Tahu kah, kau? Ku tak pernah melayangkan pinta,
terlahir dengan balutan kulit, layaknya legamnya tinta.
Tahu pula kah, kau? Ku tak pernah menolak barisan kata,
seolah melukiskan kegagalan ciptaan Pencipta.
Kata, laku, prasangka, serta sebentuk lirikan tajam,
bak peluru mendesing, yang berusaha menghujam,
dan bernafsu seraya ingin membungkam,
ganas, membabi buta, berkehendak menerkam.
Pelahan tapi pasti, lambat namun menumpuk deru,
sekelebat bumerang bergerak untuk berseteru,
sampai kerumunan kedapatan berseru,
membuat lidah terasa pahit dan kelu.
Saudaraku...
Kita di bawah naungan langit yang sama,
berpijak di persada tercinta yang serupa,
melihat secercah mentari yang tak beda,
melantunkan Indonesia Pusaka, dengan haru yang seirama.
Semaikan bibit sayang persaudaraan dalam keteduhan,
tanami dengan benih kehangatan bernuansa keselarasan,
aliri dengan kejernihan tirta pikir yang menyatukan,
begandengan tangan dengan semangat memadukan.
Cintai aku, seperti merawat cinta mu juga,
kasihi aku, seperti mengasihi diri mu juga,
tebarkan cinta dan harum surga,
semaikan senyum hangat nan lega.
Puisi ini dibuat untuk Kompasiana