Ada ibu yang cerita ke saya kalau di SMP anaknya (negeri) sudah tidak ada drumband karena uang sumbangan orangtua mau dipakai buat upah guru honorer dan staf tata usaha.
Komite Sekolahnya tidak berani menggalang sumbangan untuk biaya ekstrakurikuler. Jadi cuma menggalang dana untuk staf TU dan GTT saja (Guru Tidak Tetap).
Tahun lalu drumband masih jadi kegiatan wajib buat murid kelas tujuh di SMP itu. Sekarang cuma ada Pramuka karena tidak ada biaya untuk mengupah pelatih ekstrakurikuler lain.
Nasib SMP itu akhirnya sama dengan SMP anak saya (negeri juga) yang sudah lebih dulu anyep tanpa ekstrakurikuler kecuali Pramuka dan PMR. Pramuka dan PMR pun cuma untuk murid kelas tujuh. Murid kelas delapan (dan sembilan) harus puas cuma sekolah-pulang-sekolah-pulang.
Efek Samping Jargon Gratis
Sebelum diberlakukan penerimaan murid baru sistem domisili (dulu zonasi), SMP tempat anak saya belajar adalah sekolah berprestasi. Nilai lulusannya bagus-bagus, sering juara lomba dan kompetisi nasional. Juga bakat dan minat murid-muridnya tersalurkan lewat kegiatan ekstrakurikuler.
Kemudian, pada 2008 muncul jargon sekolah gratis lewat pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sejak sekolah gratis dikampanyekan, SMP negeri tempat anak kami belajar itu mulai goyah.
Dana BOS ternyata tidak cukup membiayai seluruh ekstrakurikuler yang ada. Pembiayaan untuk mengirim murid mengikuti lomba dan kompetisi juga tidak tercukupi BOS.
Pola pikir orangtua pun berubah. Jargon sekolah gratis yang dicanangkan pemerintah membuat mereka mengira sekolah harus betul-betul gratis. Padahal namanya juga Bantuan Operasional Sekolah, tentu duit dari pemerintah cuma untuk operasional saja. Ekstrakurikuler standar yang bisa dibiayai BOS cuma Pramuka.
Kalau Pramuka-nya minta bantuan kakak pembina dari kwartir, misalnya, kita pasti memberi, minimal, ongkos bensin sebagai tanda terima kasih sudah mau melatih.
Sebetulnya, sesuai Permendikbud No. 75/2016, Komite Sekolah boleh menggalang dana untuk membiayai sarana-prasarana dan fasilitas di sekolah (negeri) yang kurang. Termasuk membiayai kegiatan ekstrakurikuler. Namun, pola pikir gratisan bikin komite sulit menggalang dana. Tiap kali mereka menggalang dana, ada saja orangtua yang melaporkannya sebagai pungli ke dinas pendidikan.