Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Gadis Barista (Bagian 4 - 5)

28 Desember 2023   12:05 Diperbarui: 28 Desember 2023   12:07 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bagian 4

Lega sekali rasanya baru bisa terbebas dari kemacetan jalan yang luar biasa. Kenapa hari Senin selalu seperti ini ya.. Hmm, aku heran. Aku meninggalkan kedai tepat pukul empat sore. Dan setiba di rumah langit sudah gelap, pukul enam lewat sepuluh menit. Blok M -- Pasar Minggu hampir dua jam. Hmm, bagus.. Lama-lama aku bisa tua di jalan.

Aku menghela nafas sekali lagi seraya duduk sejenak di depan televisi. Aku lihat, Mama baru saja beranjak ke dapur. Sepertinya, beliau akan mengambil sesuatu dari kulkas. Tampak ekspresi wajahnya terlihat dari samping, sedang mencari-cari sesuatu.

"Nah. Ini dia.. Kenapa aku geser ke dalam tadi." Mama sedang bicara pada dirinya sendiri ketika berhasil menemukan sesuatu yang dicarinya. Mama membopong gelas mug tinggi yang tembus pandang ke arahku. Terlihat isinya berwarna kuning dan ada cokelat-cokelat di atasnya.

"Apaan tuh Ma?"

"Nih, buat kamu. Smoothies tape oreo."


"Wih.. Seger.. Makasih Mama.." aku menerima gelas mug tinggi yang diberikan Mama kepadaku. Tepat sekali waktunya, benar-benar segar.

Aku menyisakannya setengah gelas dan mengembalikannya ke kulkas. Bisa kembung kalau langsung ku habiskan sekarang. Aku langsung pergi ke kamar mandi dan berniat merebahkan diri di ranjang setelah ku mandi.

Baru saja aku selesai dan masih berdiri di ambang pintu kamar mandi. Mama berteriak memanggilku. Aku menghampiri Mama yang berdiri di depan pintu kamarku.

"Iya Ma.. Kenapa?"

"Ada teman kamu. Cowok. Tuh di depan. Namanya He......"

"Hah? Henry?"

"Nah, betul. Henry."

Astaga.. aku baru memberikan alamat lengkapku tadi siang, sekarang dia sudah muncul di teras rumahku. Aku buru-buru saja ke depan, ingin memastikan apa betul Henry yang ada di teras. Dan ternyata, tidak salah lagi. Dia sedang berdiri memegangi helm birunya, menunduk menungguku datang dari dalam.

"Mas, untung ngga nyasar, sudah gelap gini." aku menyapanya seraya tersenyum simpul dan mempersilahkannya untuk duduk di kursi teras kami. Dia meletakkan helm miliknya di lantai, di samping kakinya. Aku pun menawarkan minuman untuknya.

"Kopi apa teh?"

"Air putih aja Mel.."

"Serius...?"

Henry mengangguk mengiyakan bahwa dia hanya ingin minum air mineral saja. Mungkin dia tahu seharian tadi aku sudah sibuk membuat kopi di kedai, jadi dia tidak mau merepotkanku lagi sekarang. Aku sigap mengambilkan sebotol air mineral dingin dengan satu buah gelas beling kosong. Lalu kemudian kembali ke teras dengan membopongnya.

"Ayo minum dulu. Tadi di depan masih macet kan?"

"Iya, lumayan juga macet ngga kelar-kelar." seraya menuangkan air mineral dari botol ke dalam gelasnya lalu menenggaknya. Tiba-tiba Mama muncul dari dalam, membawakan setoples kue putri salju.

"Ini lho Mel, kok temennya dikasih air aja.." Mama tersenyum pada Henry dan berlalu kembali ke dalam. Sedang aku telah menerima setoples kue dari tangan Mama.

"Ini Mas silahkan.. Maaf tadi aku ngga lihat ada kue ini di dalem." tanganku membukakan toplesnya dan memulai untuk lebih dulu mengambil kuenya agar dia tidak sungkan untuk mencobanya. "Ayo Mas, ambil.."

"Iya Mel, aku coba ya.." seraya dia mengambil kue putri salju itu dan melahapnya.

"Ini tanteku yang bikin, adiknya Mama. Enak kan?"

"Hmm.. Enak Mel.."

"Tanteku bikin kue sesuai pesanan aja. Tapi kadang kelebihan bikinnya, terus dibagiin ke sodara-sodaranya."

Henry mengangguk dan tersenyum mendengarkan aku bercerita soal kue putri salju yang dimakannya barusan. Aku langsung teringat untuk menanyakan tentang pekerjaannya.

"Oh iya ngomong-ngomong tempat kamu tuh kantor apa sih? Yang di pojok kan?"

"Iya yang cat biru. Kita konsultan keuangan, konsultan pajak, gitu lah.."

"Oh.. gitu.. Hehe"

Henry mengangguk dan melanjutkannya dengan pertanyaan untukku, "Kamu belajar bikin kopi di mana Mel? Kopi buatan kamu mantapp..." seraya mengacungkan salah satu jempolnya kepadaku.

"Aku ikut kursus dulu sebelum kerja di situ. Hehe. Ada sertifikat kelulusannya juga."

"Oh.. Kalau umur kamu sekarang berapa Mel?"

"Mau dua satu, tahun depan.. Kalau Mas Henry..?"

"Ya.. Lima tahun lah di atas kamu.. Dua enam."

Dari kejauhan aku melihat motor matic milik papa mengarah masuk ke pekarangan rumah. Haduh, Henry datang di waktu yang tidak tepat. Orang paling jahil di rumah ini sudah tiba. Habislah aku nanti dijadikan bahan ledekan. Aku bangkit dari kursi dan menghampiri papa di ujung teras. Setelah beliau letakkan helmnya menggantung di spion, beliau tersenyum dan melangkah ke arahku. Aku pun tersenyum menyapa papa seraya cium tangan padanya.

Di belakangku, rupanya Henry juga sudah berdiri menyambut kedatangan papa. Dia pun menyodorkan tangannya dan bersalaman dengan papa seraya tersenyum malu-malu.

"Ini Henry pa.. Teman aku."

"Halo Om.."

"Oh.. Iya iya.. Sudah lama?"

"Lumayan Om.."

"Saya tinggal ke dalem ya.. Teruskan ngobrolnya.. Silahkan.." papa memberikan senyum yang sangaaatt ramah kepada Henry. Apa tujuannya? Apa papa ingin memikat Henry lewat senyumannya? Hahaha.. Sudahlah..

Tanpa terasa obrolan kami sudah cukup memakan waktu malam ini. Kini sudah pukul sembilan lewat sepuluh malam. Henry berpamitan untuk pulang, namun ketika dirinya hendak pamit kepada Mama, yang terlihat hanyalah papa di pojok ruang televisi.

"Pa.. ini mau pamit. Mama mana?"

"Mama sudah tidur." papa menjawab pertanyaanku seraya bangkit dari posisinya yang sedang asyik selonjoran di karpet. Papa menghampiri tempatku dan Henry berdiri di ambang pintu. Tadinya Henry mau masuk menghampiri papa, tapi gelagat papa sudah mau beranjak duluan. Maka aku urung mengajak Henry ke dalam.

Henry berpamitan seraya mencium tangan papa. Papa pun menyambutnya dengan ramah serta mengucapkan hati-hati di jalan pada Henry. Oh iya, papa juga sempat berbasa-basi menanyakan pada Henry di mana rumahnya. Seusai perbincangan singkat antara papa dan Henry, Henry langsung tancap gas meninggalkan pekarangan rumah kami. Dan papa menggembok pintu pagar.

"Duluan ya pa.." aku beranjak masuk lebih dulu membiarkan papa sendirian menggembok pintu pagar.

"Heh.. Anak nakal! Habis pacaran, papanya disuruh nutup pintu."

Saat ini hanya tertawa yang menjadi jawaban paling aman dari ucapan papa barusan. "Haha haha.." aku buru-buru masuk ke kamar dan mengunci pintu kamarku. Tidak lupa aku membasuh wajahku dulu sebelum tidur. Ku rebahkan diriku di atas tempat tidur berseprai warna pink polkadot putih. Mataku belum begitu ngantuk, ku pandangi langit-langit kamarku. Wah.. Ada bayangan wajah Henry sedang tersenyum padaku.

"Huss!" aku segera menepis bayangan itu jauh-jauh dari halusinasiku. Aku memiringkan tubuh ke arah kanan. Memeluk guling, mulutku berkomat kamit membaca doa sebelum tidur sambil memejamkan kedua mata. Tidak butuh waktu lama, aku pun terlelap dalam dunia mimpi.

Sepertinya aku belum lama tertidur, belum sempat bermimpi apa-apa. Kenapa alarm ponselku sudah bersuara? Hmm.. Setelah ku amati dengan seksama dan penuh konsentrasi, ternyata memang sudah waktunya alarmku mengeluarkan suaranya yang heboh. Hari ini aku kebagian shift pagi lagi. Baguslah.. Kalau hari ini kebagian shift siang, mungkin malam nanti papa harus menjemputku lagi karena sepertinya Pak Iwan masih berada di kampung.

Rutinitas hari ini tidak akan jauh berbeda dari hari kemarin dan hari-hari sebelumnya. Aku harus bersemangat kembali hari ini. Setibanya aku pagi ini di kedai, bersama Rena dan Eka, kami bertiga mempersiapkan segala sesuatunya sebelum kedai siap dibuka untuk pelanggan.

Setengah jam kami membuka kedai, pelanggan pertama kami sudah tersenyum-senyum padaku dari jauh. Dari luar dia melangkahkan kakinya menuju pintu kedai seraya menatap dan tersenyum padaku.

Henry mulai datang pagi-pagi lagi ke sini. Ya, sekarang aku bisa menebak sebabnya. Mungkin dia memilih datang pagi-pagi kesini karena berpikir Mba Lidya tidak mungkin sepagi ini sudah ada di kedai. Meskipun semalam kami sama sekali tidak membahas soal Mba Lidya, tapi sepertinya tebakanku ini yang paling tepat.

"Biasa ya Mel.. Kemarin kan aku ngga ketemu sama kopi moka kamu."

"Oke deh.. Donat mau?"

"Iya satu aja."

Aku meminta tolong pada Eka untuk menyiapkan satu donat berisi selai kacang, yang merupakan donat favorit Henry. Lalu tiba-tiba Henry menyela kegiatanku menyiapkan kopi pesanannya.

"Eh Mel, pake gelas plastik aja. Aku ngga minum disini. Donatnya juga dibungkus aja. Sory ya Mel.."

"Oh.. Iya ngga apa-apa. Santai aja.."

Eka juga mendengar apa yang diucapkan barusan oleh Henry, dia menaruh kembali piring cepernya dan sigap mengambil bungkusan kertas warna cokelat untuk menampung donat milik Henry. Sontak hadir dalam pikiranku, boleh juga si Henry ini.. Eka yang sudah lama berteman denganku saja, belum pernah mampir sekalipun ke rumahku. Sedangkan dia, yang belum lama mengenalku, sudah tahu persis di mana letak rumahku. Luar biasa..

Henry pergi meniggalkan kedai setelah membayar pada Rena di kasir dan menerima semua pesanannya dari tanganku.

"Makasih ya Mel.."

"Oke deh.. Sama-sama.."

"Oh iya, nanti siang kita makan bakso yuk! Aku usahain jam setengah dua belas sudah bisa keluar kantor. Oke?"

Aku tersenyum seraya mengangguk. Henry pun melangkah keluar kedai menuju ke kantornya. Sepertinya dia mempercepat langkahnya, mungkin hampir kesiangan atau takut.... takut kalau bertemu Mba Lidya lagi. Hmm.. Kira-kira dia mau mengajakku makan bakso di mana ya siang ini? Setahuku bakso di sekitar sini yang paling dekat hanya ada di ruko seberang. Bisa jadi dia mau mengajakku kesana.

"Eka.." aku memanggilnya lirih seraya kami bergerak saling mendekat.

"Semalem Henry ke rumah aku."

Eka tampak membelalakkan matanya padaku, "Hah? Serius Mel?"

"Iya, aku juga keget. Dia ngga bilang mau dateng. Kemarin siang dia minta alamat lengkap, terus kan aku kasih, tapi aku juga ngga nyangka dia bakalan dateng malem itu juga."

"Haha.. Gila juga tuh orang. Itu sih sudah jelas Mel.. Dia suka sama kamu."

"Masa sih Ka? Dia kan belum lama kenal aku, kenapa bisa suka sama aku?"

"Itu namanya dari mata turun ke hati, Mel. Dia jatuh cinta sama pandangan pertama."

Aku malah terdiam setelah mendengar ucapan Eka, aku teringat akan diriku ketika dulu menyukai Rama. Aku dan dia tidak pernah saling mengenal, bahkan aku hanya mencuri pandang padanya, tapi aku merasa aku menyukainya saat itu. Apa yang dialami oleh Henry saat ini sama dengan yang ku alami kala itu? Tapi aku hanya sebatas suka pada Rama, bukan jatuh cinta. Lalu Henry kepadaku, bisa dikatakan apa? Ah.. Sudahlah..

Pagi menjelang siang, di kedai belum terlihat ada keramaian. Pengunjungnya masih biasa-biasa saja. Kursi-kursi yang kosong tampak imbang jumlahnya dengan kursi yang terisi oleh pelanggan. Di sela-sela waktu menunggu kedatangan pelanggan, aku dan Dion sesekali mengelap toples-toples kaca tempat menyimpan berbagai jenis bubuk kopi hasil gilingan. Kami juga bercakap-cakap membahas hal yang berhubungan dengan kopi.

"Waktu gue kursus, ada tuh peserta juga.. Grind sizenya medium coarse, dia malah nyeduh pake mokapot."

"Lah, terlalu kasar kali Mel.."

"Iya, kata pelatihnya mestinya pake clever dripper. Eh masa mukanya langsung kaya sedih gitu, mau nangis.."

"Hahaha.. Cewek emangnya?"

"Iya, padahal pelatihnya juga ngomong baik-baik Yon.."

Aku menatap arloji hitam di pergelangan tangan kiriku. Lima menit lagi, waktunya aku beristirahat makan siang. Aku mengecek ponsel di saku celemek hijauku. Henry belum mengabariku apapun. Dion mempersilahkan padaku untuk meninggalkan area barista sekarang, cuma kurang tiga menit katanya, pelanggan juga masih belum ramai. Aku pun bergegas pergi ke ruang belakang, ku tanggalkan atribut baristaku kemudian mencoba mengirim pesan pada Henry.

"Bisa keluar sekarang?"

"Ya Mel. Tolong tunggu di dekat mie ayam belakang ya. Nanti aku kesitu."

Setelah Henry membalas pesanku, aku pun beranjak keluar dari kedai lewat pintu samping. Aku berjalan santai menyusuri blok-blok ruko samping dan belakang. Belum sampai dekat kedai mie ayam, Henry sudah muncul. Dia memanggilku dari belakang. Jarak dari kantor Henry ke kedai mie ayam memang lebih dekat dibanding jarak dari kedai kopi kami.

Aku menoleh, membalikkan tubuhku ke arah datangnya suara Henry. Tampak Henry meninggalkan kedua orang temannya yang mungkin tadi berjalan beriringan dengannya. Henry mempercepat langkah kakinya untuk menghampiri tempatku berdiri.

"Jalan kaki aja ya Mel, makan bakso seberang ruko aja. Lumayan kok. Kamu sudah pernah belum?"

"Pernah, tapi ngga sering."

Kami berbincang-bincang sambil berjalan kaki beriringan. Hari ini Henry mengenakan kemeja lengan panjang warna biru dongker beraksen garis-garis kecil warna putih. Rambutnya masih tampak rapi disisir ke belakang, masih sama dengan tampilannya tadi pagi ketika dia mampir sebentar ke kedai kami. Dari kejauhan aku menyipit-nyipitkan mataku, mengamati mobil putih yang terparkir diantara jajaran mobil lainnya. Aku rasa itu mobil Mba Lidya. Dia sudah turun atau masih di dalam mobil ya?

Aku menepis pandanganku dengan menunduk. Akan lebih aman jika aku berpura-pura tidak melihat ke arah mobil putih itu. Aku juga mempercepat langkah agar Henry mengikutiku dengan langkah yang sama cepatnya. Menurutku, Henry tidak melihat atau tidak tahu kalau mobil Mba Lidya berada di sekitar kami. Aku hanya tidak mau Mba Lidya melihatku sedang bersama Henry. Aku malas jika ditanya-tanyai sesuatu tentang Henry. Aku tidak mau terlibat dalam pusaran konflik yang tercipta diantara mereka.

Setelah berhasil menyeberang bersama Henry, aku sudah merasa lebih lega dan aman. Sehingga aku menurunkan tempo langkah kakiku menjadi lebih santai daripada sebelumnya. Tidak ku kira Henry akan mengomentari gerak-gerikku sejak tadi.

"Amel, jalannya cepat juga ya kamu..?"

"Haha.. Iya Mas.. Baru tahu kan?!"

Sesampai kami di kedai bakso, aku langsung memesan dua porsi mangkuk bakso untuk kami. Serta dua gelas es teh manis. Aku dan Henry duduk berdampingan di bangku panjang dari kayu yang tampak masih mengkilap karena dipernis. Kami menjatuhkan badan, hampir berbarengan. Minuman kami diantar lebih dulu ke meja kami, lalu tidak lama kemudian dua porsi bakso lengkap dengan mie kuning dan soun serta irisan sawi hijau juga telah mendarat di atas meja kami.

Sambil melahap santapan siang kami masing-masing, kami menyelinginya dengan berbincang-bincang singkat.

"Nanti sore kamu keluar jam berapa Mel?"

"Jam empat, kadang telat-telat dikit, ngobrol dulu."

"Aku boleh anter kamu pulang ngga? Tapi aku keluar jam lima. Kamu mau nunggu ngga?"

"Kamu bawa helm dua emangnya ?"

Henry mengangguk, "Hmm...."

Aku terdiam sejenak sambil mengunyah potongan-potongan kecil bakso dalam mulutku. Seraya sedikit menimbang-nimbang tawaran dari Henry. Aku pikir, kalau itu memang kemauan Henry sendiri yang ingin mengantarku, kenapa aku harus menolak niat baiknya. Lagi pula walaupun harus menunggunya satu jam, perjalanan nanti akan lebih singkat dan nyaman jika menggunakan motor.

"Oke lah.. Nanti aku tunggu sampe kamu selesai. Kabarin aja kalau sudah keluar, kita ketemu di parkiran motor."

"Emang kamu tahu, aku parkir dimana?"

Aku menggeleng dan tertawa, "Haha, ngga tahu. Emang parkir sebelah mana ?"

"Parkiran motor samping. Yang tadi kita lewatin lho."

Wah.. Sepertinya Henry memarkirkan motornya masih satu area dengan mobil putih yang tadi ku lihat, mobil Mba Lidya. Semoga saja nanti, kami tidak terlihat pulang bersama.

Meskipun kini aku tidak canggung lagi berbincang-bincang dengan Henry, namun di setiap awal pertemuan kami aku masih selalu merasa nervous. Kalau Henry sudah mulai mengajakku bicara, perlahan rasa nervous itu hilang sendirinya. Lantas kami dapat mengobrol dengan santai.

Bakso kami telah tandas, gelas teh juga sudah kosong. Aku rasa, makanan kami juga sudah selesai berproses menuju ke dalam perut. Waktu istirahat kami tersisa sepuluh menit. Pas sekali waktunya digunakan untuk berjalan kaki santai kembali ke tempat kerja kami masing-masing. Aku dan Henry berpisah di dua blok pertama dari arah belakang ruko "kedai kopi Rindu", aku berniat kembali ke kedai lewat pintu samping.

Aku belok lebih dulu ke kiri, sedangkan Henry masih berjalan lurus terus hingga ke pojok deretan ruko. Sambil menapaki jalan menuju pintu samping kedai, aku hanya berpikir apakah hari-hari esok yang akan datang kelak aku dan Henry akan selalu makan siang bersama seperti hari ini? Apa kami akan punya banyak waktu untuk mengobrol lagi seperti tadi? Ah.. Buat apa aku berpikir sejauh ini. Memikirkan hari-hari yang belum terjadi.

Ketika Henry datang malam-malam ke rumahku, aku juga tidak menyangka sebelumnya kalau dia benar-benar akan datang. Aku pernah sempat mengira kalau dia hanya berbasa-basi menanyakan alamat lengkapku. Mungkin, juga masih banyak hal yang tidak terduga yang akan terjadi di hari-hari mendatang.

Aku telah tiba lagi di kedai, ku kenakan lagi celemek hijau yang tadi ku tanggalkan di atas meja ruang belakang. Aku mengikatkan kedua talinya sambil melangkah menuju area barista. Aku menyapa Mba Lidya yang sedang duduk dengan bangku tinggi di sisi kanan meja barista. Kini tinggi duduknya sejajar dengan tinggi meja. Kedua tangannya dilingkarkan di atas meja, di tengah-tengahnya terdapat secangkir kopi moka hangat.

"Mba.. Sudah lama dateng?"

Dia tersenyum mengangguk menatapku, "Hmm.. Lumayan. Tadi kamu makan apa Mel? Di sini lumayan banyak kan tempat makan?"

"Saya tadi makan bakso Mba, di seberang." aku mulai deg-degan. Apa sebenarnya tadi Mba Lidya melihatku namun sekarang berpura-pura menanyai ku? Aku bersikap tenang dan biasa saja menjawab pertanyaannya. Aku tidak ingin terlihat gugup olehnya.

"Oh.. Sendiri?"

"Iya Mba, sendiri. Saya lebih sering sendiri. Eka sama Rena lebih sering bawa makanan dari rumah."

Mba Lidya terlihat sedang menganggukkan kepalanya, tampak ekspresi wajahnya sedang berpikir mau bicara apa lagi selanjutnya.

"Kamu? Ngga bawa dari rumah?"

"Kadang-kadang Mba." aku menjawabnya singkat seraya tersenyum, berharap Mba Lidya tidak banyak berbicara lagi padaku.

Dion berpamitan pada Mba Lidya dan aku untuk pergi makan siang ke luar. Aku selamat dari Mba Lidya ketika Dion berlalu pergi ke arah belakang, karena dari arah pintu depan telah masuk tiga orang remaja yang memesan minuman padaku. Mba Lidya mengamati gerak-gerikku dengan seksama.

Dia tidak bersuara lagi, salah satu tangannya hanya bertopang dagu. Aku dapat merasakan tatapan matanya masih tertuju kepadaku. Aku dapat merampungkan ketiga macam minuman yang dipesan pelanggan dengan waktu yang cukup singkat. Ku bersihkan mug stainless yang telah ku pakai untuk mengaduk susu cair sebelumnya.

"Mel !" Mba Lidya memanggil dan cukup membuat diriku terkejut, lantas aku pun langsung menoleh padanya. Tangan kanan ku masih memegang mug stainless dan tangan kiriku masih memegang tuas kendali alat untuk membersihkan mug itu.

"Ya Mba.. Kenapa ?"

"Kopi Saya habis, tolong buatin lagi dong. Moka. Pake es ya!"

Aku cukup terkejut mendengar Mba Lidya ingin menambah kopinya sekarang juga. Padahal kopi moka hangatnya baru saja tandas ditenggaknya. Tanpa berlama-lama, setelah aku selesai membersihkan mug tadi, aku langsung memenuhi permintaannya. Mba Lidya juga masih terus mengamati pekerjaanku.

"Kamu paling suka kopi apa Mel ?"

"Kopi latte Mba.."

"Oh.. Dulu pacar Saya sukanya moka. Sebetulnya Saya ngga begitu suka kopi moka, tapi Saya penasaran apa yang bikin mantan pacar Saya suka banget sama kopi moka."

Aku hanya menanggapi ucapannya dengan senyum dan "Oh.." seraya mengangguk sedikit. Kalau boleh jujur aku agak risih mendengarnya membicarakan mantan kekasihnya. Bagiku, itu hal yang tidak penting untuk diberitahukannya kepadaku. Sebagai bawahannya di kedai ini, aku juga merasa tidak pantas dijadikan sebagai tempat curhat olehnya.

"Ini Mba kopinya." aku mendekatkan padanya sebuah mug tinggi berisi es kopi moka.

Dan tangan kanan itu segera meraihnya.

"Saya bawa ke atas ya Mel gelasnya. Saya naik dulu."

"Oke Mba.."

"Makasih ya.." seraya menurunkan kakinya satu per satu menapaki lantai yang cukup jauh dari pijakan kaki pada kursi.

Akhirnya, Mba Lidya naik juga. Tapi kira-kira dia akan pergi jam berapa ya? Aku teringat harus menunggu Henry dulu sampai pukul lima sore ini. Semoga Mba Lidya pergi sebelum waktunya aku pulang atau nanti malam saja perginya agar aku bisa pulang dengan aman sebelum dia pergi meninggalkan kedai.

Hari ini kedai kami bisa dikatakan tidak terlalu ramai oleh pelanggan. Pelanggan yang hadir silih berganti saja mengisi kekosongan meja tamu. Yang hadir berkelompok juga belum terlihat sampai siang ini. Dion telah kembali dari makan siangnya. Terlihat Rena dan Eka sedang stand by di posisinya masing-masing. Mereka menyeret bangku plastik berwarna hijau untuk duduk masing-masing. Eka tampak sedang mengantuk berat. Sudah berapa kali aku melihatnya menguap. Mungkin semalam dia habis bertugas siskamling bersama tim ronda di rumahnya. Hahaha.

Aku dan Dion melanjutkan perbincangan kami sebelum jam makan siangku tadi.

"Terus ada lagi tuh Yon, peserta. Cowok nih, disuruh pelatihnya bikin flat white, eh susunya banyak banget. Warnanya jadi terang."

"Lah.. Haha.. Ada-ada aja. Harusnya gelap kan.."

"Iya, muka pelatihnya sudah mengkhawatirkan tuh pas lihat tampilannya. Kan bening dong gelasnya. Masih diem aja tuh pelatihnya, cuma rada geleng-geleng aja lihat gelasnya."

"Haha.. Terus..?"

"Ngomong juga tuh akhirnya pelatihnya. Mas maaf ya, ini kamu bikin flat white apa caffe latte? Susunya kebanyakan ini. Tapi ngga apa-apa, Saya coba ya.. Terus kan dicobain tuh sama pelatihnya."

"Terus apaan katanya?"

Obrolan kami terhenti karena kami mendengar suara tapak selop Mba Lidya yang sedang menuruni anak tangga. Aku belum sempat menjawab pertanyaan terakhir Dion. Ceritaku pada Dion belum ku selesaikan. Mba Lidya menghampiri meja barista. Dia menyodorkan gelas mug tinggi yang telah tandas isinya kepadaku.

"Makasih ya Mel.. Saya jalan dulu. Ayo, semuanya.. Saya duluan ya.."

Kami pun menjawab ucapan Mba Lidya hampir berbarengan, nyaris kompak. Mba Lidya terlihat sangat cantik dengan rok selutut warna putih dibalut blazer kuning kembang-kembang di bagian atasnya. Dia selalu senang membawa tas tangan yang ukurannya tidak terlalu besar. Aku rasa, dia punya banyak koleksi tas wanita yang cantik-cantik. Hmm.. Entah kapan aku bisa merasa nyaman saat berpenampilan feminim seperti dirinya.

Mba Lidya pergi meninggalkan kedai lewat pintu depan. Aku masih memperhatikan langkahnya, aku melihatnya berbelok ke arah samping. Ya, tidak salah lagi kalau mobil putih yang tadi ku lihat terparkir di samping itu memang miliknya.

"Mel! Terus apa katanya..?" Dion membuatku terkejut seketika. Aku pun menoleh padanya.

"Apa ??"

"Lah, tadi lo cerita belum kelar Mel.."

"Oh..... Iya.. iya.. Kata pelatihnya pas dia coba minum, dari tampilan warna seperti caffe latte ya Mas, tapi rasanya masih kurang. Terus malah cengar cengir gitu pelatihnya. Nah orangnya yang bikin kopi itu, malah ngangguk-angguk, senyam senyum, enjeh Pak.. enjeh.."

"Lah.. Kocak amat.. Emang lo kursus pesertanya banyak ya?"

"Iya lah, tapi kan dibagi-bagi kelasnya. Nah gue dapet kelasnya yang kebanyakan orangnya dari luar Jakarta gitu."

Aku merasa lega karena Mba Lidya sudah pergi dari kedai sejak tadi dan aku telah memastikannya dengan mata kepalaku sendiri saat melihat mobil putih itu melintas dari arah samping kedai dan melewati pos satpam di depan kemudian berbelok ke kiri, keluar area ruko.

Aku dan Dion kompak melayani pesanan beberapa pelanggan yang baru tiba. Sekarang sudah pukul empat kurang lima menit. Pikirku, tidak apalah aku selesaikan dulu tugasku lewat-lewat jam kerjaku sedikit. Aku tidak mungkin meninggalkan pesanan yang telah ku mulai sendiri untukku kerjakan lalu justru ku serahkan pada orang lain untuk menyelesaikannya.

Pukul empat lewat lima belas menit. Aku telah selesai membersihkan beberapa peralatan kerja yang habis ku gunakan tadi. Aku pamit undur diri pada Dion. Di ruang belakang juga sudah ada Faris yang siap menggantikan posisi ku di depan. Aku bersama Eka kini hanya berdua di ruang belakang. Aku berbisik padanya. "Aku mau dianter pulang sama Henry."

"Serius Mel? Sekarang?"

"Iya, aku nunggu dia dulu nih sampe jam lima."

"Wih.. Bagus dong kalau gitu. Tapi dia sekarang sudah jarang ya kesini?"

"Iya, ngga tahu tuh kenapa. Aku ngga tanya juga sih."

"Hmm.. Eh Mel, aku duluan ya. Pacar aku sudah di depan ternyata, nunggu di luar pager." ucap Eka seraya menatap matanya ke layar ponsel miliknya yang belum lama tadi berbunyi.

Aku duduk sendirian sekarang, selonjoran dan menyandarkan punggungku pada dinding. Aku menikmati angin sore yang berhembus lewat pintu samping yang ku biarkan terbuka cukup lebar. Tempat ku duduk sekarang hanya sekitar dua langkah dari pintu yang terbuka. Aku membuka ponsel dan memilih lagu pada daftar mp3 ku. Aku pun memutar lagu-lagu yang ku pilih, yang saat ini sedang ingin ku dengarkan.

Sedikit rasa kantuk menyerangku. Aku mulai menguap, tapi rasa kantuk itu dapat ku lawan dengan mudah, karena pukul lima sore sudah tinggal sebentar lagi. Aku berdiri dan bersandar pada pintu, kepalaku mendongak memandangi awan sore yang begitu teduh, terasa menenangkan. Ponselku bergetar, membuatku tersentak. Pertanda aku harus segera membaca pesan yang masuk.

Penunjuk waktu di ujung kanan atas layar ponsel menunjukkan pukul tujuh belas kosong-kosong.

"Mel, ke parkiran sekarang ya. "

"Oke.."

Aku matikan lagu yang sedang ku putar dari ponsel. Lalu ku simpan ponsel itu ke dalam kantong kecil yang berada di bagian dalam tas selempang milikku. Aku segera mengenakan jaket bomber warna hijau army, kesayanganku. Dan menyelempangkan tasku setelahnya. Tidak lupa, aku menutup rapat pintu samping kedai dan melangkah pergi menuju area parkir motor samping belakang ruko.

Aku tidak memperlambat atau mempercepat langkahku, aku berjalan biasa-biasa saja. Sesekali aku berjalan menunduk lalu kembali menatap lurus ke depan. Ketika aku sampai di area parkir, aku dapat melihat dari kejauhan. Sosok Henry dibalut sweater warna hitam sedang berusaha mengeluarkan motor kawasaki ninjanya dari kepungan motor-motor lain yang juga terparkir di sekitarnya.

Aku menunggunya hingga dia terlihat sudah tidak kerepotan lagi. Lalu aku mulai berjalan mendekat padanya.

"Dor..!" aku menepuk punggungnya.

"Eh, ayo naik. Nih helmnya." Henry sudah naik ke atas motor lebih dulu ketika aku menepuk punggungnya dari arah belakang. Dia menyodorkan helm untuk ku pakai.

Kini aku sudah duduk di belakangnya. Diboncengi olehnya. Hendak diantarkan pulang ke rumah olehnya. Saat ini adalah pertama kalinya kami bersama di atas motor. Pertama kalinya Henry mengantarkanku pulang. Memang masih banyak sekali hal yang belum aku ketahui tentang dirinya, namun saat ini agaknya pintu hatiku sudah mulai terbuka untuk berteman lebih dekat dengannya.

Dalam perjalanan dari tempat kerja kami menuju rumahku, telah banyak waktu yang tersedia untuk kami dapat berbincang-bincang. Tentu saja, kemacetan jalanan menjadi penyebabnya. Semakin lama sampai di rumahku, semakin banyak pula topik yang dapat kami bahas. Namun sampai akhirnya kami telah sampai di depan rumahku, Henry belum juga bercerita sedikitpun tentang Mba Lidya.

Henry memutuskan untuk langsung pulang setelah mengantarku sampai di depan teras. Aku jadi merasa tidak enak, karena dia telah mengkhususkan diri untuk mengantarkanku hingga ke rumah. Hari memang sudah cukup gelap dan dia sudah pasti lelah setelah bekerja hari ini, ditambah lagi dengan kemacetan jalan yang menyiksa.

Mama keluar dari dalam rumah, mendengar suara motor Henry yang dihentikan di depan pagar. Henry memarkirkan motornya menjorok sedikit di depan pagar rumahku. Aku mengembalikan helm yang ku pakai tadi ke tangannya. Dia membuntuti langkahku ke dalam pekarangan rumah. Mama sudah berdiri tegap di ambang pintu melihat kehadiran kami dari jauh.

"Hai Ma..!"

"Halo sayang.."

"Malem Tante.. Saya langsungan ya.." seraya Henry membungkukkan badan mencium tangan Mamaku.

"Lho kok langsung? Ngga minum dulu?"

Henry tersenyum, "Ngga usah Tante, makasih.."

"Oh ya sudah hati-hati ya Henry.. Makasih sudah anter Amel.."

"Iya Tante, sama-sama.." seraya kembali menuju ke tempat dimana motornya diparkirkan tadi. Aku pun membuntuti di belakangnya. Tapi, belum sampai di pagar rumah, Henry berbalik badan, menghentikan langkahnya dan langkahku, dia pun mengatakan, "Lho.. Sudah sana! Kan sudah aku anter sampe teras. Kok malah ikut lagi?"

"Aku mau nutup pager, bukan mau ikut kamu lagi. Hahaha.."

"Sudah sana! Biar aku yang tutup rapet pagernya. Oke?"

Lantas aku tersenyum, mengangguk tanda setuju pada ucapannya. Henry pun melangkah semakin jauh dariku. Tumben, hari ini dia tidak mengatakan kalimat favoritnya, "Sampe ketemu lagi". Mungkin dia lupa, atau.... Atau mungkin dia tidak berharap bertemu denganku lagi. Sudahlah.. Apapun alasannya, aku senang kini bisa berteman baik dengan Henry.

Bagian 5

Hari ini Sabtu, tanggal sepuluh Februari. Tepat sembilan bulan telah terjalin hubungan baik antara aku dengan Henry. Hmm.. Maksudku, hubungan pertemanan kami. Sembilan bulan sejak pertama kali Henry mengajak diriku berkenalan di tenda pecel ayam malam itu. Kalau orang hamil, sekarang sudah waktunya untuk melahirkan. Hahaha.

Aku dan Henry sudah semakin dekat selama ini, teman-temanku di kedai kopi dan teman-teman kerjanya juga sudah mengetahui dengan persis kalau kami sering jalan bersama.

Aku membuang sedikit demi sedikit sifat bodoh, polos dan kekanak-kanakkanku sejak Henry menyatakan cintanya padaku tiga bulan yang lalu, di teras rumahku, diiringi rintik hujan di malam Minggu. Mungkin secara tidak langsung, dari caraku bersikap padanya, aku telah menerima cintanya sejak hari itu. Buktinya, sampai hari ini kami masih selalu berkomunikasi secara intens.

Dan aku juga menyayanginya sepenuh hati. Namun, untuk menerima ajakannya meresmikan hubungan sebagai sepasang kekasih, aku belum bisa. Itu karena.. Selama ini Mba Lidya masih mengejarnya. Masih berusaha menarik perhatian Henry kembali.

Kira-kira dua bulan sebelum Henry mengutarakan perasaannya padaku, dia telah menceritakan sebuah kenyataan padaku. Henry dan Mba Lidya pernah menjadi sepasang kekasih kala dulu mereka masih bersama-sama menjadi mahasiswa di kampus yang sama. Mereka terikat dalam komitmen itu selama hampir empat tahun.

Namun, semua berubah dalam sekejap kala ayah dari Mba Lidya menentang hubungannya dengan Henry. Meskipun Ibu Mba Lidya sangat ingin menolong untuk menyelamatkan hubungan anak gadisnya dengan Henry, beliau tidak mampu menentang keinginan ayah Mba Lidya untuk menjodohkan Mba Lidya dengan anak rekan usahanya.

Sejak saat itu, Mba Lidya mengambil sikap tegas untuk memutuskan hubungan kasihnya dengan Henry. Meski kenyataannya Mba Lidya sangat terpukul dengan keputusan yang diambilnya sendiri. Dia masih begitu mencintai Henry. Henry lantas sangat kecewa dengan kenyataan itu. Segala usaha yang dilakukannya untuk mempertahankan hubungan mereka hanyalah sia-sia belaka. Henry merasa hanya dirinya sendiri lah yang berjuang mempertahankan hubungan itu. Dia tidak melihat usaha yang dilakukan oleh Mba Lidya.

Sejak mereka berpisah, mereka sama sekali tidak pernah berkomunikasi lagi lewat media apapun. Mba Lidya pernah beberapa kali mencoba menghubungi Henry, namun Henry tidak mengindahkannya sama sekali. Hingga akhirnya pertemuan mereka kembali terjadi untuk pertama kalinya setelah sekian lama tidak berjumpa. Hari itu, di "kedai kopi Rindu" milik Mba Lidya, tempatku bekerja selama ini.

Aku juga menyaksikan pertemuan mereka kala itu. Aku memang tidak begitu pandai untuk memahami ekspresi wajah mereka kala itu. Yang dapat aku simpulkan saat itu hanyalah kenyataan bahwa Henry dan Mba Lidya sudah saling mengenal sebelumnya. Aku sama sekali tidak pernah berpikir jauh sampai kesana, tak pernah terpikirkan olehku bahwa mereka pernah saling mencintai.

Yang aku perkirakan dari sikap dan raut wajah Henry kepadanya, mungkin mereka adalah sepasang musuh dalam selimut. Aku tidak pernah berusaha mencari tahu sesuatu yang telah terjadi di balik permusuhan mereka. Tapi, kala itu juga aku hanya melihat kebencian di sebelah pihak. Tatapan Henry yang sama sekali tidak menunjukkan rasa respectnya kepada Mba Lidya, sedang sikap Mba Lidya terlihat datar-datar saja terhadapnya, dia hanya menunjukkan rasa amat terkejutnya saat pertama kali bertemu Henry di kedai hari itu.

Bukan maksud hatiku untuk menggantungkan jawaban pada Henry hingga kini. Aku sudah lupa kapan tepatnya Mba Lidya mulai mencoba menghubungi dan mendekati Henry kembali, hingga akhirnya Henry mau menceritakan tentang hubungan masa lalunya dengan Mba Lidya. Aku belum mau meresmikan Henry sebagai kekasihku selama Mba Lidya masih terus membayangi dirinya.

Henry juga mengatakan panjang lebar padaku, bahwa sebenarnya dia juga sangat terkejut dengan pertemuan pertama kalinya dengan Mba Lidya di kedai. Henry sama sekali tidak mengira bahwa mereka akan bertemu lagi dengan cara seperti itu. Setelah pertemuannya dengan Mba Lidya kala itu, Henry dibuat penasaran dengan status perkawinan Mba Lidya saat itu.

Henry memang tidak pernah menanyakan hal itu padaku, namun Henry mencari tahunya lewat salah satu teman terdekat mereka. Yang paling mengetahui tentang hubungannya dengan Mba Lidya saat mereka masih bersama-sama dulu. Menurut informasi yang Henry dapat melalui temannya itu, ayah Mba Lidya telah cukup lama meninggal dunia sehingga Mba Lidya memutuskan hubungannya dengan lelaki yang dijodohkan dengannya.

Baru ketika itulah Mba Lidya merasa dirinya telah bebas, dapat melakukan apapun yang dia inginkan, tanpa ada yang dapat menghalanginya lagi. Namun sejak Mba Lidya memutuskan hubungannya dengan lelaki itu, sampai detik ini juga Mba Lidya belum bisa membuka hatinya lagi untuk orang baru.

Dan menurut yang dikatakan oleh teman Henry juga, bahwa sikap menutup diri Mba Lidya bukan disebabkan oleh kegagalannya dengan lelaki itu, melainkan karena penyesalannya yang begitu mendalam karena telah mencampakkan Henry dari hidupnya.

Selama ini, Mba Lidya juga sudah tahu dengan pasti bahwa aku dan Henry sangat dekat. Mungkin, dia juga telah mendengar sayup-sayup kabar yang berhembus dari para personil kedai bahwa Henry telah menyatakan cintanya padaku. Namun sepertinya, Mba Lidya berpura-pura tidak tahu dan tidak mendengar apa-apa. Mba Lidya tetap mengincar dan kerap berusaha membujuk Henry agar kembali padanya. Dia telah menyatakan rasa sesalnya yang teramat sangat kepada Henry.

Dari mana aku tahu bahwa Mba Lidya masih gencar mendekati Henry hingga hari ini?! Tentu aku mengetahui semuanya dari Henry. Tanpa ku minta dirinya untuk berbicara, Henry selalu menceritakan segala yang dialaminya kepada ku, dengan penuh kejujuran. Aku tahu, sikap Henry yang seperti itu adalah bagian dari usahanya untuk meyakinkanku agar aku mau menjadi kekasihnya. Mungkin dia berpikir aku akan selalu menilai dirinya sebagai lelaki yang jujur pada pasangannya.

Ah.. Entahlah.. Sekarang jalan pikiranku telah jauh berbeda. Aku benar-benar tidak sepolos dan sebodoh dulu lagi. Mungkin waktu dan keadaan yang telah merubah cara berpikirku. Sungguh, sebetulnya aku sangat risih mendengar cerita-cerita Henry tentang Mba Lidya yang masih selalu mengiriminya pesan setiap hari. Meski Henry tidak menanggapinya, sikap Mba Lidya yang seperti itu akan sangat menjadi masalah jika kami telah benar-benar berpacaran.

Di sisi lain, jika aku tetap menerima Henry sebagai kekasih, rasanya aku telah berbuat begitu jahat pada Mba Lidya. Sedangkan sebagai atasanku di kedai, aku begitu menghormati dan juga menghargai dirinya. Terkadang aku berusaha memposisikan diriku sebagai Mba Lidya, seperti apa rasa pedihnya hidup yang dijalani dengan penuh penyesalan.

Diam-diam aku telah merencanakan sesuatu, dalam waktu dekat ini aku akan menjawab pertanyaan Henry yang belum terjawab oleh ku selama ini. Secepatnya di minggu-minggu ini pasti aku akan memberikan jawaban padanya. Apakah aku mau menerima ajakannya untuk meresmikan hubungan kami sebagai kekasih. Saat hari itu tiba, semua akan menjadi jelas bagi Henry, dia tidak perlu merasa bahwa aku masih menggantung sebuah jawaban untuknya.

Berkali-kali Henry mengatakan padaku bahwa kini dirinya tidak lagi menaruh hati pada Mba Lidya. Henry mengaku telah sangat lama membuang perasaanya untuk Mba Lidya. Dia telah melupakan Mba Lidya sepenuhnya. Karena untuk mengingat segala yang pernah terjadi diantara mereka, itu akan sangat menyakitkan bagi Henry. Bagi Henry sudah tidak ada satu kenangan manis pun yang dapat diingatnya kembali.

Sejak Mama, papa dan teman-temanku mengetahui perasaan Henry padaku, mereka semua selalu berada di pihak Henry. Semua orang itu sangat mendukung agar hubungan kami diresmikan. Seolah semua orang selalu menyalahkan sikapku yang sampai kini masih belum mau menerima kehadiran Henry dalam hidupku lebih dari sekedar teman dekat.

Apa aku perlu menjelaskan kepada mereka semua, satu per satu, tentang konflik dalam hati dan pikiranku saat ini? Aku rasa itu tidak perlu. Harusnya mereka semua cukup berdiam diri saja menjadi penonton setia kami. Aku tidak perlu saran atau masukan dari siapapun kalau pada akhirnya aku tidak bisa melakukan sesuatu seperti saran atau masukan yang diberikan oleh mereka. Kadang aku lebih memilih untuk menutup telingaku rapat-rapat dari pendapat orang lain yang tidak sesuai dengan kata hatiku.

Ya, untuk apa aku ikuti apa kata orang lain kalau akhirnya hatiku sendiri lah yang merasa tidak nyaman. Ah.. Sering kali aku merasa lelah menjadi orang dewasa. Rupanya sangat rumit menjadi orang dewasa yang dipenuhi dengan bermacam konflik batin. Apalagi kalau sudah menyangkut masalah cinta, soal hati. Sudah seharusnya aku bisa menjaga hati orang lain selain hatiku sendiri. Jika hatiku tidak ingin terlukai, seharusnya aku bisa menjaga hati orang lain agar jangan sampai terlukai olehku.

Namun nyatanya, kenyataan tidaklah sesederhana itu. Manusia kerap kali saling menyakiti hati satu sama lain. Dalihnya, keadaanlah yang membuat mereka harus saling menyakiti. Ya, lagi-lagi hanya keadaan yang bisa disalahkan.

Hari ini aku libur, aku berencana pergi ke salon langgananku untuk memotong rambut hitam ku yang sudah terlalu panjang. Aku sudah bosan jika harus terus menguncir rambutku ketika bekerja. Bekas kuncirannya sangat merusak rambutku. Jadi terlihat tidak bagus lagi kalau dibiarkan terurai.

Biasanya kalau aku mendapat jadwal libur di hari Senin hingga Jumat, malam harinya Henry menyambangi rumahku. Hal itu hampir menjadi kebiasaan baginya. Henry juga pernah beberapa kali membawaku mengunjungi rumahnya. Waktu itu ketika aku mendapat giliran libur di hari Sabtu atau Minggu. Tapi, sangat jarang sekali dalam satu bulan aku bisa mendapat libur di hari Sabtu atau Minggu. Maklum saja, pada kedua hari itu biasanya kedai jauh lebih ramai dari hari-hari lainnya.

Henry telah mengenalkan aku dengan Mamanya. Di depanku, dia mengenalkan aku sebagai teman dekatnya. Namun entah di belakangku dia telah berbicara apa saja tentang diriku kepada Mamanya. Tampak dari gelagat Mamanya yang senyam-senyum mencurigakan sambil melirik wajah Henry ketika aku sedang mencium tangan Mamanya, kala kami berkenalan saat itu.

Kalau boleh jujur, dengan semua kebiasaan yang telah ku jalani selama ini bersama Henry, rasanya ada yang kurang jika Henry tidak ada. Rasanya aneh jika satu hari kami tidak bertukar kabar. Aku sadar, aku menyayangi dirinya. Tapi sampai detik ini aku belum tahu, aku menyayanginya sebagai teman dekat atau lebih dari itu. Sangat sulit bagiku untuk mendefinisikan artinya mencintai seseorang. Aku masih kurang paham akan hal itu.

Hari ini kami telah bertukar kabar, Henry mengatakan padaku bahwa kemungkinan dia akan lembur hari ini. Hmm.. Itu berarti malam ini dia tidak akan punya waktu untuk datang ke rumahku. Baiklah, tidak apa-apa. Walau aku merasa kecarian, tapi.. aku tidak perlu merasa kecewa karena dia bukan kekasihku, dia bukan milikku.

Aku sedang berjalan santai sekarang, menyusuri aspal jalanan dipayungi pohon-pohon rindang yang menghadirkan suasana teduh. Aku melewati sepanjang jalan ini untuk pergi ke salon langgananku di kompleks yang terletak di seberang kompleks rumahku. Aku memilih jam ini dimana matahari sudah hampir meredup. Pukul empat sore.

"Permisi.. Mba Lina.." aku mengucap salam seraya mendorong pintu salon ke arah dalam dan memunculkan kepala ke arah dalam salon.

"Iya.. Amel ya?"

"Iya Mba.."

"Sini Mel.. Masuk.. Sudah lama banget ngga kesini.."

"Iya Mba, belum sempet. Ini mumpung libur, jadi ngga ketunda lagi."

"Mama kamu sehat Mel?"

"Iya Mba.. Sehat.. Oh iya ini rambutku sudah panjang banget, aku mau potong bob pendek ya.."

"Hah? Yakin nih? Ngga sayang? Ngga kependekan nanti?"

Aku menggeleng seraya tersenyum, "Yakin Mba.."

Mba Lina lantas mempersilahkan padaku untuk ke tempat pencucian rambut. Dia akan mengeramasiku lebih dulu. Wah.. Segar sekali rasanya dikeramasi oleh orang lain, berbeda rasanya jika aku keramas sendiri. Mba Lina memijat kepalaku dengan perlahan dan lembut. Hmm.. Aku jadi ngantuk dibuatnya. Rasanya aku tidak mau berhenti dikeramasi olehnya.

Seusai keramas, rambut panjangku disisir ke belakang olehnya, aku bersiap-siap mengucap salam perpisahan pada rambut panjangku. Mba Lina ingin meyakinkanku sekali lagi.

"Yakin ya Mel? Jangan nyesel lho. Hehe.."

"Iya Mba.. Sikaaaatt dehh...!"

Krek.. krek.. krek.. Mba Lina memotong rambutku perlahan dan hati-hati, sedikit demi sedikit. Maklum, rambutku sangat tebal sehingga dia perlu sangat berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan. Mungkin untuk membentuk rambutku sesuai permintaanku, terasa sedikit sulit bagi orang yang belum terbiasa memotongnya. Mba Lina yang sudah terbiasa saja, masih sangat berhati-hati memangkasnya.

Aku mengamati wajahku di depan cermin ketika Mba Lina sedang berkonsentrasi melakukan pekerjaannya. Lama kelamaan wajahku sudah mulai kelihatan lebih segar daripada sebelumnya. Kini Mba Lina telah meletakkan kembali gunting rambut yang sedari tadi digunakan olehnya. Dia mulai menyolokkan ujung kabel hair dryer ke salah satu stop kontak yang menempel di dinding bagian bawah cermin.

Dia mengarahkan alat pengering rambut berwarna biru itu ke bagian atas rambutku kemudian menghidupkan powernya. Ngung..... Suara alat pengering itu berdengung dan menghantarkan hawa panas ke seluruh bagian rambutku yang sudah tidak panjang lagi. Sekitar sepuluh menit Mba Lina membolak balikkan seluruh bagian rambutku dengan sisir dibarengi tembakan hangat dari hair dryer.

Sekarang sudah selesai. Aku menyisir sendiri rambutku yang sudah dikeringkan. Aku menatanya sendiri agar lebih puas. Membelah pinggirnya di sisi sebelah kiriku. Hmm.. Seperti biasanya, aku merasa sangat puas dengan hasil kerja Mba Lina. Penampilanku sudah tampak berbeda sekarang. Wajahku tampak jauh lebih segar dan juga terang.

"Bagus.. Makasih ya Mba Lina.." aku menolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri di depan cermin untuk melihat model rambutku yang baru dari sisi samping. Dan tersenyum puas kepada Mba Lina.

"Iya.. Gitu dong Mel, lebih muda kelihatannya. Tadi kelihatannya kamu keberatan sama rambut. Habis tebal banget sih rambutnya.." ucap Mba Lina diiringi tawa kecil. Setelah membayar tarifnya kepada Mba Lina, tanpa mengobrol banyak lagi aku pun segera beranjak pulang ke rumah.

Di jalan menuju ke rumahku, aku bertemu dengan pedagang ketoprak telor bergerobak biru yang sering lewat depan rumah. Terlihat si Abang sedang beristirahat duduk pada semen-semenan di bawah pohon rindang.

"Abang..! Sudah lewat depan rumah Saya?" aku berteriak lantang menyapanya dari jarak yang agak sedikit jauh.

"Eh si Eneng.. Mana ya rumahnya? Oh.. Iya sebelah sana ya?" seraya dia bangkit dari duduknya dan telunjuknya mengarah ke kanan.

"Ho'oh Bang! Sudah kesana?"

"Sudah Neng, sepi daerah situ mah.. Tumben."

Aku melangkah menghampirinya dan memesan dua bungkus untukku bawa pulang. Aku menunggu di samping gerobaknya, sekali-sekali mataku mengikuti gerak gerik si Abang ketoprak yang sangat telaten menyiapkan pesananku.

"Ini Neng, sudah."

"Oke Bang, makasih ya.." aku menyerahkan dua lembar uang kertas padanya kemudian berlalu melanjutkan perjalanan kakiku menuju ke rumah.

Hmm.. Senang sekali sekarang rambutku sudah pendek, terasa ringan dan nyaman. Aku tidak perlu lagi menarik-narik rambutku untuk dikuncir seperti kemarin-kemarin. Rambutku juga dapat bernafas lebih leluasa sekarang.

Terlihat Mama sedang menyirami tanaman ketika aku tiba di ambang pintu pagar rumah kami. Aku melangkah riang menghampiri Mama yang sedang berdiri menghadap ke arah tanaman-tanamannya seraya memegang selang yang airnya sedang mengalir cukup deras. Mama menoleh ke arahku manakala beliau mendengar langkah kakiku.

"Ih.. Anak siapa nih? Sudah gede kelakuannya lompat-lompat gitu."

"Hahaha.." aku mencium pipi kanan Mama.

Mama pun balas mencubit pipi kiriku. "Gitu dong dari kemarin..! Bagus kan dipotong gitu. Fresh."

Aku bertambah senang mendengar komentar Mama soal rambut baruku. Aku jadi tidak sabar untuk segera berangkat ke kedai besok pagi. Aku melangkah ke dalam rumah, menuju dapur untuk mencuci tangan kemudian membuka kedua buah bungkus ketoprak dan menyajikannya di piring untuk aku dan Mama. Tidak lupa dengan sendoknya.

Aku bergegas kembali ke teras dengan membopong dua piring beling berisi ketoprak di kedua tanganku. Kemudian aku meletakkannya pada meja bundar di teras.

"Mama.. Ayo kita makan Ma.." aku sudah duduk lebih dulu di kursi bundar dan telah siap melahap ketoprak telor yang ada di tanganku sekarang.

Mama menoleh padaku seraya menutup keran air di ujung taman dan meletakkan selang hijau itu melingkar di bawah keran air. Beliau bergegas menghampiri diriku, "Kamu jajan apa? Oh ketoprak.." langkahnya semakin mendekat kepada kursi bundar yang hendak didudukinya. "Haduh.." Mama mengeluh bersamaan dengan menjatuhkan dirinya ke kursi. Dan kemudian menyabet sepiring ketoprak miliknya.

Lantas aku menoleh padanya dan bertanya, "Kenapa Ma? Cape nyiram tanaman?"

Mama menggeleng, "Ngga, pegel aja kaki Mama."

Aku hanya mengangguk, "Oh.." mungkin dalam hatinya Mama berharap aku akan menjawab keluhannya dengan kalimat, "Sini aku pijitin." tapi kenyataannya aku tidak mengatakan apapun. Aku tidak ahli dalam urusan pijit-memijit. Aku pernah mencoba memijiti Mama dan papa, tapi komentar mereka sama saja. Tidak berasa katanya. Tidak ada tenaganya. Jadi, aku tidak mau kalau diminta memijit lagi. Sudah jelas, aku tidak bisa.

Aku, Mama dan papa malam ini menghabiskan waktu kami bersama di depan televisi. Menonton acara komedi yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Kami bertiga kompak tertawa ditemani dengan setoples keripik singkong dan setoples kacang tanah goreng. Hmm.. Terlihat ada sebotol besar minuman bersoda dingin di tengah-tengah kami, dilengkapi gelas kami masing-masing.

Kami keasyikan menonton hingga tak terasa sudah pukul setengah sebelas malam. Wah.. Aku pun bergegas lari ke kamar untuk segera tidur. Besok pagi aku harus bangun pukul lima subuh.

"Mel.. Mau kemana? Lari aja.."

"Mau tidur pa.. Besok masuk pagi."

"Ini Mama yang beresin?" Mamaku mulai melotot ke arahku.

"Hehe, tolong Ma.. Sekalian.. Kan masih pada nonton. Aku duluan ya.."

Sebelum tidur, aku tidak pernah melewatkan kebiasaanku untuk mencuci muka kemudian mengeringkannya dengan handuk sambil menatap diriku sendiri di depan cermin bundar yang terpaku di dinding kamar mandi. Aku kembali tersenyum-senyum sendiri memandangi rambut baruku yang sangat kece ini. Aku bisa tidur nyenyak malam ini.

Sejak sore tadi, aku tidak mendengar kabar Henry lagi. Mungkin dia sangat sibuk dan lelah, tidak sempat menghubungiku. Hmm.. Seperti ada yang kurang rasanya. Tapi, sudahlah.. Kini waktunya aku untuk istirahat.

Pagi ini rintik gerimis mengiringi perjalananku berangkat menuju ke kedai. Aku tidak mengenakan payung, aku hanya membawa payung lipat hijau di dalam tas selempang. Saat ini aku mengenakan jaket berwarna cokelat yang cukup tebal dilengkapi dengan topi kupluk di bagian atas jaket. Aku berjalan perlahan mencapai ujung jalan, sambil menunduk memperhatikan kondisi jalan yang mungkin saja berlubang dan meninggalkan genangan air. Aku tidak mau sepatu kets ku sampai basah tercebur ke genangan.

Satu bus kota melintas di depan mataku. Hmm.. itu bukanlah bus yang akan ku tumpangi. Aku menunggu lagi, meski sedikit merasa kedinginan. Lalu akhirnya bus kota yang ku tunggu telah tiba. Bus itu berhenti di hadapanku, dengan posisi pintunya yang tepat jatuh menghadap tempatku berdiri. "Ayo Neng.. Cepat-cepat..!" teriak si Abang kernet bus seraya menunggu ku hingga naik ke atas bus. "Lanjut Bang.." teriaknya kemudian memberi kode kepada pak sopir agar melanjutkan perjalanan.

Aku duduk tiga baris dari pintu depan. Ibu yang duduk di sisi pinggir mempersilahkanku untuk masuk ke dekat jendela, dia sudah mau turun katanya. Aku memandang ke luar jalan, menatapi rintik gerimis yang belum juga usai. Tanpa disadari oleh akal sehatku, tiba-tiba aku merindukannya. Aku terbawa oleh ingatan kala malam itu dia menyatakan cintanya padaku. Aku sangat merasa bersalah telah membuatnya menunggu selama ini.

Hari ini aku akan memberikan jawabanku untuknya.

Kondisi jalan raya sedikit tersendat, meski terbilang masih sangat pagi namun gerimis yang turun sejak subuh tadi telah mengakibatkan jalan yang berlubang tertutup oleh genangan air, sehingga semua pengendara harus memperlambat laju kendaraan mereka untuk berantisipasi.

Akhirnya aku dapat turun dari bus dengan selamat. Pak sopir telah mau bersabar menunggu langkahku yang harus perlahan-lahan menuruni dua anak tangga pada pintu bus, karena lantai bus terasa sangat licin akibat tapak sepatu penumpang yang basah hilir mudik keluar masuk dalam bus.

Aku selalu dapat menyeberang dengan mudah saat sepagi ini. Mobil motor yang melintas tersendat membuatku dapat dengan mudah menyeberang melewati celah-celah mereka. Celah antara mobil depan dan mobil di belakangnya. Setelah selamat sampai di seberang, aku berjalan kaki perlahan langsung menuju pintu samping kedai.

Tampak Mutia telah sampai lebih dulu dan sedang merapikan penampilannya di ruangan belakang. Aku segera membuka jaket cokelat yang tadi ku kenakan selama di perjalanan. Mutia menoleh sekejap ke arahku.

"Amel..! Cantik banget.." Mutia tertawa girang memandang model rambut baruku.

"Ah, jangan gitu. Masa baru tahu aku cantik. Hahaha" aku menanggapi komentar Mutia sambil mengibas-ngibaskan jaketku yang masih terasa agak basah akibat gerimis.

"Bagus deh Mel.. Serius.. Ngga dari kemarin-kemarin aja kamu potong gitu."

"Hmm.. Baru sempet. Salon langgananku pindah lebih jauh soalnya dari rumah."

Mutia hanya tersenyum mengangguk, "Oh.." dan kami pun melanjutkan kegiatan kami mempersiapkan pembukaan kedai hari ini.

Jam dinding yang terletak di atas pintu keluar masuk kedai telah menunjukkan pukul tujuh tepat. Pintu kedai yang setiap pagi selalu kami buka lebih dulu agar udara dapat bersirkulasi, hari ini tidak kami buka. Di luar masih gerimis, bahkan hujan mulai sedikit membesar. Jika pintu kami biarkan terbuka, air hujan akan terbawa oleh angin hingga membasahi sebagian lantai dalam kedai. Aku telah siap berdiri di balik meja barista. Bersama Mutia dan Rena pada posisinya masing-masing.

Aku meletakkan siku tangan kananku di atas meja, bertopang dagu memandang ke arah luar. Pasti Henry kehujanan dan langsung buru-buru menuju ke kantornya. Sepertinya tidak mungkin pagi ini dia mampir ke kedai.

"Mel, ngelihatin siapa di luar? Si Mas ya?" Rena cengengesan menggodaiku.

"Ngga.. Lihatin hujan." jawabku singkat.

Aku meninggalkan area barista, melangkah ke arah sebelah kiri, berhenti dan berdiri tepat di balik kaca besar yang menerawang jelas ke luar jalan. Aku mengamati hujan yang perlahan hanya tinggal rintik-rintik. Aku menatap arloji hitam pada pergelangan tangan kiriku. Sudah hampir pukul delapan, kami belum kedatangan pelanggan sejak membuka operasional kedai lima puluh menit yang lalu.

Aku beranikan diri menghubungi Henry lebih dulu, setelah percakapan kami yang terakhir kemarin sore lewat pesan singkat. Aku melangkah kembali ke belakang meja kerjaku. Seraya merogoh ponsel di dalam saku celemek hijauku.

"Hai, kamu masih lembur?" aku mengirim pesan yang isinya tidak terlalu serius.

"Hehe, semalem lemburnya sampe jam sembilan. Terus sampe rumah langsung tidur. Ini belum lama baru duduk. Tadi ngerapihin mantel dulu di depan. Maaf ya ngga kabarin kamu."

"Ngga apa-apa kok, hehe."

"Nanti siang kita makan bareng ya. Kamu mau makan apa, nanti kabarin aku aja."

"Sip. Nanti aku keluar jam dua belas aja deh barengin kamu. Jadi setengah jam lebih lambat, ngga kaya biasanya."

Aku merasa lega tiap kali telah berkomunikasi dengan Henry. Tapi mungkin, suatu hari nanti aku tidak akan mendengar kabarnya lagi setiap hari. Mestinya aku bisa mulai belajar dari sekarang, mempersiapkan diri jika harus kehilangan.

Kehadiran pelanggan membuyarkan pikiranku. Dua orang gadis muda telah berdiri tegap di hadapanku, menyebutkan pesanan mereka dengan gaya bicara yang sangat ramah. Rupanya salah satu dari mereka sudah sering berkunjung kesini. Dia lantas berkomentar baik melihat penampilan baruku.

"Mba, ih.. Rambutnya dipotong. Cantik amat.." seraya gadis muda itu menatapku dengan dalam, memperhatikan dengan teliti bagian wajahku.

"Hehe, makasih.. Sering kesini ya?"

Dia mengangguk padaku, "Iya.. Waktu terakhir aku kesini, Mba masih dikuncir rambutnya, panjang.."

"Ini, dua cokelat hangat." aku menyodorkan dua gelas mug putih berisi cokelat hangat pesanannya. Temannya yang telah membawa bungkusan roti dan telah membayarnya, menghampiri kami dan menyabet satu buah gelas yang barusan ku sodorkan. Dia hanya tersenyum dan mengatakan terima kasih padaku. Mereka membopong gelas mereka masing-masing. Lantas mereka berdua melangkah pergi dari mejaku menuju meja tamu.

Sudah pukul sembilan lewat sepuluh, Faris belum terlihat hadir di kedai. Namun ketika aku sedang bertandang ke meja kasir mendekati Rena, langkah Faris terdengar dari ruang belakang menuju meja barista. Dari tempat Rena, aku mendengar Faris menanyakanku pada Mutia.

"Amel mana Mut?"

"Itu.." Mutia menunjuk aku dari arah belakang.

Faris mengikuti arah tunjukkan Mutia seraya tertawa terbahak. "Lah Amel.. Gue kira anak baru, rambut lo kemana? Hahaha. Kaya bocah lo begitu."

"Bawel, diem lo!" aku menjawab celetukannya dengan singkat. Dia malah melanjutkan ocehannya lagi.

"Mas Henry makin cinta dong? Hahai.."

"Apaan sih lo Ris?? Gila ya?!"

Pelanggan berikutnya telah tiba, Faris melayani pesanan mereka sedang aku kembali pada posisiku di samping belakang Faris. Berjaga-jaga siapa tahu ada pelanggan lagi yang masuk ke kedai. Setelah Faris menyelesaikan tugasnya, aku berkompromi dengannya soal jam isrirahat makan siang kami hari ini.

"Oh iya Ris, nanti gue keluar jam dua belas aja ya. Boleh kan? Jam satu gue sudah balik deh."

"Iya Mel.. Selow.. Atur aja.."

Tidak lupa aku mengucapkan terima kasih padanya. Karena seharusnya jadwal makan siang ku pukul setengah dua belas. Kalau waktunya aku mundurkan, tentunya waktu makan siang Faris juga mundur setengah jam. Beruntung personil kedai kami selalu saling pengertian dan menjaga kedamaian.

Hingga tibalah waktunya aku untuk pergi keluar makan siang. Sebelum aku menghubungi Henry, dia sudah menelponku lebih dulu ketika aku baru keluar selangkah dari pintu samping kedai.

"Mel, mau makan apa?"

"Belum tau, bingung nih.. Ke seberang aja deh.. Makan bakso. Mau ngga?"

"Oke deh.. Kamu nunggu depan pager ruko ya, sebentar aku jalan kesitu."

Aku menuruti komando yang diberikan Henry untuk menunggunya di depan pagar ruko. Aku kembali masuk lagi ke dalam kedai dan berjalan lurus menuju pintu depan. Tampaknya Faris sedang melayani pesanan pelanggan. Namun lirikan matanya tetap menyadari kehadiranku dari ruang belakang berjalan melewati samping meja barista. Mulutnya pun tetap iseng walau tangannya sedang bekerja melayani pesanan.

"Mel, kenapa lo? Keder?"

"Haha, mau lewat depan." aku tetap berjalan menunduk menghampiri pintu depan kedai. Lewat sini jarak ke pagar ruko memang lebih dekat dibanding harus lewat samping.

Belum sampai tepat di pagar ruko, suara lelaki itu terdengar memanggil namaku. Suara yang sama dengan suara lelaki yang terus menghantuiku pada awal perkenalan kami dulu.

Dari arah kiri belakang, suara itu terdengar jelas di telingaku, "Amel..!"

Aku menoleh seraya menghentikan langkah dan tetap berdiri hingga dia mendekat, menghampiriku.

"Eh bener Amel.. Kapan tuh potong rambut?"

Kini kami telah berdiri sejajar, mulai berjalan kaki beriringan. "Kemarin sore. Bagus Ngga? Hahaha.."

"Iya, bagus. Ngga gerah lagi dong?"

"Iya dong.. Ngga perlu diikat lagi."

Rupanya Mba Lidya baru saja tiba di depan pagar ruko, dia hendak berbelok memasuki pagar ruko. Aku secara refleks menunduk ketika menyadari mobil itu melintas di hadapan kami. Henry masih terus mengajakku mengobrol, sehingga dia tidak menyadari bahwa mobil Mba Lidya telah melintas sesaat yang lalu. Aku yakin Mba Lidya melihat kami dari dalam, makanya aku menunduk, kali ini aku bukan berpura-pura bodoh. Tapi aku merasa bersalah telah menjalin hubungan yang cukup dekat dengan lelaki yang masih dicintainya.

Aku dan Henry melanjutkan perjalanan menyeberangi jalan raya. Aku menolak saat tangan kanannya hendak meraih tangan kiriku untuk digandengnya. Aku menghindari sambil tertawa agar dia tidak tersinggung.

"Eits.., aku ngga mau digandeng.."

Henry hanya menatapku dengan wajah datar.

"Emangnya aku anak kecil." masih sambil tertawa ku lanjutkan ucapanku untuk menghibur dirinya. Henry pun tersenyum simpul mendengar ucapanku.

Sudah sering sekali Henry berusaha menggandeng tanganku, namun aku selalu menepis tangannya dengan sopan. Mungkin setiap kali dia memboncengku di motornya, dia juga berharap aku akan melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Namun sejauh ini, selama aku pergi bersamanya, aku sama sekali tidak pernah melakukan itu. Dan dia, mungkin segan jika harus memintanya secara terang-terangan.

Sesampai kami di kedai bakso, seperti biasa kami langsung memesan. Kali ini kami duduk berhadapan, tidak berdampingan. Di sela-sela waktu kami menyantap gurihnya bakso ini, aku dan Henry berbincang-bincang singkat.

"Oh iya, nanti kamu bisa anter aku pulang atau mau lembur lagi?"

Henry mengangguk sambil menyeruput kuah baksonya, "Hmm.. Bisa.. Nanti aku anter pulang, kamu tunggu aja ya kaya biasa."

Aku mengangguk, "Oke." Sepertinya rencanaku untuk menjawab satu pertanyaan Henry akan segera terlaksana malam ini.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun