Siapa disini yang merasa bersalah saat merasa kelelahan atau sedang beristirahat? Tidak sedikit orang merasa melakukan dosa besar ketika sedang merasa lelah atau beristirahat dengan beranggapan seolah-olah rasa lelah dan istirahat akan menghambat langkah maju, terutama pada mahasiswa. Apalagi di tengah hiruk-pikuk tuntutan performa tinggi dan budaya yang selalu memaksa untuk selalu produktif. Padahal, jika kita terus-menerus mendorong dan memaksa diri untuk terus menerus produktif akan membuat kita berada di dalam kondisi toxic productivity.
Toxic productivity adalah situasi dimana seseorang mendorong dan memaksa dirinya sendiri untuk bekerja secara ekstrem dan terus menerus tanpa henti dengan anggapan bahwa hal ini dapat semakin meningkatkan produktivitas mereka. Dalam hal ini, bahkan tidak sedikit orang mengorbankan kesehatan fisik dan mentalnya demi tercapainya kepuasan. Sekarang, bukan hanya pekerja saja yang merasakan toxic productivity ini, melainkan pelajar dan mahasiswa pun ikut merasakan atau bahkan lebih, mengingat usianya yang masih terbilang belum stabil.
Dikutip dari (BBC, 2020) Dr. Julie Smith seorang psikolog klinis dari Hampshire, Inggris, mengatakan bahwa toxic productivity berawal dari sebuah rasa obsesi untuk mengembangkan diri dan merasa selalu bersalah jika tidak bisa melakukan banyak hal. Ini bukan hanya tentang menyelesaikan banyak tugas, tetapi tentang obsesi untuk terus menerus bekerja tanpa henti, bahkan saat tubuh dan pikiran sudah merasakan kelelahan. Toxic Productivity sendiri ternyata muncul dari budaya kita yang sering kali meninggikan nilai suatu produktivitas. Kita juga tak jarang kagum dengan orang-orang yang mempunyai beberapa macam aktivitas dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kita juga sering memuji seseorang yang rela kekurangan waktu istirahat atau waktu tidurnya hanya demi menyelesaikan tugas-tugas mereka (Ramadhina et al., 2023). Padahal ketika mahasiswa terus memaksa diri untuk bekerja tanpa henti saat lelah, justru akan mengakibatkan kualitas hasil yang dikerjakan menjadi menurun, mahasiswa juga akan kesulitan untuk berpikir jernih sehingga terhambat dalam menyalurkan ide, dan tentunya hal ini akan menimbulkan resiko burnout yang meningkat drastis, sehingga akan berdampak pada proses pembelajaran mereka.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tsabita et al. (2023), ditemukan bahwa terdapat dampak yang signifikan yang disebabkan oleh toxic productivity terhadap prestasi akademik mahasiswa. Banyaknya tugas yang harus diselesaikan membuat mahasiswa harus membagi fokusnya, dan hal ini dapat menyebabkan adanya stress dan cemas yang disebabkan karena ketakutan tidak dapat menyelesaikan banyaknya tugas dalam satu waktu dan tentunya hal ini memiliki peranan dalam penurunan prestasi akademik mahasiswa. Mahasiswa yang terpaksa untuk memenuhi standar produtivitas yang tidak realistis dapat mendorong mereka hingga tidak memiliki ruang mental untuk mengembangkan ide-ide baru yang kreatif, sehingga hal ini dapat menghambat kemampuan mereka dalam memecahkan suatu masalah dan juga sulit untuk berkontribusi penuh dalam proses pembelajaran. Mahasiswa juga akan kehilangan minat dalam pembelajaran karena mereka sudah lebih dulu mendapatkan banyak tekanan, sehingga rasa cemas dan lelah akan mempengaruhi penurunan performa akademik mereka.
Mahasiswa yang mengalami toxic productivity mungkin memiliki self efficacy yang sangat tinggi terhadap kemampuan mereka dalam mengerjakan tugas. Namun sayangnya, kebanyakan dari mereka memiliki self efficacy yang rendah dalam hal mengatur batasan, istirahat, atau mengelola keseimbangan hidup. Mahasiswa yang terjebak dalam toxic productivity secara tidak sadar mengabaikan kebutuhan dasar mereka seperti tidur, makan dan mengistirahatkan pikiran demi memenuhi kepuasan mereka dalam menyelesaikan pekerjaan.
Kebanyakan dari mereka memandang kelelahan sebagai kelemahan dan kegagalan. Padahal mengambil jeda, tidur yang cukup, atau sekedar melakukan hobby di luar tugas kuliah, bukanlah bentuk malas, melainkan sebagai investasi yang baik bagi kesehatan mental dan fisik. Karena, istirahat sejenak bukanlah penghalang, melainkan persiapan untuk menjadi lebih kuat dan lebih berenergi dalam melanjutkan kerja. Daripada menekan rasa lelah dan memaksakan diri, kini mari saatnya kita belajar untuk membiarkan dan mengistirahatkan rasa lelah itu sendiri, serta memberi ruang untuk memulihkan tubuh dan pikiran.
Referensi:
BBC. (2020, May 18). Toxic Productivity During Lockdown, Mental Health Awareness Week. [Video]. YouTube. https://youtu.be/r-rht7kCASo?si=QnWyfua3II3NZIaU
Ramadhina, C., Safitri, D., Annisa, F., & Fadilah, Q. (2023). Pengendalian" Toxic productivity" Dalam Menjaga Kesehatan Mental Pada Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Di Masa Pandemi Covid-19. Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi, 12(2), 250-266.
Tsabita, A., Febriyanti, F., Komariah, S., & Wahyuni, S. (2023). Tren toxic productivity sebagai gejala terjadinya burnout syndrome terhadap prestasi akademik pada remaja rentang usia 18-23 tahun di kota bandung. SOSMANIORA: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 2(4), 495-501.