Mohon tunggu...
Nora Afnita
Nora Afnita Mohon Tunggu... Dosen / Asisten Ahli/ IAI Sumbar Pariaman

hobi membaca dan menulis, /kepribadian mau belajar secara terus menerus/ topik favorit pendidikan dan psikologi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Budaya Akademik, Etos Kerja dan Kontribusi Agama dalam Kehidupan Politik

4 September 2025   11:43 Diperbarui: 4 September 2025   11:43 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nilai santun dalam berargumentasi sejalan dengan teori communicative action dari Habermas (1984), yang menekankan pentingnya komunikasi rasional yang didasari kesetaraan dan penghargaan. Islam mendahului prinsip ini dengan menekankan hikmah dan mau'izhah hasanah dalam menyampaikan gagasan. Dengan demikian, budaya akademik Islami membentuk intelektual yang bukan hanya cerdas, tetapi juga beradab dalam berdialog. Sikap ini penting dalam menghadapi era globalisasi, di mana perbedaan pandangan sering kali memicu konflik, padahal dengan komunikasi yang santun, perbedaan justru bisa memperkaya pengetahuan.

Dengan mengintegrasikan nilai kejujuran ilmiah, kebebasan berpikir yang bertanggung jawab, dan sikap kritis namun santun, budaya akademik dalam perspektif agama menghadirkan paradigma pendidikan yang utuh. Ia tidak hanya menghasilkan manusia berilmu, tetapi juga berakhlak, bertanggung jawab, dan mampu menghadirkan kemaslahatan. Inilah yang membedakan budaya akademik Islami dengan budaya akademik sekuler yang cenderung memisahkan ilmu dari nilai moral. Seperti ditegaskan oleh Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din, ilmu tanpa akhlak akan menjadi bencana, sedangkan ilmu yang dibingkai dengan nilai-nilai agama akan membawa keberkahan bagi kehidupan umat manusia.

John Rawls (1971) dalam karyanya A Theory of Justice menekankan bahwa keadilan merupakan nilai dasar yang harus menjadi landasan kehidupan bernegara. Menurutnya, keadilan adalah prinsip utama dalam mengatur struktur dasar masyarakat, di mana setiap individu berhak memperoleh kebebasan yang sama, kesempatan yang adil, serta distribusi sumber daya yang tidak merugikan kelompok lemah. Konsep ini memiliki titik temu dengan prinsip maslahah dalam Islam, yang dikembangkan oleh al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan kemudian diperluas oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat. Maslahah berarti kemaslahatan umum yang mencakup perlindungan terhadap lima tujuan pokok syariat (maqasid al-shari'ah), yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (Al-Syatibi, 2003). Jika Rawls menekankan keadilan sebagai fairness, maka Islam menekankan keadilan dalam bingkai kebermanfaatan bagi umat manusia.

Kedua konsep ini dapat dipadukan untuk membangun tatanan politik yang berorientasi pada kesejahteraan publik, bukan sekadar perebutan kekuasaan. Politik yang dilandasi nilai keadilan dan maslahah tidak hanya menuntut distribusi kekuasaan yang merata, tetapi juga menghendaki agar kebijakan publik benar-benar diarahkan untuk melindungi hak-hak dasar warga negara. Dalam konteks Islam, hal ini ditegaskan dalam QS. An-Nisa: 58 yang memerintahkan agar amanah disampaikan kepada yang berhak dan agar manusia menetapkan hukum dengan adil. Ibn Taymiyyah (1995) bahkan menyatakan bahwa keadilan adalah tujuan pokok dari pemerintahan, dan tanpa keadilan, negara akan runtuh meskipun dipimpin oleh seorang Muslim.

Dengan demikian, prinsip keadilan ala Rawls dan konsep maslahah dalam Islam memiliki relevansi yang sangat kuat untuk menciptakan politik etis dan berkeadaban. Rawls dengan pendekatan filsafat politik modernnya dan para ulama Islam dengan kerangka normatif syariatnya sama-sama menekankan bahwa kekuasaan hanyalah alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Politik tidak lagi dipandang sebagai arena perebutan kepentingan, melainkan sebagai instrumen untuk mewujudkan keadilan sosial yang menyeluruh. Integrasi keduanya dapat memberikan fondasi teoretis yang kokoh bagi pembangunan sistem politik yang demokratis, berkeadilan, dan berorientasi pada kesejahteraan umat manusia.

Etos Kerja, Sikap Terbuka, dan Adil

Etos kerja pada hakikatnya merupakan dorongan internal yang menuntun seseorang untuk bekerja secara sungguh-sungguh, disiplin, dan bertanggung jawab. Konsep ini bukan sekadar menyangkut produktivitas material, tetapi juga berkaitan dengan nilai moral dan spiritual yang mendasarinya. Max Weber (1905) dalam karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism menjelaskan bahwa etos kerja lahir dari pandangan agama, khususnya etika Protestan yang menekankan kerja keras, disiplin, dan rasionalitas sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Pemikiran Weber ini menegaskan bahwa agama berperan besar dalam membentuk mentalitas kerja suatu masyarakat.

Dalam perspektif Islam, etos kerja memiliki posisi yang sangat penting. Islam memandang kerja bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi juga bernilai ibadah apabila diniatkan untuk mencari keridaan Allah SWT. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam QS. At-Taubah ayat 105: "Dan katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu...". Ayat ini memberikan dorongan moral agar setiap Muslim menempatkan kerja sebagai bentuk pengabdian yang tidak hanya dinilai oleh manusia, tetapi juga oleh Allah. Dengan demikian, setiap pekerjaan menuntut keikhlasan, profesionalisme, dan tanggung jawab.

 

Sejumlah hadis Nabi juga memperkuat pandangan Islam tentang pentingnya etos kerja. Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada seorang pun yang memakan makanan lebih baik daripada hasil kerja tangannya sendiri" (HR. Bukhari). Hadis ini menegaskan nilai kemandirian dan kerja keras sebagai sikap terpuji. Dengan bekerja, manusia tidak hanya memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi juga menjaga martabat dirinya dari ketergantungan. Pandangan ini sejalan dengan gagasan Weber bahwa kerja keras memiliki nilai moral yang tinggi.

Etos kerja dalam Islam juga terkait dengan sikap disiplin. Disiplin merupakan bentuk konsistensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Nabi Muhammad SAW memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ketekunan dan konsistensi. Sejak masa mudanya, beliau dikenal sebagai sosok yang amanah dan rajin bekerja, baik ketika menggembala kambing maupun berdagang. Oleh karena itu, etos kerja dalam Islam tidak hanya sekadar anjuran, tetapi juga tercermin dalam praktik kehidupan Rasulullah yang menjadi teladan bagi umatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun