Selesa mata memandang, tapi tak lenyap gelisah diri.
Luka-luka, rentuh lalu runtuh, kian derita selimut nestapa
Bibir rentak gaungkan merdeka, Â sementara jiwa terpenjara
Kerap aku bermonolog ria pada cermin di kamar bunda
Senandika dengan tawa, tangis, layaknya gila
Tangan-tangan hina mencela sang saka di saat tinggi kibarnya
Malu... Malu aku pada mereka yang kini terbaring kanan menghadap-Nya.
Mati berjuang bebaskan bangsa yang di cinta,
di puja, di junjung bersama...
Tak hirau daging terkelupas, luka bernanah, bermandikan darah
Peluru bertubi-tubi menghujam tubuhnya
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!