Mohon tunggu...
Niswana Wafi
Niswana Wafi Mohon Tunggu... Lainnya - Storyteller

Hamba Allah yang selalu berusaha untuk Istiqomah di jalan-Nya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kasus KDRT Terus Meningkat, Bagaimana Solusinya?

14 November 2022   08:12 Diperbarui: 14 November 2022   08:14 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://ihpl.llu.edu/blog/dangers-domestic-violence-and-importance-prevention

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap anak dan perempuan terus mengalami peningkatan. Persoalan ini perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak agar bisa terselesaikan. Perlindungan terhadap perempuan sangat penting karena ia adalah ibu generasi penentu baik dan buruknya generasi di masa depan. Sedangkan anak adalah aset berharga yang harus selalu dijaga dan disayangi.

Komisi Nasional Anti-kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami kenaikan yang cukup signifikan dalam Catatan Tahunan yang dirilis pada 17 Oktober 2022. Komnas Perempuan mengatakan laporan kekerasan berbasis gender pada 2021 mencapai angka tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Jumlahnya naik 50 persen dari tahun sebelumnya. Data tersebut mengungkapkan bahwa kasus kekeraan pada perempuan tercatat sebanyak 338.496 kasus pada 2021, dibanding 226.062 kasus pada tahun 2020. Dari angka tersebut, kekerasan paling banyak terjadi pada wilayah personal, yaitu sebanyak 335.399 kasus atau setara dengan 99%. Kekerasan personal yang paling banyak terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Mayoritas korbannya adalah anak dan perempuan.

KDRT menimbulkan ketakutan, penderitaan berat, gangguan psikososial pada korban, hingga kematian. Bahkan, kasus terbaru yang terjadi di Depok pada tanggal 9 November 2022, seorang suami sekaligus ayah tega menganiaya istri dan membacok anak hingga tewas di tempat. Tidak berselang lama, masih di Depok, masyarakat dihebohkan dengan video viral yang memperlihatkan seorang suami yang terus-menerus menonjok dan memukuli istrinya. Diketahui motifnya adalah permasalahan hutang di bank.

Kekerasan suami terhadap istrinya atau ayah terhadap anaknya bukan menjadi hal yang aneh melainkan sudah sering terjadi. KDRT banyak terjadi bukan hanya di kota-kota besar, seperti Depok, Jakarta, Bandung, melainkan juga di desa-desa. Para suami sudah tidak malu lagi untuk memukuli istrinya di tempat umum hingga disaksikan oleh banyak orang. Sang ayah pun tidak peduli jika anaknya melihat hal tersebut dan akan mengalami trauma psikis yang luar biasa.

Lantas, mengapa seorang ayah atau suami begitu tega menganiaya istri dan anaknya? Mengapa angka KDRT makin meningkat? Sudah cukupkah aturan hukum di Indonesia untuk mencegah KDRT yang terus berulang? Atau bahkan memang sistem yang diterapkan salah sehingga sampai kapanpun masalah tersebut tidak akan terselesaikan? Jika demikian, bagaimana solusi yang benar terkait hal ini?

Pertama, seorang suami sekaligus ayah tega melakukan hal yang mengerikan kepada anggota keluarganya karena mendapat tekanan dari berbagai sisi. Tekanan dalam hal ekonomi, psikologi, kesehatan, lingkungan, serta seluruh sistem aturan yang melingkupinya. Oleh karenanya, ini merupakan masalah sistemis, masalahnya tersistem. Solusi yang dibutuhkan pun harus solusi pada tataran sistem. Jadi, bukan hanya sekadar problem individu, gender, atau sosial semata.

Sistem yang diterapkan di negara kita saat ini yaitu sistem kapitalis dengan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Pada sistem ini, negara tidak mengatur bagaimana peran suami dan istri, bagaimana peran ayah dan ibu yang benar sesuai fitrahnya. Oleh karenanya, banyak masyarakat yang tidak berperan sebagaimana mestinya. Hal ini tentu menimbulkan kerusakan mutlak, baik rusak secara psikologis ataupun rusak secara fisik. 

Secara fitrahnya, perempuan adalah makhluk lemah lembut, gemulai, dan rapuh. Makhluk yang seharusnya dijaga dan dicintai. Namun realitanya, banyak perempuan atau para ibu yang harus keluar dari fitrahnya karena sistem memaksa mereka mengubah diri. Sistem membuat mereka berubah dari yang harusnya berperan sebagai tulang rusuk menjadi tulang punggung. Peran sesuai fitrah ini harus diatur dan dikontrol oleh negara. Selain negara, tidak ada lagi institusi yang bisa menindak karena negara yang memiliki kewenangan penuh terkait hal itu.

Dalam sistem kapitalis, seorang suami atau ayah tidak diberikan edukasi bagaimana seharusnya berperan sesuai fitrah sehingga mereka meninggalkan peran yang seharusnya. Lantas, siapa yang harus dengan rela menjalankan peran ayah tersebut? Tentu saja para ibu. Para ibu harus mampu membelah dirinya menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Dan negara justru mendukung hal itu, mendukung kesalahan pengambilan peran antara ayah dan ibu. Bahkan, negara dan sistem yang dihasilkan memfasilitasi agar para ibu berperan menjadi ayah untuk menafkahi keluarga. Upaya mendorong para ibu untuk keluar rumah juga lahir dari feminisme, paham yang lahir dari sudut pandang sekularisme dan kapitalisme. Alhasil, ayah dan ibu tidak mengenal agama, akhirnya mengelola rumah tangga tanpa aturan agama. Jadilah kasus KDRT makin marak.

Kesalahan peran membuat seorang ibu akan bekerja berjibaku menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah tangga, menyiapkan segala kebutuhan serta melayani dan mengurus kepentingan anak-anaknya. Ketika urusan rumah telah selesai, ibu pun segera bertransformasi dan bermetamorfosis menjadi sosok ayah, tulang punggung keluarga. Ia harus bekerja keras membanting tulang dari pagi hingga petang, mengais rezeki untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan anak-anaknya. Padahal seharusnya, semua itu adalah kewajiban Ayah. Ayah berperan memberikan nafkah bagi keluarga. Nafkah bukan hanya sesuatu yang berbentuk uang, melainkan juga makanan, pakaian, tempat tinggal, dan segala kebutuhan rumah yang sudah siap jadi.

Perubahan peran yang terjadi tentu membuat peran asli istri sekaligus ibu menjadi tidak maksimal. Generasi yang dihasilkan pun pasti akan mengalami kerusakan. Ketaatan para istri kepada suami juga luntur karena merasa telah menjadi "tulang punggung" keluarga. Bagaimana mungkin seorang istri bisa memadamkan konflik rumah tangga dengan penuh kasih sayang jika di saat yang sama ia harus berpikir keras untuk menafkahi keluarga?

Para istri yang tidak bekerja pun bukan berarti terbebas dari KDRT. Berbagai tuntutan yang begitu besar untuk gaya hidup juga menyebabkan para suami stres hingga berujung KDRT. Hal ini dikarenakan negara telah menyontohkan rakyatnya kehidupan yang glamor dan mewah melalui berbagai media yang ada. Belum lagi gempuran ekonomi, pendidikan, kesehatan, dll, yang semua itu dibebankan kepada rakyat. Kebutuhan pokok yang seharusnya menjadi kewajiban negara tidaklah dipenuhi karena sistem kapitalis membuat negara berlepas tangan. Semua hal itu tentulah membuat keluarga penuh konflik. Ayah yang memiliki fitrah keras akan mudah emosi dan melakukan tindak kekerasan kepada anggota keluarganya. 

Photo by Karolina Grabowska: https://www.pexels.com/photo/man-clenching-fist-near-a-woman-covering-face-while-sitting-4379912/
Photo by Karolina Grabowska: https://www.pexels.com/photo/man-clenching-fist-near-a-woman-covering-face-while-sitting-4379912/

Dalam sistem yang benar, yaitu sistem Islam, seluruh sendi kehidupan ada aturannya. Jadi, tidaklah sembarangan. Aturan tersebut tentu berasal dari Tuhan, Sang Pencipta, yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Aturan Islam dari Sang Pencipta akan menghasilkan rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam. Jika aturan Islam dibuang dan diganti dengan aturan buatan manusia, maka hasil yang diperoleh adalah kerusakan. Allah Swt. berfirman yang artinya, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya mereka merasakan sebagian dari (dampak) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (Ar-Rum : 41).

Negara Islam akan memberikan edukasi bagaimana seorang perempuan itu harus diayomi, bukan mengayomi. Negara Islam akan memberikan edukasi ketakwaan dan aqidah rakyat agar mereka selalu terikat dengan aturan Allah. Anggaran negara akan diarahkan terhadap hal-hal yang diperlukan rakyat, bukan hal-hal yang tidak penting. Negara Islam akan memenuhi kebutuhan pokok rakyat, menjamin kebutuhan pangan terpenuhi, memberikan pendidikan dan kesehatan gratis untuk rakyat, serta menjaga harta kekayaan rakyat. Harta kekayaan negara yang sungguh luar biasa besar harus sepenuhnya diberikan kepada rakyat, bukan pada asing ataupun swasta. Negara Islam juga tidak memaksa rakyat untuk beragama Islam, seluruh rakyat memiliki kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing. Berdasarkan hal ini, maka solusi yang benar adalah dengan mengganti sistem kapitalis menjadi sistem Islam secara sempurna. Allah SWT berfirman, "Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini agama Allah?" (QS Al-Ma'idah ayat 50).

Sudah terbukti, sistem sekuler kapitalis menjadi biang terjadinya seluruh persoalan. Sebaliknya, sistem Islam telah nyata terbukti mampu menyelesaikan berbagai problematika kehidupan. Sungguh, sistem Islam yang diterapkan secara sempurna (kaffah) akan mengantarkan pada keberkahan bagi masyarakatnya. Masalah KDRT dan seluruh persoalan umat manusia akan terselesaikan, umat pun akan kembali hidup sesuai fitrahnya. 

Photo by Monstera: https://www.pexels.com/photo/delighted-multiethnic-family-taking-selfie-sitting-on-couch-5996835/
Photo by Monstera: https://www.pexels.com/photo/delighted-multiethnic-family-taking-selfie-sitting-on-couch-5996835/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun