Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - suka nulis dan ngedit tulisan

mencoba mengekspresikan diri lewat tulisan receh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Slice of Live

31 Maret 2024   14:22 Diperbarui: 31 Maret 2024   14:23 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Slice of Life 

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

 

Pesta pernikahan temanku itu digelar di deretan villa, berada di dekat pantai. Pemandangan sangat indah. Perpaduan antara pantai, laut, dan di belakang pegunungan memagari tempat itu. Pemilihan yang sangat pas. Panorama dengan view jelita sekali.

Aku datang bersama keluarga kecilku. Namun, Mia -- baby sitter-ku -- sedang sakit dan meminta cuti. Karena itu putra semata wayang kami, Jeremia, terpaksa kupegang sendiri.

Mas Andika kuminta menemaniku.  Si kecil Jeremia -- sering kami panggil Jemmy-- masih berusia dua tahun, kubawa serta karena mama mertua sedang arisan bersama ibu-ibu kelompok RT di tempat tinggal beliau. Jadi, aku tentu tidak bisa menitipkan si kecil kepadanya. Sementara papa mertua pun sibuk sedang merekapitulasi keuangan proyek. Ya, sudahlah. Berharap Mas Andika nanti berkenan membantuku mengurus Jeremia. Risikonya harus selalu membawa botol susu dan perlengkapan lain.


Ketika pamit ke kamar kecil hendak membawa si kecil yang gelisah, kuminta Mas Andika tetap stay di tempat, kursi yang sudah kami pilih. Aku sengaja mengambil tiga kursi sekaligus. Satu kursi kumanfaatkan sebagai tempat perlengkapan si kecil.

Saat berjalan ke arah toilet tersebut aku harus melewati villa lain di sebelahnya untuk menghindari dan mengantisipasi kalau-kalau terjadi antrean. Biasanya, kalau ada acara seramai ini, dugaan antre di toilet pun harus diprediksi dengan baik.

Saat menuju toilet itu, aku hampir terlonjak karena suara bariton khas dengan nyaring singgah di telingaku. Tiba-tiba saja kudengar suara khas seseorang yang dahulu pernah menghuni hatiku. Mau tak mau kujelajahkan pandanganku ke arah sumber suara. Betul sekali. Suara khas Mas Setyo Brahmantyo, seseorang yang beberapa tahun silam pernah kuimpikan menjadi pasanganku. Kuperhatikan dengan saksama. Tentu saja pandanganku tidak salah.

            "Agak ke kiri sedikit, Sayang! Arshy, lihat sini, Nak!" teriak lantangnya mengomando.

Dia  mengarahkan gaya sang model sambil mencari tempat mengambil gambar dengan leluasa.  

            "Kita ambil fokus tulisan villa itu, ya! Ayo, satu ... dua ... tiga! Yak!"

Seorang wanita cantik berbusana muslimah warna pink serasi dengan jilbab dan handbag-nya. Meski busana itu longgar, tampak dengan jelas perutnya menggunung. Sementara, di sebelah kiri berdiri putri kecil berbusana senada. Kutaksir  berusia sekitar dua tiga tahunan.

            "Istri dan gadis kecilmu begitu cantik, Mas. Semoga kalian berbahagia!"  senandikaku sambil membuang napas berat. Kugendong si kecil menjauh,  berharap mereka tidak melihatku.

"Ahh... nun jauh dari Jawa Timur aku diboyong suamiku, ternyata harus bertemu denganmu di tempat ini!"

Aku masih bersenandika sambil menghapus titik air yang jatuh dari pelupuk netra. Kupeluk si kecil untuk menutupi wajah agar tidak terlihat. Aku bergegas menghindarinya.

***

Kembali terkuak memori indah pada suatu moment penting beberapa tahun silam. Suara riuh menggema di lapangan basket, tepatnya di lima papan tempel yang sengaja digelar oleh staf tata usaha. Masing-masing papan ditempeli pengumuman untuk satu atau dua kelas sehingga siswa tidak berjubel melihatnya.

Sorak sorai pun meluncur dari bibir mungil mereka yang sedang meluapkan kegembiraan mendapati nama mereka terpampang sebagai siswa yang dinyatakan lulus. Meskipun belum ada nilai perolehan, mereka cukup puas. Mereka saling peluk, coret, bahkan ada yang langsung bersujud syukur karena sangat bahagia.

Karena tubuhku mungil, aku tidak bisa melihat namaku yang terpampang di sana. Aku yakin, namaku pun pasti ada di antara nama teman-teman karena nilai keseharian ulangan atau ujianku cukup baik. Aku hanya tersenyum sambil menunggu sampai tempat itu sepi agar bisa melihat namaku dengan mata kepalaku ini.

Kulihat salah satu yang larut dalam euphoria adalah Mas Bram. Tubuhnya yang tinggi kekar tidak menghalangi untuk melihat dengan jelas nama-nama yang ada. Mereka yang berhasil menamatkan studi di sekolah ini. Sangat berbeda denganku. Untuk  melihatnya, aku harus menunggu sampai sepi.

Tetiba dia menoleh ke  arahku sambil tersenyum manis. Senyum khas yang sangat kurindukan. Senyum penentram hati di saat kepala panas memikirkan rumus fisika dan kimia yang begitu sulit.

"Hai, Nin! Mau kugendong untuk melihat namamu?" candanya. Semua teman yang ada pun menoleh ke  arahku sambil tertawa.

"Ahhh. enggak, Mas. Aku pasti lulus, kan?" selorohku menimpali candaannya.

Kami pun tertawa berderai.

"Coba kulihatkan, ya Nin!" serunya. "Iya, ada kok! Namamu di urutan nomor dua malah, Nin!"

"Terima kasih, Mas! Rasanya aku bisa memercayaimu dan tak perlu lagi repot-repot mengantre. Benar, kan?" selorohku sambil meninggalkan kerumunan itu.

Mas Bram tertawa lalu mengejar dan menjejeri langkahku.

"Kita akan ke mana sekarang, Nin?"  tanyanya.

"Mencari tempat yang adem, Mas!" jawabku mantap.

"Ok. Aku akan memboncengmu. Kita pulangkan dahulu motormu ke rumah. Setuju?" usulnya. Aku cuma mengangguk dan langsung menuju ke arah parkiran motor.

"Boleh aku ganti dengan baju santai, Mas?"  tanyaku sesampai di rumah.

"Boleh. Aku juga membawa baju ganti, kok. Nanti aku ganti baju di sana!"

"Baiklah!"

Sesampai di tempat yang kami pilih, kami mencari tempat duduk yang nyaman. Pilihan kami di tepi Bendungan Karangkates, tepatnya yang berdekatan dengan hutan jati di sebelah selatan menuju ke arah Malang selatan. Tempat sejuk tersebut selain banyak pohon jati, juga pohon flamboyant yang sedang berbunga jingga memesona. Bahkan, guguran kelopaknya bertebaran di mana-mana menjadikan tempat tersebut bernuansa jingga. Di bawahnya seperti terhampar permadani karena guguran kelopaknya berhanburan di mana-mana.

Mas Bram mengambil tikar plastik yang sudah dipersiapkan di jok motornya. Aku pun membuka beberapa makanan kecil yang tadi sempat kami beli di swalayan terdekat. Lalu, aku duduk santai sementara Mas Bram merebahkan dirinya dengan kepala ditempatkannya di pangkuanku. Kuelus anak rambutnya yang tumbuh lebat itu dengan perlahan membuat netranya terpejam menikmatinya.

Sesekali, kami melihat beberapa ekor tupai berkejaran di antara dahan flamboyant. Sungguh atraktif sekali. Keindahan yang tiada duanya!

"Aku ingin, jika menikah kelak, ada taburan bunga flamboyant di lantai menuju altar!" kataku lirih.

"Hmmm ...,"  bisik Mas Bram pula. Kami pun larut dalam pikiran masing-masing. Maka yang ada hanyalah kesunyian, sementara kami saling meremas jemari dan duduk berhimpitan.

            "Mas, aku masih bingung hendak melanjutkan ke mana!" ujarku memecah kesunyian.

"Bukannya dari dahulu kamu pingin ke kedokteran, Nin? Apa sudah berubah pikiran?"

"Maksudku universitasnya, Mas. Orang tuaku ingin aku tetap berada di Malang mengingat aku satu-satunya putri mereka. Ini beliau rasakan setelah kedua kakakku dua-duanya kuliah di luar kota. Bukan hanya masalah pembengkakan dana, melainkan juga masalah pengawasannya kepadaku!"

"Ohh ... kalau begitu, mulai besok kita harus belajar lebih intensif untuk persiapan masuk ke perguruan tinggi, ya! Harapannya apa yang kita berdua cita-citakan bisa terkabul!"

"Iya, Mas. Amin!"

"Kalau Mas. Bagaimana?" tanyaku.

"Aku masih ingin melanjutkan ke ITB atau UGM. Nggak tahu nanti jatuhnya di mana!"

"Hmm ... bakalan berjauhan dong kita!" sambutku.

"Ya, mau bagaimana lagi. Di sini tidak ada jurusan yang kuinginkan!" katanya.

"Iya, sih. Tapi, Mas...!" kataku menggantung.

"Ada apa lagi, Sayang?" tanyanya sambil menjentik hidungku.

"Jika aku diterima di kedokteran, kuliahnya bakalan lebih lama dua tahun. Apa Mas sanggup menunggu aku?" tanyaku.

"Kita harus saling berjanji untuk tidak mengingkari, ya! Walaupun berjauhan, kita tetap menjaga komitmen kita. Bagaimana?" katanya tegas sambil memelukku.

"Baik, Mas! Aku berjanji akan setia menunggu sampai waktu kita tiba!" jawabku. Ketika sudah semakin sore, kami berdua bersiap pulang agar tidak kemalaman di jalan. Perjalanan pun memakan waktu sekitar satu jam.

***

Akhirnya, aku diterima di jurusan kedokteran di universitas negeri masih di kota yang sama. Sementara, Mas Bram diterima di ITB seperti yang diinginkannya. Kami menjalani LDR selama beberapa tahun.

Awalnya, tidak ada kendala yang cukup berarti karena kami menyiasatinya dengan selalu menanyakan kabar melalui telepon, whasapp, bahkan dengan video call. Setiap semesteran Mas Bram juga selalu pulang dan menyempatkan bertemu denganku. Kedua orang tua Mas Bram pun telah mengetahui hubungan kami dan tidak berkomentar apa pun. Rasanya semua baik-baik saja hingga kami sama-sama diwisuda. Bahkan, Mas Bram menyempatkan diri menghadiri wisudaku bersama kedua orang tuaku. Mas Bram resmi telah menyandang gelar ST di belakang nama panjangnya. Sementara aku memperoleh gelarku, S. Ked dan harus menambah berdinas sebagai coas dua tahun hingga gelar dokter boleh kusandang secara resmi.

Papa mamaku juga sudah mengetahui hubungan kami, tetapi belum ada  restu jelas seperti yang dikemukakannya.

"Nin, jika kalian hendak menapaki ke arah hubungan serius, Papa minta kamu tanyakan kepada Bram apakah dia bersedia mengikuti keyakinan kita? Hal ini sangat penting, Nin. Karena pernikahan itu sakral dan harus mengikuti bina pranikah sebelum melangsungkan pemberkatan. Apakah kamu sudah pernah mengemukakan hal itu kepadanya?"

Kami memang tidak pernah menyinggung masalah keyakinan selama menjalani hubungan hampir genap lima tahun ini. Aku merasa nyaman bersamanya, sementara Mas Bram pun tidak pernah mengusik keyakinanku. Bahkan, dialah yang sering mengingatkanku untuk beribadah setiap hari Minggu. Namun, belum sekali pun aku menanyakan seperti apa yang ditanyakan oleh papa itu. Aku juga merasa tidak sampai hati untuk menyinggung masalah tersebut.

Tidak lama setelah wisuda, karena prestasi Mas Bram cemerlang, ia langsung diterima di sebuah perusahaan bonafide di ibukota. Aku ikut bangga dan bahagia. Bahkan, aku ikut mengantarnya ke bandara saat itu. Bersama kedua orang tuanya, bahkan akulah yang menyopiri kendaraanku untuk kepentingan keberangkatannya tersebut. Kedua orang tuanya pun sangat baik kepadaku. Tidak ada masalah sama sekali.

Karena papa meminta aku menanyakan hal itu kepada Mas Bram, suatu saat aku menanyakannya melalui saluran Whastapp. Dia menuliskan, "Tunggulah, Nin. Ada saatnya aku harus menjawab secara langsung! Tunggulah sampai aku memperoleh cuti pertamaku, setuju?" 

Aku setuju. Aku pikir ini memang masalah serius yang tidak bisa dibahas berjauhan seperti ini. Setelah keberangkatan Mas Bram, aku pun memperoleh panggilan menjalani coas-ku di salah satu puskesmas kabupaten. Beruntung bisa kutempuh pergi pulang dengan kendaraan pribadi.

Enam bulan berlalu. Saatnya Mas Bram pulang. Namun, tetiba membatalkan kepulangannya karena harus mengikuti bosnya ke Jepang selama dua minggu. Ya, sudahlah. Aku belum memperoleh jawaban apa pun mengenai keyakinan kami yang berbeda.

***

Aku menyempatkan diri datang ke rumah orang tuanya saat mereka merayakan hari raya keagamaan. Banyak anggota keluarga yang hadir dan aku diperkenalkan sebagai pacar Mas Bram.

Seorang gadis manis salah seorang kerabatnya tetiba bertanya kepadaku, "Mbak Nina sudah mempelajari keyakinan kami? Biasanya, pada kepercayaan kami nih Mbak, istri harus ikut keyakinan suaminya, loh! Apakah Mbak Nina sudah memikirkannya?"

Aku terhenyak dengan pertanyaan tersebut dan kujawab dengan gelengan kepala. Tak urung tubuhku pun limbung.

"Mengapa selama ini Mas Bram tidak pernah memberitahu aku, ya?" pikirku. Sementara Mas Bram masih berada di luar negeri.  Gawainya tidak diaktifkan beberapa lama. Alasannya kena biaya roaming. Aku pun menahan diri untuk tidak menanyakan masalah keyakinan.

Meski gawai dalam kondisi mati, aku tetap menuliskan cerita saat berada di rumahnya. Sepupu yang menanyakan masalah keyakinan tersebut kugarisbawahi. Beberapa hari kemudian, ketika gawai diaktifkan, pesanku dibalasnya.

"Maafkan kami, Nin. Memang demikian keadaannya. Kukira, semula kita bisa melaluinya bersama. Ternyata pada akhirnya kita terbentur juga pada masalah ini. Lalu, bagaimana denganmu? Apakah siap mengikuti keyakinanku?"

Aku berkesempatan menceritakan bahwa papa mama menghendaki Mas Bram mengikuti keyakinan kami. Lalu, dibalasnya.

"Jika demikian, kita harus mengakhiri hubungan kita sebelum segala sesuatunya menjadi runyam. Senyampang masih muda, tolong carilah pendamping yang seiman denganmu, Sayang. Mohon dimaafkan, aku tidak bisa mengikuti anjuran papa mamamu untuk berpindah keyakinan. Maafkan aku, ya! Kudoakan semoga kau memperoleh pendamping yang sempurna dari Tuhan. Selamat tinggal, Sayang. Aku akan tetap mengingatmu sebagai cinta pertamaku! Bye!"

Setelah itu nomornya tidak bisa lagi kuhubungi. Mungkin sudah ganti. Entahlah. Tak ada lagi niatanku untuk datang ke rumah orang tuanya. Tak  mau pula aku menambah luka hati ini.

***

Masih kulanjutkan tugas coas-ku di puskesmas kabupaten. Belum selesai  tugas itu, salah seorang teman baik mengabarkan bahwa Mas Bram menikah dengan pilihan orang tuanya. Ya, sudahlah.  Kutepiskan rasa yang ada, berusaha menerima segala sesuatu dengan tangan terbuka. Mungkin ini jalan yang dikehendaki-Nya untuk kulalui. Maka, berusahalah aku sekuat tenaga untuk melupakan dan tidak memikirkan lagi.

"Kamu harus ikhlas!" Senandikaku sambil kulihat bayangan di cermin. Kutatap mata pada bayangan itu dengan tersenyum tipis. 

Waktu berjalan dengan cepat. Kesibukan demi kesibukan menyita waktu sehingga ingatan kepadanya kian memudar. Tibalah suatu waktu manakala harus mengantar pasien gawat darurat ke rumah sakit tipe A. Dengan jasa ambulans rumah sakit, kuantar pasien tanpa berpikir untuk membawa kendaraan pribadiku. Beruntung  seorang kawan baik berkenan mengantar setelah kuhubungi lewat gawai.

Saat mengantar salah seorang pasien ke rumah sakit umum daerah itulah aku bertemu beberapa dokter yang sedang mengambil program spesialis. Salah satu dokter jaga yang mengambil spesialis jantung adalah dr. Andika alumni universitas terkenal di ibu kota. Dialah yang langsung menangani pasien yang kuantar.

Beberapa teman mengetahui bahwa aku sedang jomlo. Mereka  memperkenalkan aku dengan dr. Andika pemuda asli Jawa Barat ini. Uniknya, sejak bertemu pandang pertama kali di IGD saat itu, hatiku mengatakan bahwa, "Inilah jodohku!"

Mengingat usia juga, imbauan teman-teman yang menjodohkan itu kami tanggapi serius. Dalam  waktu cukup singkat, tiga bulan saja, kami bersepakat untuk mengakhiri masa lajang kami. Bahkan, bertepatan dengan acara sumpah dokter, orang tua dr. Andika datang jauh-jauh dari Jawa Barat untuk meminangku. Selanjutnya, kami mengikuti bina pranikah dan sebulan setelahnya melaksanakan pernikahan kudus di gereja. Serba kilat.

Setelah dr. Andika yang telah resmi menjadi suamiku menyelesaikan PPDS, diajaknya aku kembali ke Jawa Barat. Dia memperoleh panggilan kerja di salah satu instansi ternama. Sementara, karena sudah dalam kondisi berbadan dua, orang tua mengizinkanku mengikuti suami.

*** 

Mungkin mataku masih tampak sembab sesampai di tempat suami menunggu. Kukira aku pun agak tergagap saat menjawab pertanyaannya.

"Jemy bisa buang air, Ma?"

"Iya, Pa. Bersyukur banget. Ikut lega rasanya!" Sengaja kusembunyikan wajah dengan kesibukan membongkar perbekalan mencari perlengkapan baby.

Acara demi acara bisa kami ikuti tanpa kendala. Si kecil tertidur pulas di pangkuanku. Tak dihiraukannya musik yang digelar.

Kami bergantian mengikuti acara santap siang karena harus memangku si kecil hingga akhirnya selesailah seluruh rangkaian acara. Ternyata, sosok suamiku dikenali salah seorang teman SMA-nya. Setelah berbincang sejenak, kami undur diri. Selanjutnya, sore itu kami bisa melanjutkan perjalanan dan kembali ke rumah dengan selamat.

Dalam hatiku benar-benar kagum kepada-Nya. Tuhan hendak menunjukkan kepadaku bagaimana kondisi Mas Bram beserta keluarga kecilnya dengan cara-Nya yang ajaib, cara yang tak pernah kupikirkan sebelumnya.

Teringat sabda-Nya, "Bagi Dialah yang dapat melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita."

Kuusahakan tidak memendam rahasia agar tidak terbeban. Karena itu, meski sepele, malam itu kuceritakan kepada Mas Andika perihal pertemuanku yang tak sengaja itu. Mas Andika  menggeleng-geleng.

"Luar biasa ajaib karya dan kehendak-Nya! Mestinya tadi Mama memanggilku untuk berkenalan dengan keluarga mereka!" lanjutnya sambil tersenyum padaku.

"Aku tidak kepikiran seperti itu, Mas! Maafkan aku!"

"Iya. Semoga saja kita masih dipertemukan dengan mereka. Bukankah kita harus membawa damai sukacita, Ma?" katanya benar-benar menohokku.

Ternyata aku justru melarikan diri dari mereka! Kukira hendak kukubur sebagai suatu kenangan, tetapi ternyata suamiku malah ingin membuka pertemanan. Maka, di dalam hati aku berdoa semoga tidak ada lagi kesempatan untuk bertemu dengan mantan. Biarlah masa lalu berlalu seiring waktu dan kini kuhadapi masa yang akan datang tanpa beban.

            Tentu saja tak bisa kukatakan kepada suami mengapa tak sanggup bertemu dengannya. Keinginan melupakan yang nyatanya justru masih saja mengganggu pikiranku! Biarlah cukup sebagai rahasia pribadiku saja! Cemburukah aku? Tak ikhlaskah aku? Entahlah. Ingin kubuang dan kuhilangkan kenangan itu, tetapi tak mampu. Biarlah waktu yang mengubur sepenggal kenangan itu!

Malam itu netra pun tak mau diajak berkompromi! Baying masa lalu bermain tanpa kuundang melintasi ruang ingatan. Ahh, ....

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun