Sore itu, aku duduk di bawah pohon rindang dekat gerbang kampus. Ditemani oleh temanku semasa SD yang ternyata juga satu kampus denganku, Didit namanya.
Ketika itu Didit tidak sendirian, ada beberapa teman sekelasnya yang nimbrung dan ikut mengobrol dengan kami.
Kulihat jalan raya di seberang sana mulai tersendat, aku pun beranjak dari tempat dudukku, berniat untuk pulang saja. Tapi, tak lama aku justru kembali lagi dan melanjutkan obrolan tadi sambil berdiri di antara mereka.
Kami masih terus mengobrol dan tertawa, entah apa saja yang kami bahas saat itu. Sampai saatnya aku benar-benar harus pamit lebih dulu.
"Eh, udah ya! Udah sore banget ternyata."
Namun, sebuah motor yang sama sekali tidak keren, berhenti tepat di hadapan kami. Bagiku, saat itu adalah pertama kalinya aku melihat ada cowok seculun ini di kampus.
Sudah pipinya bulat, tak jelas pula potongan rambutnya model apa, jaketnya pun kebesaran, tapi dari tatapan matanya, aku bisa menebak dia anak baik-baik. Lalu tiba-tiba saja, Didit membuyarkan lamunanku.
"May, pulang bareng dia nih! Dia mau ke arah rumah lo."
"Oh, beneran mau ke arah sana? Gue nebeng ngga apa-apa?"
"Iya, santai aja! Ini temen sekelas gue." jawab Didit sambil menepuk-nepuk pundak cowok itu.
"Ayo Mbak, kalau mau bareng!"
"Hahaha, namanya Maya. Dia seangkatan sama kita, lo ngga usah panggil Mbak segala! Eh May, buruan naik!"
"Beneran nih ngga apa-apa? Nanti ceweknya marah ngga?" tanyaku berbasa-basi sebelum naik ke motornya. Tapi, dia hanya menjawabku dengan tawa.
Padahal, mungkin aku sendiri yang akan kena masalah jika pacarku sampai tahu, aku mau saja diantar pulang oleh orang asing.
Akhirnya, kami sudah cukup jauh dari kampus, dan kami hanya saling terdiam. Tapi, aku rasa dia memang pendiam, atau mungkin dia pemalu. Kucoba saja untuk membuka perbincangan, dan barulah saat itu aku mengetahui bahwa dia bernama Angga.
Sepanjang jalan, kami cukup banyak berbincang. Sampai akhirnya perbincangan itu harus berakhir ketika aku sudah sampai lebih dulu, dan turun di depan rumahku.
Hingga dua bulan pun berlalu, tanpa kusadari rasa ini telah bertumbuh dengan begitu suburnya, sejak.. Sejak suatu ketika Angga mengantarkanku pulang di bawah guyuran hujan deras, dan.. dia mengecup hangat bibirku, sesaat sebelum aku masuk ke dalam rumah.
Aku tak sanggup melupakannya, aku hampir gila dibuatnya. Seluruh otakku hanya dipenuhi dengan Angga, dan di telingaku selalu terngiang kata cinta yang dia sampaikan hari itu. Sampai akhirnya, aku yakin untuk mengakhiri hubunganku dengan Handy, pacarku sejak SMA.
Angga telah membuatku jadi pengkhianat. Tapi anehnya, aku tak pernah merasa bersalah, aku justru bahagia setiap kali dapat melewati waktu bersama Angga.
Segalanya terasa manis, dunia begitu romantis, dan kami terlena, terhanyut di dalamnya. Dan tak pernah kubayangkan sebelumnya, bahwa aku akan berbadan dua sebelum ikrar janji suci diucapkan.
Tapi kini, inilah kenyataan yang harus kuhadapi. Tidak, bukan hanya aku, tapi juga Angga. Tak terpikir olehnya untuk pergi dari tanggung jawab. Bahkan di luar dugaan, Angga sungguh bahagia mendengarku mengandung anaknya.
Aku tak pernah menyesali pertemuan kami. Aku tahu, cara kami mungkin salah di mata banyak orang, tapi.. ada seribu alasan yang membuatku yakin untuk melanjutkan masa depan bersama Angga, dan juga anak ini.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI