Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - suka nulis dan ngedit tulisan

mencoba mengekspresikan diri lewat tulisan receh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Layar

3 Mei 2024   18:50 Diperbarui: 3 Mei 2024   18:54 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Angin yang menggigilkan kembali bertiup sekalipun di ruangan cukup leluasa dengan beberapa tikar plastik yang tergeletak dan teronggok di dinding.

Bibirnya kulihat sekilas gemetar seolah mendremimilkan sesuatu. Aku tak tega menanyakan lebih lanjut.

"Sudah hampir setengah tahunan saya lontang-lantung. Kadang ikut tukang parkir di pasar besar agar bisa beli beras. Jadi kuli panggul saya mau lakukan meski bayarannya sangat kecil. Tak apa, asal bisa hidup. Hanya nyari makan saja ibaratnya," katanya sungguh menggores hati yang paling dalam.

"Kalau kerja serabutan di pasar, sering juga dipalak sama preman. Mereka minta kita setor, padahal pendapatan tak seberapa ...," keluhnya. "Kuberi tahu istri hamil pun nggak ada belas kasihannya juga ...!"

"Bapak punya pengalaman kerja apa?" tanyaku menelisik.

"Aslinya saya kuli bangunan. Pernah beberapa tahun silam diangkat jadi mandor. Tapi cuma sebentar. Saat itu sesama kuli bangunan bertengkar hebat hingga salah seorang terbunuh. Saya takut. Saya nggak tahan. Lalu minta keluar soalnya mereka kasar dan brutal," ceritanya dengan gesture ketakutan juga.


"Ohh, ya ... Tuhan," seruku membayangkan betapa kejamnya dunia mereka.

"Sebelum itu pernah jadi tukang kebon dinas pertanian. Tapi kantornya pindah ke kabupaten. Saya nggak mau lanjut. Kewalahan dengan kerjaan. Saat itu saya sakit-sakitan. Kata dokter puskesmas saya kena maag ...," sambil dilihatnya kakinya yang tanpa kaus kaki dan hanya pakai sepasang sandal japit usang saja. Beberapa ekor nyamuk mengelilingi telapak kaki telanjang itu. Dikibaskanlah telapak tangan kanan mengusir nyamuk yang berdenging di telinga kami.

Sementara sangat bertolak belakang dengan kakiku. Berkaos kaki tebal dan hangat dengan sepatu kets. Lalu kubalurkan juga krim obat nyamuk ke kulit yang tak tertutup jaket atau busana lain sehingga praktis nyamuk hanya mengitari mukaku.

Aku menarik napas panjang. Sedemikian sulitnya mencari kerja. Aku berandai-andai. Andaikan ada modal kerja, mungkin bisa lelaki itu kuberi rombong dorong untuk jualan bakso. Supaya higienis masakan biar dibikin istri yang jago masak sehingga terjaga kualitasnya. Ketika sedang melamun terdengar lengkingan tangis bayi dari ruangan bayi agak ke kanan sekitar dua ratus meteran. Kami terperanjat.

"Oh, seandainya ...," kata lelaki itu tak terselesaikan. Mukanya ditengadahkan mungkin agar air mata tidak tumpah lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun