Analisis atas Dinamika dan Realitas Komunikasi Politik di Indonesia saat ini
Di dalam demokrasi, komunikasi politik memegang peranan kunci, hal ini juga berlaku bagi Indonesia, yang merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Kemampuan tokoh politik dan partai dalam berkomunikasi di dalam sistem politik yang kompleks dan plural ada juga merupakan komponen kunci bagi keberhasilan mereka dalam mengganduli hati masyarakat. Komunikasi politik bukan saja bertujuan sebagai alat menyampaikan visi, misi dan program kerja mereka, tetapi juga berfungsi untuk mencipta citra tokoh politik, menggerakan pemilih kepada keputusan mereka dan mendapatkan dukungan. Pada era internet, media sosial adalah alat penting untuk komunikasi politik. Tidak cukup para politikus itu bergantung pada jenis media konvensional saja untuk mencipta citra, tetapi mereka juga menggunakan Instagram, TikTok dan Twitter untuk menyampaikan pesan, menarik perhatian orang dan menjalin hubungan dengan mereka. Politik image-crafting melalui media sosial menjadi semakin relevan di Indonesia, terutama mengingat pemilihan presiden di tahun 2024 ini. Salah satu calon presiden Partai Gerindra, yang sekarang sudah menjadi Presiden Indonesia yakni Prabowo Subianto, sangat aktif membuat citra diri. Prabowo Subianto telah terlibat dalam beberapa pemilihan presiden sebelumnya dan sekarang sedang mencoba merevisi citra tradisionalnya menjadi sesuatu yang lebih sesuai zaman sehingga bisa lebih menarik pemilih muda. Khususnya Gen Z, karena mereka lebih sering ada di internet. Dalam essay ini akan membahas image-crafting oleh Prabowo Subianto di media sosial, cara hal itu dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap seorang politisi dan pengaruhnya pada dinamika politik di negara, yaitu apakah hal itu akan membawa politisi lebih dekat dengan rakyat atau memperburuk citra seorang politisi.
Pencitraan dalam Politik di Era Sosial Media
Pencitraan politik merupakan elemen utama dari komunikasi politik di Indonesia terkait dominasi media sosial sebagai sumber informasi masyarakat. Prabowo Subianto adalah contoh penting dalam konteks Pilpres 2024 karena Prabowo telah mencoba menarik simpati publik dan khususnya gen Z melalui media kreatif dan bagian dari tren terbaru, termasuk trend "gemoy" di TikTok. Dengan demikian, strategi pencitraan Prabowo adalah pada satu garis dengan memperkuat kesan kedekatan dengan kaum muda dan mencoba membersihkan citranya dari keterlibatan pada pelanggaran HAM.
Selain fungsi substansif, media sosial juga memiliki fungsi perwujudan. Sampai pada tahun 2019, Prabowo adalah presiden paling mapan dengan pengikut pencitraan Prabowo selama periode pemilihan presiden. Pada saat itu, Gen Z, yang sebagian besar adalah pengguna aktif media sosial. Prabowo meletakkan penekanan khusus pada pemilih muda. Video Prabowo berjalan cepat, Prabowo menari 'joget gemoy' dan menciptakan kesan bahwa prabowo adalah seorang figur yang santai dan ramah, yang menggambarkan bahwa dia relevan dengan tren anak muda. Sangat berbeda dari citra kaku Prabowo yang biasa kita lihat, dan ini hanya mencerminkan adaptasi Prabowo terhadap perubahan demografi pemilih Indonesia. Bahkan joget gemoy itu sendiri disusun dengan seksama untuk menjadi viral. Hal ini berafiliasi dengan algoritma media sosial. Trend ini sukses membawa keterlibatan tinggi, dimana trend tersebut dibagikan, dikomen, atau bahkan dibuat ulang oleh orang lain. Pencitraan yang santai dan menyenangkan ini juga memiliki tujuan politik yang lebih dalam yaitu mengalihkan perhatian rakyat dari masalah-masalah aneh yang selama ini terlihat pada Prabowo, khususnya tuduhan tentang pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Dengan membawa cerita yang lebih baik dan manusiawi, Prabowo berusaha membangun tampilan baru yang lebih diterima oleh generasi pemilih muda yang mungkin kurang tahu dengan riwayat politiknya.
1. Polarisasi politik yang diperburuk oleh pencitraan di media sosial
Reaksi berbeda di kalangan publik, pencitraan Prabowo lewat hal seperti joget gemoy membuat banyak perbedaan di kalangan generasi. Pendukungnya melihat ini sebagai cara baru untuk berbicara dengan orang banyak, khususnya anak muda. Di sisi lain, lawan-lawan politiknya mengkritik langkah ini seperti usaha yang cetek dan tidak peduli pentingnya hal yang nyata serta menutupi kisah gelap dari si politikus.
Peningkatan pencitraan di media sosial, media sosial jadi tempat penting untuk berbicara dan berdebat tentang citra Prabowo. Pembicaraan ini seringkali tidak hanya membahas apa yang diunggah, tapi juga meluas ke isu-isu lain, seperti dugaan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Pemisahan ini menjadi lebih buruk karena banyak akun anonim dan buzzer yang membuat situasi lebih sulit dengan menyebarkan informasi salah atau serangan pribadi pada orang-orang yang berbeda pendapat. Resiko kualitas dalam Politik yang merupakan cermin dalam citra-citra diatas adalah cara penggunaan citra-citra yang berlebihan hampir dalam semua sisi, mengakibatkan sulitnya pemilih dalam membuat pilihan yang manakala saat memilih terutama oleh generasi muda, pemilih lebih tertarik dengan calon-calon yang "mudah dicerna" lewat realita kehidupan di media sosial dibanding menilik visi, misi dan rekam jejak digital seorang calon. Maka dapat dibayangkan, bila memaknai sebuah demokrasi itu sering tidak sesuai dengan tata caranya, akan tetapi hanya dilihat dari yang kelihatannya saja. Hal ini akan memperlemah kualitas dimokrasi kita. Pemilih tidak memilih partai ataupun pemimpin karena dasar visi, misi, dan program kerjanya tetapi citranya.
2.Peran media tradisional dan digital
Meski media sosial memegang peran penting dalam proses pembentukan narasi yang ideal, namun media fisik, yakni televisi dan surat kabar juga berperan dalam merapatkan narasi. Pada kenyataannya, berita yang diberitakan tentang Prabowo lewat media sosial selalu diikuti dengan kembali diberitakannya ulang di media cetak sehingga dapat menjangkau segmentasi masyarakat yang tidak aktif di dunia digital sebagai jembatan antara media tradisional dan digital. Media digital dapat menyampaikan pesan dan pembuatan karya yang dapat mencapai audience yang lebih luas. Kritik dari berita independen juga dapat menjangkau audiens, namun tidak semua media menerima berita pencitraan yang positif. Berita independen dan beberapa portal berita yang kerap menyajikan narasi kritis, salah satunya memberikan keterangan berita tentang berita ulang yang sudah ada di media sosial, dan salah satunya lagi yang mengungkit bahwa meski pencitraan di media sosial dapat membangun di citra positif, media tradisional memiliki fungsi menjaga akuntabilitas dari pencitraan tersebut.
3.Dampak pencitraan terhadap masyarakat
1)Peningkatan partisipasi pemilih muda
Pencitraan politik melalui konten-konten yang kreatif, Seperti joget gemoy, telah mampu membawa kaum muda apalagi yang berusia di bawah 18 tahun yang baru memiliki ktp dan sedang bingung untuk memilih siapa, untuk melakukan sebuah proses politik. Meski masing-masing pendekatan politik dianggap sebagai hal yang dangkal, namun keberhasilan Prabowo mendapat perhatian generasi Z membuktikan bahwa melalui media sosial dapat digunakan sebagai alat untuk memperbanyak partisipasi politik, dan tentu saja hal tersebut sangat menguntungkan.
2)Dapat kurang memperhatikan substansi politik
Pada kasus ini, isu penting seperti program kerja, baik ekonomi, pendidikan, maupun lingkungan, sering kali mencurigakan karena saat dijadikan ke dalam narasi yang lebih emosional maupun visual. Analisis tersebut dapat membuat masyarakat yang kurang terkena informasi tentang program kerja yang di janjikan oleh calon pemimpin akan kebingungan dalam memilih. Generasi di atas milenial itu kurang terpapar internet, sebagian besar dari mereka tidak menggunakan media sosial, jadi ketika mereka mendapatkan informasi sering di telan mentah mentah, mereka tidak tahu inti dari pembahasannya.
3)Meningkatkan polarisasi dan ketidakpercayaan masyarakat
Keridakpercayaan masyarakat pada kesenjangan pemilihan dan ketidakpercayaan terhadap politik merupakan kontribusi dari polarisasi yang tercipta dari strategi pencitraan yang dibuat oleh politikus tersebut. Strategi pencitraan seperti ini malah tidak memberikan solusi apapun kepada masyarakat, strategi pencitraan joget gemoy Prabowo ini bertujuan hanya untuk memenangkan perhatian publik yang tidak tahu politik dan tidak tahu jejak digital dari para calon, dengan menggunakan pencitraan calon pemimpin dapat memanfaatkan hal tersebut untuk mencari pendukung. Walaupun Sebagian besar pemilih Prabowo ini memang tahu politik, tetapi sebagiannya lagi merupakan hasil dari pencitraan joget gemoy itu.
Pencitraan dalam politik pada era media sosial seperti yang dilakukan oleh Prabowo Subianto melalui trend joget gemoy dipandang sebagai peluang yang efektif bagi media digital yang hanya dapat digunakan untuk membangun citra dan membangkitkan minat dari masyarakat luas, hal ini dapat memperluas jangkauan politik melalui platform digital seperti Tiktok, Instragram, dan Twitter. Namun, ada pula bentuk kritik yang menyertai strategi praktis yang sukses untuk mengalihkan pandangan dari platform pribadi dengan masalah tidak dapat diterima. Walaupun demikian, strategi seperti ini memungkinkan lebih banyak keterlibatan kaum muda dan dapat meningkatkan hubungan emosional dengan publik, tetapi dampaknya terhadap polarisasi politik dan proses substansi tetap menjadi tantangan bagi dunia politik. Untuk menciptakan demokrasi yang sehat, politisi perlu menyeimbangkan pencitraan dengan penyampain visi, misi dan program kerja yang fleksibel. Jika demikian, maka media sosial dapat menjadi alat untuk memperkuat demokrasi. Jika tidak, media sosial hanyalah flatfrom sebagai penghiburan saja dan mungkin tidak dapat menjadi media untuk kepentingan politik.
Dimasa yang akan datang, semoga politik di Indonesia akan semakin memanfaatkan platform media sosial, tidak hanya Tiktok, Instagram, ataupun Twitter, tetapi media lainnya juga, dengan menggunakan media sosial, pesan politik akan lebih menarik dan dapat langsung terhubung dengan pemilih generasi muda. Meskipun demikian, para pemimpin harus mengakui bahwa kemenangan dalam lingkup perspektif public tidak hanya bergantung pada persetujuan orang banyak, namun juga pada pembuktian dari janji janji yang dipaparkan dalam visi, misi dan program kerja.
Pendapat saya mengenai politik ini bahwa politik harus lebih fokus pada komunikasi yang substansial, menggunakan pencitraan sebagai sarana untuk menarik perhatian dan memaparkan visi, misi, dan kebijakan yang relevan untuk kesejahteraan masyarakat. Platform sosial dapat berperan sebagai pendorong aturan masyarakat jika digunakan secara terbuka, tulus, dan penuh dengan pertimbangan. Selain itu, harus ada upaya yang terstruktur untuk mengurangi perpecahan dan meningkatkan pengetahuan online, sehingga masyarakat dapat menilai politisi lebih dari sekedar penampilan mereka, kita juga harus fokus dengan sejarah politisi dalam politik dan juga kita harus memperhatikan jejak digital dari para politisi. Dengan strategi yang lebih adil, masa depan pemerintahan di Indonesia berpotensi mendorong interaksi substansial dan meningkatkan standar demokrasi di era digital.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI