Pemerintah Indonesia kembali menebar optimisme besar bahwa tahun ini diyakini akan menjadi titik balik menuju swasembada beras. Menteri Pertanian Amran Sulaiman dengan lantang menyatakan bahwa hingga akhir 2025 Indonesia tidak akan melakukan impor beras. Stok beras disebut melimpah, bahkan Bulog memiliki cadangan beras yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan nasional.
Sekilas, kabar ini tentu memberi angin segar bagi masyarakat. Indonesia, di tengah kenaikan bahan pangan. Sebagai negara agraris dengan mayoritas penduduk yang masih menggantungkan hidup pada sektor pertanian, sudah sepatutnya mandiri dalam soal pangan. Apalagi beras adalah kebutuhan pokok hampir seluruh rakyat. Namun, di balik retorika optimisme itu, kenyataan di lapangan justru memunculkan ironi besar.
Alih-alih mengalami penurunan harga, beras justru masih mahal di 214 daerah. Fakta ini disampaikan langsung oleh Mendagri dan Badan Pangan Nasional, yang mengakui bahwa harga beras tidak kunjung turun meski pemerintah menyatakan stok surplus. Dengan kata lain, swasembada beras yang dianggap memberikan angin segar ternyata tidak sejalan dengan kenyataan bahwa harga tetap mencekik rakyat kecil.
SPHP: Jurus Andalan yang Semu
Untuk menjawab persoalan harga yang terus melonjak, pemerintah mengandalkan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Mekanismenya sederhana yaitu Bulog menyalurkan beras ke pasar dengan harga subsidi yang lebih murah dibandingkan beras komersial. Tujuannya jelas, yaitu menekan harga beras di pasar agar rakyat memiliki akses pada pangan pokok dengan harga terjangkau.
Namun, realitas di lapangan jauh dari target. Harga beras tetap tinggi dan masyarakat masih mengeluh tentang daya beli yang semakin berat. SPHP yang digadang-gadang sebagai solusi, tidak mampu mengendalikan harga secara efektif. Bahkan, berbagai media mencatat bahwa harga beras di pasar masih bertahan di level yang jauh di atas daya beli masyarakat kecil.
Masalah makin rumit ketika pemerintah mengumumkan bahwa bantuan pangan beras gratis yang selama ini rutin diberikan kepada masyarakat miskin terancam dihapus. Alasannya, anggaran tidak tersedia lagi, karena dialihkan untuk mendanai program SPHP. Artinya, rakyat miskin tidak lagi menerima bantuan langsung berupa beras gratis, tetapi diarahkan untuk membeli beras SPHP dengan harga subsidi.
Di titik ini, terlihat jelas bahwa rakyat miskin menjadi pihak paling dirugikan. Jika sebelumnya mereka bisa mendapatkan beras tanpa harus mengeluarkan uang, kini mereka dipaksa masuk dalam logika pasar yaitu membeli meski dengan harga lebih murah. Padahal bagi mereka yang hidup dari upah harian, uang Rp 500 perak sekalipun sangat berharga.
Kualitas Beras SPHP: Murah tapi Tak Layak
Persoalan lain muncul dari kualitas beras SPHP itu sendiri. Banyak masyarakat mengeluhkan bahwa beras SPHP terasa kurang enak, cepat basi, berbau apek, dan butirannya patah-patah. Alih-alih menjadi solusi, beras SPHP justru membuat rakyat enggan membelinya meski relatif lebih murah.
Tak hanya konsumen, para pelaku ritel pun menunjukkan resistensi. Banyak toko enggan menjual beras SPHP karena kualitas yang buruk membuat produk ini tidak laku di pasaran. Akibatnya, beras SPHP menumpuk di gudang Bulog, membebani operasional dan memunculkan risiko beras menurun kualitasnya jika terlalu lama disimpan. Ombudsman bahkan memperingatkan fenomena "obesitas Bulog", yaitu kondisi ketika stok menumpuk berlebihan dan kualitas beras menurun seiring waktu.