memakai jamur Aspergillus oryzae. Orang Jawa dengan tempenya bergantung pada enzim dari Rhizopus oligosporus. Orang Eropa dengan keju birunya mengandalkan Penicillium roqueforti.
Kini, dengan sains modern, kita hanya memberi nama dan memperhalus tekniknya. Apa yang dulu dilakukan oleh nenek moyang di dapur tanah liat, kini dilakukan oleh para ilmuwan di laboratorium steril.
Tetapi ada kesinambungan yang menarik: dari tungku sederhana sampai pabrik raksasa, dari intuisi tradisional sampai rekayasa genetik, manusia selalu berhubungan dengan enzim. Kita hidup bersama mereka, entah disadari atau tidak.
6. Masa Depan: Enzim, Keberlanjutan, dan Etika
Artikel yang menjadi dasar tulisan ini menyebut satu tren penting: enzymatic engineering. Enzim kini bisa dimodifikasi agar lebih tahan terhadap pH rendah, suhu tinggi, atau kadar alkohol tinggi. Ada pula teknik enzim imobilisasi, di mana enzim ditempelkan pada permukaan padat sehingga bisa dipakai berulang kali, hemat biaya, ramah lingkungan.
Bahkan ada konsep extremozymes, enzim yang berasal dari mikroba di lingkungan ekstrem---gunung berapi, dasar laut, atau Antartika. Mereka membawa sifat unik: tahan panas, tahan garam, tahan tekanan. Bayangkan jika suatu hari wine difermentasi dengan enzim dari bakteri laut dalam; mungkin kita akan mencicipi aroma yang belum pernah dikenal manusia.
Namun di balik euforia ini, ada bayangan skeptisisme. Apakah konsumen siap menerima minuman yang dibuat dengan enzim hasil rekayasa genetika? Apakah kata "alami" masih punya makna ketika hampir semua proses dikendalikan laboratorium?
7. Renungan Penutup: Enzim sebagai Metafora
Menulis tentang enzim membuat kita sadar bahwa sains tak pernah berdiri sendiri. Ia selalu bersinggungan dengan rasa, ingatan, bahkan moralitas. Enzim adalah katalis, mempercepat reaksi. Tetapi ia juga bisa menjadi metafora tentang kehidupan manusia.
Kita semua, dalam hidup ini, membutuhkan "enzim" tertentu---sesuatu yang mempercepat perjumpaan, memperhalus konflik, melepaskan aroma yang tersembunyi dalam diri. Kadang enzim itu berupa sahabat yang mendengarkan, kadang berupa buku yang memberi pencerahan, kadang berupa cinta yang mengubah segalanya.
Dalam segelas wine, kita belajar bahwa yang pahit bisa diubah jadi lembut, yang samar bisa jadi wangi, yang keruh bisa jadi jernih. Semua berkat kerja senyap enzim. Dan mungkin, di situlah sains bertemu dengan puisi.
Epilog
Seorang penyair pernah berkata, "Hidup ini tidak lebih dari fermentasi panjang." Enzim adalah aktor utama fermentasi itu. Mereka tidak hanya mengubah jus anggur menjadi wine, tetapi juga mengajarkan kita bagaimana waktu bekerja: menghaluskan, memperkaya, dan memberi kedalaman.
Maka lain kali Anda menyesap segelas bir atau wine, ingatlah: di balik rasa itu, ada jutaan enzim yang pernah bekerja dalam senyap. Mereka adalah puisi kimia, ditulis di dalam tong, lalu sampai ke bibir Anda.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI