Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan yang Meneguk Senja di Hari Pernikahan

6 November 2018   13:14 Diperbarui: 17 November 2018   23:05 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Pixabay

Aku titisan Hawa, yang bersama kamu terusir dari surga. Cinta, bukan kata yang tepat menggambarkan kita. Tragedi, lebih mendekati.

Kita berdua adalah cerita yang berjalan terlampau rapuh. Dari kota dengan debur ombak yang selalu riuh. 

Kota yang menyimpan masjid megah di tepian pantainya, menghadap senja. Menghadap akhir pengembaraan manusia.

Akhir kita.

"Ini senja untuk kamu bawa. Simpan dalam hati," katamu sembari menyodorkan sebotol besar berisi kilauan jingga dari jantung Losari. Aku tersenyum, aku mengerti kamu sedang meniru Sukab.

Tapi, sadarkah kamu bahwa Alina tak pernah mencintainya? Sementara aku ... entahlah.

Kuambil botol berkilau itu dan meletakkannya di dalam tas. Kamu tampak tidak senang dan bertanya, "Kenapa bukan di dalam hati?"

"Hatiku penuh denganmu."

Kamu diam. Aku berharap lebih, namun wajahmu datar saja. Aku juga.

Senja yang sayu bukan ambisiku, harusnya kamu tahu. Tapi kamu tidak peduli, tidak pernah mau.

Kita, memang pernah membuat geger para pecinta. Kamu gelombang, aku angkasa. Namun, sudah saatnya orang-orang sadar bahwa mata bukan alat pencari kenyataan dan kebenaran. Tidak perlu kita tipu, mereka telah menipu diri sendiri. Dan kita, cukup saling melempar sendu.

Kebahagiaan masih lama. Begitu pula cinta.

Aku berbalik dan menjauh ditemani sebotol senja dalam tas ransel. Berat. Langkahku melambat, lalu terhenti.

Tanpa menoleh, aku bertanya padamu, "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?"

"Apa pun yang kamu inginkan."

"Bagaimana dengan keinginanmu?"

"Sudah tak penting lagi."

Angin laut membisikkan kabar tentang kegetiran yang tak mau aku dengar.

Jari-jariku gemetar, menginginkan waktu membeku diam menyisakan lautan menggelegak sendirian. Menenggelamkan resah-resah yang tumpah ruah di tanah dan di awan.

Kita akan menikah sepuluh hari lagi, namun kaki kita malah semakin terseok dari hari ke hari. Sukarela menuju tiang gantungan. Martir hati.

"Apakah senja ini akan menyelamatkan kita?"

Kamu tidak menjawab pertanyaanku. Aku tahu, kamu memilih segera hilang. Hanyut dan tenggelam. Lebih baik, aku juga bergegas pergi menuju tepi galaksi.

Apakah ... kisah cinta kita telah gagal sebelum dimulai? 

Ketika kautemukan, aku tak lebih dari perempuan malang yang ingin melihat bintang-bintang di dasar lautan. Dan kamu, laki-laki senja yang lenyap ketika malam. 

Percakapan kita selalu berulang dan tidak pernah menemui jalan keluar.

"Aku ingin ikut kamu ke dasar laut."

"Buat apa?"

"Aku ingin melihat bintang."

"Bintang ada di langit, bukan lautan."

"Bohong, aku yakin ada bintang-bintang di kedalaman yang jauh."

Kamu menganggapku aneh, tidak rasional. Sementara aku tetap bersikeras ikut tatkala kamu lagi-lagi menyaru laksana karang. 

Bukan, bukan tanpa alasan. Pernah dua kali, aku melihat serpihan bintang di sakumu. Masih berpendar. Kamu pasti pernah berenang-renang di antara mereka. Bintang-bintang itu.

Ah, hanya saja kamu bukan laki-laki yang mudah luluh. Kita berada jauh dan kisah-kisah enggan menjadi utuh. Tapi, syukurlah kita punya ruang hampa yang bisa menjadi tempat berkumpulnya rapalan doa.

Kita memelihara cinta di sana.

Dulu.

***
Terhitung lima hari dari sekarang.

Seharusnya, rasa cemas boleh hadir menjelang acara pernikahan. Tapi jika sampai membunuh kebahagiaan, tentu sudah keterlaluan. 

Aku harap, keajaiban akan terjadi ketika kita mengucap janji.

Aku mengeluarkan botol berisi senja dari dalam tas yang terkulai di lantai kamar. Ruangan tanpa jendela ini diselimuti cahaya jingga, gradasi merah, dengan semburat lembayung indah. 

Rindu sudah tiba di sini. Aku jadi ingin bertemu denganmu di tengah malam yang dingin nanti.

Dingin. Seperti kita sekarang.

Perlahan, kutuangkan senja darimu ke dalam gelas-gelas kaca. Kujajarkan bersama senja lain di atas meja. Aku siap meminum semuanya di hari pernikahan kita. 

"Karena begitu cara mainnya," katamu. Aku menurut saja.

Ratusan undangan telah disebar. Gedung dan katering sudah terbayar. Tidak ada yang kurang dari persiapan kita menggelar perhelatan. 

Kecuali rasa, kecuali cinta, kecuali bahagia.

Kita, dua orang keras kepala yang rela melakukan apa saja demi cerita dengan akhir sempurna. Kita tidak suka menerka. Kita tidak suka berhenti, lalu berduka.

Kita harus menyelesaikan kisah ini meski luka membuat perih. Meski nanti, pelaminan kita harus dikelilingi tangis yang mengiris. Air mata kita, dan semua tamu undangan akan membanjiri kota. Memancing durjana dan meluruhkan awan-awan renjana.

"Apakah kamu mencintainya?" Sebuah cermin di belakangku bertanya.

"Masih perlukah cinta?"

"Tentu saja, kekuatan cinta mampu menggerakkan semesta."

"Sejak dulu, cinta kami tidak membuat semesta berbaik hati."

Cermin itu diam, bersungut. Aku melengos tak peduli. 

Cinta kami selalu mengkhianati hampir semua rencana. Dengan hati yang telah mati rasa, aku menyadari ada kekuatan lain yang mengendalikan gerak-gerik semesta lebih daripada cinta. 

Lebih daripada sekadar cinta.

***

Dan, hari yang bermasalah itu tiba.

Aku memasuki ruangan, sudah tidak sabar membuat pertunjukkan. Ini hari pernikahan kita, hari berduka bagi mereka yang kita kenal. 

Kamu di sana, menyambut pagi yang menjelang. Aku di sini, di kota dengan fajar yang selalu buram. Masih pukul enam pagi, purnama masih ada.

Tangisan orang-orang tak membuat aku gentar. Aku mati rasa. Kamu juga. Ini hari pernikahan kita, tapi kita berada di tempat yang berbeda.

Dua orang perempuan berbisik-bisik di sudut ruangan.

"Jadi, ini bagaimana ceritanya?"

"Iya, mereka sebar undangan pernikahan bulan lalu kan, kamu dapat?"

"Undangan warna hitam itu? Iya, dapat. Lalu, bagaimana?"

"Mereka kan sudah bertemu di rumah mempelai wanita di Jakarta, lalu mereka berdua hendak ke rumah mempelai pria di Pangkal Pinang.  

Tapi ya, kamu lihat sendiri di berita. Mereka hilang pada kecelakaan JT610 itu."

"Hah, dua minggu menjelang pernikahan?"

"Iya, baru ditemukan kemarin di perairan sekitar Makassar. Mereka berdua."

Salah satu dari mereka mengucap tahmid.

Aku memandangi mereka dengan wajah datar. Kugenggam erat dua gelas berisi senja di kedua tangan. 

Tepat pukul tujuh, kamu juga akan meneguk habis botol-botol yang sudah kuberikan. Berisi bintang dan cahaya bulan.

4... 3... 2... 1...

Aku menghabiskan delapan gelas senja. Orang-orang rusuh dan memandang ngeri pada cahaya keemasan yang memancar dari tubuhku. 

Kamu juga. Pasti tetanggamu akan gempar dengan bintang-bintang yang berkilatan itu. 

Tapi, tenang saja. Huru-hara yang terjadi di media-media dan linimasa akan hilang dengan segera.

"Bagaimana rasanya?" Tanyamu dengan tatapan hangat yang memikat.

"Bebas," jawabku seraya tersenyum semanis yang kumampu.

Kita menjadi sepasang pengantin pertama yang berikrar di atas samudra.

Perlahan-lahan, merasuki ruang hampa. Dan lalu, telah resmi menjadi serpihan kosmis yang maha romantis. 

***

N. Setia Pertiwi

06 November 2018

*Versi cerpen dari puisi dengan judul Sepasang Kekasih yang Berikrar di Atas Samudra.

*Cerpen ini pernah dimuat dalam blog Komunitas Obrolin dengan pseudonim Tan Panama, 10/9/17. Ditulis ulang oleh penulis dengan sedikit perubahan pada isi dan judul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun