Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Lewat Jalur Parpol, Presiden Jokowi Picu PDIP Dukung Ahok

3 Juli 2016   13:22 Diperbarui: 3 Juli 2016   21:53 10836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dan Gubernur Ahok I Sumber Soloraya.com

Maka berdasarkan kesulitan tinggi dan UU Pilkada yang merusak dukungan independen, sesuai dengan tujuannya maka Teman Ahok dan Ahok bersepakan untuk mengambil jalur majunya Ahok lewat usungan para parpol. Syaratnya, parpol akan mengusung secara resmi dan mengeluarkan surat dukungan agar Ahok dan Teman Ahok tidak dikibuli oleh para parpol. Tentang Teman Ahok dengan sejuta KTP-nya akan digerakkan menjadi relawan Ahok.

Perkembangan kesepakatan Teman Ahok dan Ahok maju lewat jalur tol parpol membuat mafia dan koruptor bergerak cepat. Polarisasi parpol terjadi di DKI Jakarta. Pendukung status quo anti kemajuan seperti partai agama PKS, Gerindra, PPP, Demokrat, dan PAN mengalami kebingungan. PDIP pun sebagai partai terbesar terguncang hebat.

PDIP yang maneuver politiknya ada pada Ring 1 – dengan gong keputusan 100% ada di tangan Presiden Megawati – kebingungan. Dengan Ahok di puncak kekuasaan, PDIP di DPRD DKI Jakarta dipastikan kesulitan setengah mati untuk korup – meskipun masih sedikit bisa yang ini digunakan sebagai bargaining position. Ring 1 PDIP yang tidak menginginkan Ahok. Sementara Presiden Megawati berkarip dengan Ahok karena memiliki nilai perjuangan sebagaimana diyakini oleh Presiden Megawati.

Konflik internal PDIP tampak sekali dengan maneuver Adian Napitupulu dan Hasto Kristianto. Kedua orang ini mewakili status quo. Bahkan banyak pihak menjadi corong DPRD DKI Jakarta yang telah kehilangan kesempatan korup. Konflik kepentingan terjadi. Upaya memasangkan Djarot dan Edi Marsudi yang tak laku dan tidak popular gagal total. Presiden Megawati pun sama sekali tidak tertarik dengan upaya Ring 1 menggoreng dua orang tak laku itu.

Upaya berikutnya menggandeng Risma gagal pula. Risma di mata warga DKI Jakarta adalah hanyalah walikota yang hanya membangun taman doang di Surabaya dan cuma membagikan dana hibah ke yayasan-yayasan yang dikelola melalui setiap anggota DPRD. PDIP jelas tak akan  membiarkan kenyamanan para anggota DPRD Surabaya di bawah Risma yang hanya tukang membuat taman dan bagi-bagi dana hibah doang. Di DKI orang macam Risma yang penakut itu dipastikan tak akan direstui oleh Presiden Megawati.

Hal yang sama terjadi pada orang tukang main twitter kerjaannya, Ganjar Pranowo. Gubernur Jawa Tengah tidak memiliki kekuasaan seperti gubernur DKI Jakarta yang memiliki kekuasaan absolut anggaran. Gubernur selain DI Jogjakarta, Aceh dan DKI Jakarta hanyalah simbol belaka yang tak memilik kekuasaan hebat. Ganjar Pranowo pun tak akan bisa bergerak melawan mafia di DKI Jakarta. Ibu Presiden Megawati pun memahaminya.

Melihat realita tersebut, Presiden Megawati pun dengan jelas mengarahkan untuk mendukung sahabatnya dan anak ideologis Bung Karno: Ahok. Dengan demikian Ring 1 PDIP pun diam seribu bahasa dan senyap. Ahok pun didukung oleh PDIP.

Presiden Jokowi yang memiliki kepentingan untuk Pilpres 2019 pun menggerakkan kekuatan politiknya. Presiden Jokowi sangat memahami kriminalisasi – karena status quo dan mafia peradulan di peradilan baik MA, MK, dan lembaga lain seperti BPK, dll. – maka salah satunya adalah mengamankan dan meminimalisasikan potensi kriminalisasi.

Belajar dari Ahok, kekuasaan di DKI Jakarta selain di tangan Ahok akan digunakan untuk menghantam pencalonan Presiden Jokowi misalnya dengan mengungkit kasus TransJakarta masa lalu ketika Gubernur Jokowi masih berkuasa. Meskipun kuno, kelakuan mafia dan koruptor sangat disadari oleh Presiden Jokowi. Tak ada pilihan bagi Presiden Jokowi selain mendukung Ahok secara moral dan politik.

Selain itu, dukungan Nasdem, Hanura, dan Golkar pun menjepit PDIP. PDIP tanpa Ahok di DKI Jakarta akan mengalami kerugian. Dukungan Golkar untuk Presiden Jokowi di 2019 pun menggelisahkan PDIP. Melihat arah Golkar yang membajak Presiden Jokowi, PDIP pun menyadari dan mengambil dua langkah pilihan: cerai dari Presiden Jokowi atau tetap bersama Presiden Jokowi.

Dua pilihan itu sulit bagi PDIP karena posisi politik Presiden Jokowi yang kuat pasca dukungan Golkar merapat ke Presiden Jokowi. Mendukung Presiden Jokowi dengan berbagi bersama Golkar adalah satu-satunya pilihan meskipun menimbulkan iritasi dan resistensi politik di dalam PDIP. Membuang dukungan Presiden Jokowi pun akan merontokkan PDIP di 2019 mengingat popularitas Presiden Jokowi semakin meningkat (maka para koruptor dan mafia pun semakin berupaya menghambat pembangunan di berbagai bidang untuk merusak popularitas Presiden Jokowi.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun