Mohon tunggu...
Nora Afnita
Nora Afnita Mohon Tunggu... Dosen / Asisten Ahli/ IAI Sumbar Pariaman

hobi membaca dan menulis, /kepribadian mau belajar secara terus menerus/ topik favorit pendidikan dan psikologi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Budaya Akademik, Etos Kerja dan Kontribusi Agama dalam Kehidupan Politik

4 September 2025   11:43 Diperbarui: 4 September 2025   11:43 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Budaya Akademik Menurut Pandangan Agama

Budaya akademik pada dasarnya mencakup seperangkat nilai, norma, dan perilaku yang membentuk tradisi ilmiah di lingkungan pendidikan maupun masyarakat luas. Nilai-nilai tersebut meliputi kejujuran intelektual, keterbukaan terhadap kritik, penghargaan terhadap karya ilmiah, serta sikap kritis dan objektif dalam mencari kebenaran. Dalam perspektif Islam, budaya akademik memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan perintah agama untuk menuntut ilmu. Al-Qur'an dalam QS. Al-'Alaq ayat 1--5 menegaskan pentingnya membaca dan belajar sebagai pintu masuk pengetahuan, yang menunjukkan bahwa tradisi akademik sesungguhnya berakar pada wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat ini tidak hanya mendorong aktivitas membaca dalam arti tekstual, tetapi juga mencakup kegiatan berpikir, meneliti, dan menggali ilmu pengetahuan.

Selain itu, hadis Nabi yang menyatakan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim (HR. Ibnu Majah) memperkuat posisi ilmu sebagai kebutuhan spiritual sekaligus sosial. Pandangan ini menunjukkan bahwa budaya akademik tidak boleh dipandang semata-mata sebagai aktivitas duniawi, melainkan sebagai ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah. Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din menegaskan bahwa ilmu merupakan cahaya yang menerangi jalan kehidupan manusia, dan tanpa ilmu, manusia akan terjebak dalam kegelapan kebodohan. Senada dengan itu, Nata (2012) dalam kajiannya tentang pendidikan Islam menyebutkan bahwa tradisi akademik Islami selalu menempatkan ilmu dan adab (akhlak) sebagai dua aspek yang tidak bisa dipisahkan, karena ilmu tanpa moralitas akan kehilangan makna dan arah.

Dengan demikian, budaya akademik menurut perspektif Islam mencakup lebih dari sekadar proses transfer pengetahuan. Ia adalah tradisi ilmiah yang dibangun atas dasar nilai religius, moral, dan spiritual, yang mengintegrasikan antara kecerdasan intelektual (intellectual quotient), kecerdasan emosional (emotional quotient), dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Hal ini menjadikan budaya akademik Islami berbeda dari sekadar budaya ilmiah sekuler, karena orientasinya tidak hanya pada pencapaian akademis, tetapi juga pada kemaslahatan umat dan kedekatan kepada Allah SWT.

Salah satu nilai utama dalam budaya akademik menurut perspektif agama adalah kejujuran ilmiah (integrity). Dalam Islam, kejujuran atau shidq merupakan fondasi utama dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam aktivitas ilmiah. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga" (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam konteks akademik, kejujuran ilmiah diwujudkan dengan menghindari plagiarisme, fabrikasi, dan falsifikasi data. Tilaar (2002) menegaskan bahwa integritas merupakan ruh dari budaya akademik, karena tanpa kejujuran, ilmu yang dihasilkan akan kehilangan nilai dan keabsahannya. Dengan demikian, integritas akademik bukan hanya kewajiban etis, tetapi juga perintah moral agama.

Kejujuran ilmiah juga berarti mengakui sumber informasi secara benar. Dalam literatur akademik, tindakan plagiarisme dianggap sebagai pelanggaran berat, sementara dalam pandangan Islam, ia termasuk ke dalam perbuatan dusta yang diharamkan. QS. Al-Hajj: 30 melarang segala bentuk kedustaan, dan hal ini berlaku dalam dunia akademik. Nata (2012) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dalam Islam harus berlandaskan kejujuran agar dapat membawa keberkahan, karena ilmu yang diperoleh dengan cara curang akan kehilangan nilai kebermanfaatannya. Oleh sebab itu, kejujuran akademik tidak hanya berdampak pada reputasi ilmiah, tetapi juga pada tanggung jawab moral seorang penuntut ilmu di hadapan Allah SWT.

 

Nilai berikutnya adalah kebebasan berpikir yang bertanggung jawab. Dalam Al-Qur'an, manusia didorong untuk menggunakan akal pikiran mereka dalam merenungi ciptaan Allah. QS. Ali Imran: 190--191 menggambarkan orang-orang berakal yang senantiasa berpikir tentang penciptaan langit dan bumi, yang kemudian menuntun mereka untuk semakin taat kepada Allah. Ayat ini menunjukkan bahwa berpikir kritis adalah ibadah intelektual. Namun, kebebasan berpikir dalam Islam tidaklah absolut seperti dalam tradisi liberal, melainkan diarahkan untuk mencari kebenaran yang membawa kebaikan, bukan sekadar spekulasi yang menyesatkan.

Dalam sejarah Islam, tradisi berpikir kritis ini telah melahirkan banyak ilmuwan besar. Misalnya, Ibnu Sina dalam bidang kedokteran dan filsafat, Al-Farabi dalam filsafat politik, serta Ibnu Khaldun dalam ilmu sosial. Mereka menunjukkan bahwa kebebasan berpikir yang bertanggung jawab mampu menghasilkan kontribusi besar bagi peradaban. Al-Attas (1999) menekankan bahwa kebebasan berpikir dalam Islam harus berlandaskan adab, yaitu kesadaran moral yang membimbing akal agar tidak melampaui batas. Hal ini membedakan antara pemikiran akademik yang Islami dengan sekuler: yang satu diarahkan untuk kemaslahatan umat, sementara yang lain sering kali bebas nilai.

Selain kejujuran dan kebebasan berpikir, budaya akademik menurut agama juga menekankan sikap kritis namun santun. QS. An-Nahl: 125 memberikan pedoman, "Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik". Ayat ini menunjukkan bahwa kritik dalam Islam harus dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan etika. Kritik yang dilakukan tanpa kesantunan hanya akan menimbulkan konflik, bukan membangun pemahaman. Dalam dunia akademik, sikap kritis-santun ini menciptakan iklim diskusi yang sehat dan produktif.

Tradisi kritik yang santun dapat ditemukan dalam praktik para ulama klasik. Imam Syafi'i, misalnya, dikenal memiliki pandangan berbeda dengan gurunya, Imam Malik. Meskipun demikian, beliau tetap menunjukkan sikap hormat dan adab dalam menyampaikan perbedaan pendapat. Hal ini menjadi teladan bahwa budaya akademik Islami menuntut keberanian untuk mengkritisi pendapat, namun tetap menjaga etika komunikasi. Menurut Azra (2002), tradisi intelektual Islam di Nusantara juga sarat dengan nilai kesantunan, di mana perdebatan keilmuan dilakukan dengan adab, bukan permusuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun