"Bunda, Gita pernah pengin mengakhiri hidup Gita dengan sengaja. Soalnya, Gita udah gak kuat. Gita capek. Cuma, Gita inget lagi cerita perjuangan bunda ngelahirin Gita, kuatnya bunda pas hamil Gita tetep puasa, dan gimana bunda nemenin Gita ketika Gita sakit."
Aku mengusap bagian kepala nisan merah makam itu.
"Perlahan Gita paham, Bunda. Hidup tidak hanya soal hitam dan putih, juga benar dan salah. Semuanya ada alasannya, dan Allah yang lebih berhak untuk menilai. Namun, selama ini Gita hidup dalam lingkungan yang sangat menghakimi. Keluarga bunda dan ayah."
"Gita butuh waktu merantau sekian lama dulu untuk bisa menerima takdir ini. Awalnya Gita kecewa, Bunda. Namun, Gita sadar itu udah gak bisa diubah lagi. Gita hanya bisa menyembuhkan semua luka itu dan mencukupkannya pada Gita. Ini, mungkin ini kenapa bunda harus berpulang akhirnya setelah Gita pahami."
Aku masih mengusap nisan merah itu. Mengusapnya lebih lembut lagi, seakan benar-benar tubuh bunda yang aku usap. Sinar matahari tidak lagi terik. Sepertinya awan melindungiku dari matahari itu, karena tahu aku akan lama berada di makam ini.
"Meskipun bunda udah gak ada di sisi Gita, bunda tetap ada dalam hati, pikiran, doa, juga dalam seluruh tubuh Gita. Namun, Gita tetap rindu bunda. Gita kira dulu gak bakal butuh bunda lagi. Ternyata butuh. Rasanya malah lebih butuh sekarang, biar Gita tahu hidup versi bunda dan gimana menjalani kehidupan manusia dewasa lebih baik."
"Bunda, terima kasih untuk semuanya ya. Sekali lagi Gita minta maaf, maaf, dan maaf untuk semua yang pernah Gita lakukan. Bunda yang tenang dalam dekapan bumi ini. Gita dan Kak Lala mengusahakan yang terbaik untuk hidup kita masing-masing."
Aku pun mengambil peralatan yang aku bawa untuk membersihkan makam. Aku melangkah keluar menuju jalan raya. Kini, selesai sudah ritual setiap pulang ke kampung halaman.
***
Mendung menggelayuti langit sore itu. Padahal, satu keluarga ini sudah bersiap untuk berangkat bersilaturrahmi dalam rangka Idulfitri. Meskipun menggunakan mobil, tapi tetap saja mendung begitu bagi mereka lebih enak di rumah, untuk sekadar menonton film spesial Idulfitri di televisi, atau bercengkerama sembari memakan kue khas Idulfitri.
"Gita, Lala, ayo kunci jendelanya. Kita berangkat sekarang."