Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Senandung Pilu "Bunga Trotoar" di Ibu Kota

16 Desember 2017   00:13 Diperbarui: 16 Desember 2017   00:31 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Begitu hebatnya pedagang kaki lima (PKL) di Jakarta sampai-sampai penyanyi kondang Iwan Fals menyebut mereka sebagai "bunga trotoar" di Ibu Kota. Iwan Fals menyebut "bunga trotoar" di Ibu Kota tumbuh liar di mana-mana. Mereka menggelar aneka barang, menggelar mimpi yang panjang, kaki lima menggelar resah.

Mereka dihadapkan dengan langkah-langkah garang yang datang dan menghancurkan wanginya kembang namun engkau diam tak berdaya.

Ya, pedagang kaki lima (PKL) hingga kini masih tetap menjadi objek pemerasan yang dilakukan aparat.

Nasib PKL selamanya berujung kelabu. Sepertinya tak akan pernah ada tempat yang manis bagi mereka. PKL selalu main kucing-kucingan dengan aparat penegak peraturan daerah (Perda): Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)!

Namun siapa nyana jika keberadaan PKL tidak lepas dari praktik upeti. Jangan harap bisa gelar dagangan tanpa bayar upeti. Mereka tetap menjadi objek pemerasan yang dilakukan aparat.

Tidak hanya PKL liar yang suka main "tak umpet" dengan aparat penertiban kota tetapi PKL binaan saja juga kerap menjadi sapi perah. Mereka menjadi "mesin uang" mulai dari aparat ketertiban, polisi hingga preman.

Padahal, diakui atau tidak, PKL merupakan katup pengamanan yang telah teruji ketika negeri ini terkena imbas krisis ekonomi 1997. Tidak bisa dimungkiri, PKL adalah bagian dari aktivitas sektor informal yang tidak dapat dipisahkan begitu saja dari perkembangan sebuah kota.

Harganya yang terjangkau, tempat berjualan yang fleksibel, dan dekat dengan konsumen membuat PKL menjadi sandaran hidup sekaligus tempat alternatif berbelanja makanan dan barang bagi sebagian besar warga kota, termasuk juga di Ibu Kota Jakarta.

Satu lagi yang tidak pernah dipikirkan pengelola kota, seperti Jakarta, PKL merupakan sektor yang paling banyak dipilih warga ketika mereka terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Singkat kata, PKL amat cocok membantu mengatasi masalah pengangguran yang dengan sendirinya menaikkan tingkat perekonomian kota. Jumlah ini bisa terus bertambah asal ada pemberdayaan yang baik.

Namun, terkadang Pemerintah Provinsi (Pemptov) DKI Jakarta memandang sebelah mata pada usaha kerakyatan itu. Ini bisa dibuktikan bagaimana Pemprov lebih berpaham kapitalis dibanding paham ekonomi kerakyatan. Pengelola kota dengan royalnya memberi izin bagi pasar-pasar modern, supermarket, pasar swalayan, mal, dan hipermarket untuk tumbuh subur di berbagai badan kota. Di sisi lain, Pemprov malah menggusur dan mengobrak-abrik PKL.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun