Mohon tunggu...
Nora Oya
Nora Oya Mohon Tunggu... Buruh - “If you think you are too small to make a difference, try sleeping with a mosquito.” - Dalai Lama

rakyat biasa, ibu seorang putra, yang pecinta binatang, pemerhati budaya dan pecinta wastra

Selanjutnya

Tutup

Beauty Artikel Utama

Denyut Sakral Sang Penenun dari Tanah Sumba

11 November 2019   00:02 Diperbarui: 12 November 2019   05:13 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kain dari Sumba (Foto: Wahyu Sigit)

Padang rumput seluas mata memandang, adalah ciri khas Sumba. Matahari terik dan kuda liar berlarian kesana kemari adalah juga Sumba. Tenun ikat dengan corak dan warna tertentu juga Sumba.

Sumba dan tenun adalah kesatuan tak perpisahkan. Seperti juga Sumba dan kuda sandelwoodnya.  Hari ini saya ingin berbagi cerita mengenai tenun Sumba. 

Disebuah desa bernama Lambanapu di wilayah Sumba Timur saya beruntung dapat berkunjung menemui bapak satu ini. Penggiat tenun ikat Sumba dengan pewarna alami. 

Umbu Kornelis Ndapakamang, namanya. Seharian itu saya sempatkan menunggui beliau dan timnya mengerjakan tenun. Saya melihat tahapan satu per satu proses pembuatan tenun.

Menenun

Pekerjaan menenun tenun ikat di Sumba yang rumit dimulai dari istilah Pahudur, yaitu pekerjaan memintal kapas menjadi benang. Walaupun saat ini ada dua pilihan untuk mendapatkan benang yaitu membeli benang jadi di pasar, baik yang sudah memiliki warna maupun yang belum. Atau pilihan yang lain adalah membuat benang pintalan dari kapas (Kamba).

Gulungan kapas putih yang telah siap tadi kemudian mulai dipintal dengan menggunakan alat yang disebut Kindi. Lalu proses menggulung benang pintal (kabukul) dilakukan dengan menggunakan tangan dan  lutut, atau menggunakan alat yang diberi nama pepangu. 

Berikutnya adalah proses mengatur benang-benang yang berbentuk bola menjadi benang lungsin atau benang bakal tenunan. Prosesnya dua orang akan mengatur merenggangkan benang pada bingkai yang disebut sebagai wanggi

Orang yang berada di sebelah kiri bertugas untuk meletakkan dengan cantik benang secara tumpang tindih. Tugas orang di sebelah kanan hanya memutar dan menyorongkan benang pada orang yang sebelah kiri. 

Pekerjaan ini biasanya dilakukan dalam durasi hingga delapan jam jika tanpa berhenti. Ukuran untuk bakal kain selimut (hinggi) dan sarung (lau) berbeda. Demikian selanjutnya dengan teknik yang rumit terus dilakukan hingga kain selesai di tenun.

Benang yang digunakan untuk membuat kain. (Foto: Wahyu Sigit)
Benang yang digunakan untuk membuat kain. (Foto: Wahyu Sigit)
Desain

Teknik memberi gambar desain pada lungsin ada dua macam, yang pertama adalah dengan model ikat langsung. Itu artinya prosesnya desain langsung dikerjakan pada proses ikat langsung atau Hondung

Sang penenun langsung berimajinasi dan mengikat gambar apa yang akan dihadirkan pada benang lungsin. Kedua adalah benang lungsin yang di digambar dengan menggunakan pensil dua warna, proses tersebut disebut karandi. 

Pensil dua warna, merah biru tersebut penting bagi desainer untuk menampilkan pada bagian mana dari lungsin atau kain akan menampilkan gambar apa dengan warna apa.

Tampak bahwa disainer adalah sosok penting dari keseluruhan proses pembuatan tenun ikat Sumba, karena mereka yang memberi imajinasi awal, juga apa yang diwarnai, dan apa saja yang akan ditampilkan pada kain. 

Yang harus dicermati adalah para desainer tidak hanya memegang peranan penting pada pelestarian corak dan motif klasik, tetapi sekaligus sebagai perancang atas kelahiran corak dan motif baru dari tenun ikat Sumba.

Pewarnaan 

Dalam tenun ikat di Sumba Timur, pewarnaan adalah salah satu bagian terpenting selain desain dan ikat. Secara tradisi, warna-warna utama dalam tenun ikat Sumba adalah putih, hitam, merah dan biru serta gradasi warna yang mengiringinya, seperti merah muda, biru muda, coklat atau abu-abu.

Pada awalnya ada tiga proses pewarnaan yakni pewarnaan hitam, pewarnaan biru dan pewarnaan merah. Dahulu pewarnaan hitam menggunakan ramuan lumpur sungai dan tanaman bakau, yang diletakkan pada sebuah wadah seperti tong lalu dipanaskan di atas tungku. 

Benang atau kain akan dicelup beberapa kali untuk memperoleh warna hitam atau abu-abu. Namun saat ini pengetahuan pewarnaan hitam secara tradisional sudah ditinggalkan karena warna hitam dapat diperoleh dari pencelupan warna biru yang dicelup lagi dengan warna merah, atau pencelupan warna biru beberapa kali.

Dalam proses pembuatan tenun ikat, ada dua proses pewarnaan yang bisa dilakukan. Pertama adalah pewarnaan benang pakan atau lukamba. Benang yang setelah diwarnai akan melalui proses menjadi lungsin yang kemudian nantinya diberi gambar desain lalu diikat sebelum diwarnai kembali. 

Pewarnaan lainnya adalah pewarnaan pada lungsin atau benang yang telah selesai diberi gambar desain dan diikat, agar pewarna mengenai bagian mana saja dari kain tersebut sesuai warna yang dikehendaki.

Kain dari Sumba (Foto: Wahyu Sigit)
Kain dari Sumba (Foto: Wahyu Sigit)
Konsep Sakral Proses Mewarnai 

Sudah tahukah bahwa proses pewarnaan dalam tenun ikat Sumba Timur selalu diidentikkan dengan pekerjaan perempuan? Laki-laki dianggap tidak pantas atau pamali untuk melakukan pekerjaan tersebut, khususnya dalam meramu pewarnaan biru. 

Ada nilai sakral dalam proses pewarnaan biru, misalnya bahwa lokasinya harus  berjarak dengan rumah tinggal, bahkan pada masa lalu selalu  berada jauh dari perkampungan. 

Intinya proses ini jauh dari aktivitas manusia lainnya. Pantang bagi laki-laki, perempuan yang sedang hamil atau menstruasi untuk singgah di lokasi pewarnaan biru. Jika dilanggar maka proses pewarnaan akan gagal.

Proses pewarnaan yang sulit, beresiko, dan tuntutan pasar yang tinggi telah membuat perubahan budaya tenun ikat Sumba pada masa kini, pertama adalah keterlibatan laki-laki, kedua adalah penggunaan pewarna kimia.

Tangan bekas celup nila yang berwarna biru dianggap sebagai 'tangan yang kotor dan berbahaya'. Demikian pula dengan bau menusuk dari proses pembuatan pewarna alami biru dianggap sebagai bau yang  'tidak enak.' 

Hal-hal tersebut menambah jumlah kaum muda yang menghindari proses alami dan memilih menggunakan zat kimia, yang ternyata itu lebih berbahaya.

Masyarakat Sumba sesungguhnya telah membangun konsep betapa terhormatnya melakukan proses pewarnaan alami ini, pantangan-pantangan yang ada, lokasi yang berjarak dari rumah tempat tinggal, serta ritual yang dilakukan sebelum berproses adalah bukti bagaimana nilai penting dan sakral dari pewarnaan alami tersebut ada dalam kehidupan masyarakat Sumba. 

Pewarnaan alami menjadi tantangan besar yang harus dihadapi untuk tetap dipelihara keberadaannya pada masa paska milenium ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun