Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Lewat Jalur Parpol, Presiden Jokowi Picu PDIP Dukung Ahok

3 Juli 2016   13:22 Diperbarui: 3 Juli 2016   21:53 10836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dan Gubernur Ahok I Sumber Soloraya.com

Tak ada ruang lain: PDIP akhirnya harus mendukung Ahok. Setelah serangkaian pertemuan antara Ahok dan Teman Ahok, serta dukungan 3 parpol kepada Ahok, dipastikan Ahok akan maju menjadi calon gubernur DKI Jakarta 2017 melalui jalur parpol. Pun, dukungan PDIP itu semakin nyata akibat kepentingan Presiden Jokowi di Pilpres 2019. Keputusan Ahok melalui jalur parpol pun membuat konflik kepentingan di Ring 1 PDIP meruncing. Namun akibat pengaruh Presiden Jokowi, membuat PDIP dengan Presiden Megawati-nya, akhirnya mendukung Ahok seperti halnya Golkar, Hanura, dan Nasdem.

Mari kita telaah pertimbangan keputusan Teman Ahok dan Ahok mengambil jalur parpol dan konflik internal politik PDIP yang akhirnya mengusung Ahok dengan hati gembira ria riang sentosa menertawi ngakaki keputusan Ring 1 PDIP yang diveto Ibu Mega sambil menari menyanyi berdansa selamanya senantiasa.

Ahok maju lewat jalur politik. Keputusan Ahok dan Teman Ahok mengambil jalur politik didasarkan pada dua pertimbangan matang.

Pertama, dibentuknya Teman Ahok adalah keprihatinan dan langkah strategis yang dipersiapkan untuk melawan kecenderungan mafia dan koruptor menyingkirkan Ahok lewat politik dengan tidak mengusung Ahok.

Sejuta dukungan KTP adalah upaya penekan bagi para parpol, terutama PDIP sebagai partai terkorup setelah Golkar, untuk mendukung Ahok. PDIP adalah partai yang ditolong Ahok untuk agar para anggota DPRD DKI tidak terjerumus korupsi karena administrasi yang ketat.

Semua partai dicocok hidung mereka oleh M. Taufik dan M. Sanusi – yang akan segera dibui – dengan kampanye anti Ahok. Kampanye anti Ahok ini menjadi polarisasi dua kubu masa lalu: pihak kalah pilpres dan menang pilpres. Itu realita politik.

Maka pihak kalah menggalang kekuatan anti Ahok dengan pimpinan kekuatan psedo berwujud manusia M. Taufik dan M. Sanusi. Orang aneh semacam Sandiaga Uno – yang dikabarkan menunggak tidak membayar gaji karyawan – bergabung. Kelompok ini tambah panjang dengan kereta sakit hati Ahmad Dhani, nenek gagal move on Ratna Sarumpaet, Yusril Ihza Mahendra, dan tentu si wani piro Hidayat Nur Wahid.

Tak kalah hebatnya adalah perlawanan para mafia dan koruptor lewat kasus Sumber Waras, Podomoro yang ditangkap M. Sanusi yang dikambinghitamkan Ahok, bahkan Transjakarta pun disebut lagi. Perlawanan kubu Ahok pun tak kalah: kasus beli tanah sendiri DKI di Cengkareng akan menangkap banyak orang anti perubahan di DPRD DKI dan Pemprov DKI. UPS pun akan berkembang seperti kasus suap Agung Podomoro yang melibatkan M. Sanusi dan dugaan abangnya akan juga dibui pada akhirnya. Mereka ini bergabung dengan kalangan Islam radikal seperti FPI dan ormas Islam gurem lainnya yang semakin menciptakan polarisasi.

Di luar politik, Habiburakhman orang Gerindra, terjebak pada startegi politik dan pakar komunikasi politik penasihat Ahok. Jebakan memusuhi Ahok ini semakin membuat polarisasi mendukung dan menentang Ahok makin jelas. Pemetaan politik untuk mengetahui kemauan warga Jakarta semakin terang. Ahok tetap menjadi pilihan teratas warga DKI Jakarta. Ini membuat langkah politik Ahok semakin mudah.

Ketika sejuta KTP ada di tangan, bargaining position didapatkan, maka sesuai strategi awal, Teman Ahok dan ahli strategi kampanyenya, melakukan komunikasi politik PR brilian: menekan partai dan merangkul partai sekaligus dengan modal sejuta KTP – benar atau tidak menjadi tidak masalah yang penting tujuan strategi politik telah diraih. Parpol tertekan. Maka NasDem, Hanura, dan Golkar masuk mendukung Ahok.

Kedua, Teman Ahok menyadari perlawanan koruptor dan mafia di segala lini. Teman Ahok dan Ahok menyadari perlawanan para koruptor. UU Pilkada yang direvisi menunjukkan kekuatan mafia dan koruptor untuk menggagalkan Ahok maju melalui jalur independen. Jebakan dan dorongan di kalangan internal Teman Ahok yang mengancam akan menggembosi Teman Ahok dan tidak mendukung Ahok jika Ahok mengambil jalur parpol berhasil diredam. (Namun, ini catatan penting. Keputusan emosional Ahok dan Teman Ahok bisa muncul dengan mengambil jalur parpol jika terjadi provokasi politik oleh para parpol.)

Maka berdasarkan kesulitan tinggi dan UU Pilkada yang merusak dukungan independen, sesuai dengan tujuannya maka Teman Ahok dan Ahok bersepakan untuk mengambil jalur majunya Ahok lewat usungan para parpol. Syaratnya, parpol akan mengusung secara resmi dan mengeluarkan surat dukungan agar Ahok dan Teman Ahok tidak dikibuli oleh para parpol. Tentang Teman Ahok dengan sejuta KTP-nya akan digerakkan menjadi relawan Ahok.

Perkembangan kesepakatan Teman Ahok dan Ahok maju lewat jalur tol parpol membuat mafia dan koruptor bergerak cepat. Polarisasi parpol terjadi di DKI Jakarta. Pendukung status quo anti kemajuan seperti partai agama PKS, Gerindra, PPP, Demokrat, dan PAN mengalami kebingungan. PDIP pun sebagai partai terbesar terguncang hebat.

PDIP yang maneuver politiknya ada pada Ring 1 – dengan gong keputusan 100% ada di tangan Presiden Megawati – kebingungan. Dengan Ahok di puncak kekuasaan, PDIP di DPRD DKI Jakarta dipastikan kesulitan setengah mati untuk korup – meskipun masih sedikit bisa yang ini digunakan sebagai bargaining position. Ring 1 PDIP yang tidak menginginkan Ahok. Sementara Presiden Megawati berkarip dengan Ahok karena memiliki nilai perjuangan sebagaimana diyakini oleh Presiden Megawati.

Konflik internal PDIP tampak sekali dengan maneuver Adian Napitupulu dan Hasto Kristianto. Kedua orang ini mewakili status quo. Bahkan banyak pihak menjadi corong DPRD DKI Jakarta yang telah kehilangan kesempatan korup. Konflik kepentingan terjadi. Upaya memasangkan Djarot dan Edi Marsudi yang tak laku dan tidak popular gagal total. Presiden Megawati pun sama sekali tidak tertarik dengan upaya Ring 1 menggoreng dua orang tak laku itu.

Upaya berikutnya menggandeng Risma gagal pula. Risma di mata warga DKI Jakarta adalah hanyalah walikota yang hanya membangun taman doang di Surabaya dan cuma membagikan dana hibah ke yayasan-yayasan yang dikelola melalui setiap anggota DPRD. PDIP jelas tak akan  membiarkan kenyamanan para anggota DPRD Surabaya di bawah Risma yang hanya tukang membuat taman dan bagi-bagi dana hibah doang. Di DKI orang macam Risma yang penakut itu dipastikan tak akan direstui oleh Presiden Megawati.

Hal yang sama terjadi pada orang tukang main twitter kerjaannya, Ganjar Pranowo. Gubernur Jawa Tengah tidak memiliki kekuasaan seperti gubernur DKI Jakarta yang memiliki kekuasaan absolut anggaran. Gubernur selain DI Jogjakarta, Aceh dan DKI Jakarta hanyalah simbol belaka yang tak memilik kekuasaan hebat. Ganjar Pranowo pun tak akan bisa bergerak melawan mafia di DKI Jakarta. Ibu Presiden Megawati pun memahaminya.

Melihat realita tersebut, Presiden Megawati pun dengan jelas mengarahkan untuk mendukung sahabatnya dan anak ideologis Bung Karno: Ahok. Dengan demikian Ring 1 PDIP pun diam seribu bahasa dan senyap. Ahok pun didukung oleh PDIP.

Presiden Jokowi yang memiliki kepentingan untuk Pilpres 2019 pun menggerakkan kekuatan politiknya. Presiden Jokowi sangat memahami kriminalisasi – karena status quo dan mafia peradulan di peradilan baik MA, MK, dan lembaga lain seperti BPK, dll. – maka salah satunya adalah mengamankan dan meminimalisasikan potensi kriminalisasi.

Belajar dari Ahok, kekuasaan di DKI Jakarta selain di tangan Ahok akan digunakan untuk menghantam pencalonan Presiden Jokowi misalnya dengan mengungkit kasus TransJakarta masa lalu ketika Gubernur Jokowi masih berkuasa. Meskipun kuno, kelakuan mafia dan koruptor sangat disadari oleh Presiden Jokowi. Tak ada pilihan bagi Presiden Jokowi selain mendukung Ahok secara moral dan politik.

Selain itu, dukungan Nasdem, Hanura, dan Golkar pun menjepit PDIP. PDIP tanpa Ahok di DKI Jakarta akan mengalami kerugian. Dukungan Golkar untuk Presiden Jokowi di 2019 pun menggelisahkan PDIP. Melihat arah Golkar yang membajak Presiden Jokowi, PDIP pun menyadari dan mengambil dua langkah pilihan: cerai dari Presiden Jokowi atau tetap bersama Presiden Jokowi.

Dua pilihan itu sulit bagi PDIP karena posisi politik Presiden Jokowi yang kuat pasca dukungan Golkar merapat ke Presiden Jokowi. Mendukung Presiden Jokowi dengan berbagi bersama Golkar adalah satu-satunya pilihan meskipun menimbulkan iritasi dan resistensi politik di dalam PDIP. Membuang dukungan Presiden Jokowi pun akan merontokkan PDIP di 2019 mengingat popularitas Presiden Jokowi semakin meningkat (maka para koruptor dan mafia pun semakin berupaya menghambat pembangunan di berbagai bidang untuk merusak popularitas Presiden Jokowi.)

Dengan demikian, pillihan PDIP tetap mendukung Presiden Jokowi meskipun harus berbagi kekuasaan dengan Golkar dan para partai lain yakni PKB, PPP, PAN, Nasdem, Hanura, dengan meninggalkan partai gontai Demokrat dan partai segregatif ekslusif milik gerakan usroh partai agama PKS dan partai gurem Gerindra. Maka terkait Pilkada DKI pun akhirnya PDIP mendukung Ahok mengingat kepentingan lebih besar yakni dukungan PDIP kepada Presiden Jokowi. Pun disadari meskipun banyak kerugian mendukung Ahok oleh PDIP, karena pengaruh Presiden Jokowi, PDIP pun tak berkutik mendukung Ahok lewat berbagai operasi kecil-kecilan senyap terpadu the Operators.

Maka, terkait Pilgub DKI Jakarta, Ahok dan Teman Ahok pun sepakat mengusung Ahok lewat jalur parpol. Sejuta KTP dukungan Teman Ahok akan menjadi partner parpol dalm bentuk Relawan Teman Ahok. Ini sikap realistis jebakan politik mengusung Ahok yang berhasil. Kepastian dukungan parpol Nasdem, Golkar, Hanura, menjadikan PDIP dan para parpol lain kehilangan arah.

Sebabnya sederhana, mereka tidak memiiki satu pun tokoh yang bisa dijual dan dipercaya publik Jakarta. Hidayat Nur Wahid, Sandiaga Uno, Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, M. Taufik, M. Sanusi, Yusril Ihza Mahendra, Ridwan Kamil, Risma, Ganjar Pranowo, Djarot, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Thantowi Yahya, dan sebagainya tidak menarik hati dan jiwa publik Jakarta. Mereka tidak laku sama sekali.

Maka pilihan tetap satu: Ahok. Demikian Ki Sabdopanditoratu dan the Operators.

Salam bahagia ala saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun