Mohon tunggu...
Deni Purnomo
Deni Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Abal-abal

Seorang pekerja yang berusaha menjadi mahasiswa disalah satu Universitas swasta di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dilema KTP Elektronik: Permainan Kata Pegawai Daerah

23 Juli 2019   16:34 Diperbarui: 23 Juli 2019   20:06 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KTP-EL, siapa yang tidak mengetahui istilah itu? Hampir seluruh warga sudah memahami maksudnya, yaitu sebuah kartu tanda penduduk elektronik warga negara Indonesia yang masa aktifnya seumur hidup. 

Menteri dalam Negeri (MENDAGRI) selalu memberikan himbauan kepada masyarakat agar segera mengurus administrasi kependudukannya, guna untuk memudahkan pencatatan dan pendataan yang akan digunakan untuk kepentingan yang berkordinasi dengan pihak terkait.

Seperti yang penulis lansir dari laman kominfo.go.id, bahwa pada 1 Januari 2014 pembuatan KTP sudah digratiskan, tidak lagi ada biaya lain-lain. Bahkan, katanya, jika ada apparat yang masih memungut biaya akan diancam dengan pidana 2 tahun penjara atau denda seberat Rp25 jt. Katanya juga, peraturan KTP gratis itu telah tertuang dalam BAB IXA tentang Pendanaan UU perubahan atas nomor 26/2006 pasal 87A dan 87B.

Tidak bisa dipungkiri, info tersebut seketika menyebar luas. Masyarakat senang dan mulai berbondong-bondong merekam data mereka ke Kecamatan setempat. Ada yang menaiki sepeda tuanya, ada yang jalan kaki menggandeng atau menggendong anaknya, dan ada pula anak muda yang baru lulus SMA/sederajat datang bersama teman-temannya. 

Bisa kalian bayangkan bagaimana bahagianya mereka terkait dengan informasi yang didapat? Bahwa negara mempermudah mereka untuk memperoleh kartu tanda pengenal, yang mana mereka akan menggunakannya sebagai administrasi yang akan sangat diperlukan ketika mereka terjun dalam dunia kerja atau merantau untuk mencapai cita-cita.

Namun, ekspektasi mereka seperti menguap begitu saja. Bahwa Kecamatan mengungkapkan jaringan bermasalah, seperti yang penulis survei di lapangan di Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Dua hari bolak-balik tidak membuahkan hasil yang bagus. Kemudian ada lagi informasi bahwa rekam data KTP-EL bisa di beda Kecamatan. Akhirnya penulis pindah ke Kecamatan tetangga dan hasilnya positif. Tetapi, uang administrasi harus merogoh kantong sebesar Rp15 rb.

15 hari KTP jadi, tapi tidak merata. Ada yang 3 bulan, 6 bulan, bahkan ada yang 1 tahun baru bisa di ambil. Dalihnya blanko KTP habis dan belum ada distribusi dari pusat. Dalih tersebut bertahan hingga sekarang. Awet muda ternyata, atau sang dalih memakai aplikasi pengubah muka yang sedang viral itu? Entahlah.

Tidak hanya sampai di situ saja. Ketika KTP sudah jadi dan didistribusikan kepada Desa-desa tempat warganya tinggal, saat yang bersangkutan mengambil, sang administrasi lebih dalam lagi merogoh kantong: Rp50 rb, yang katanya sebagai uang jalan atau uang lelah, begitulah. Meskipun tidak semua Desa menerapkan sistem administrasi tersebut, bahkan ada yang memang benar-benar gratis tanpa embel-embel pemanis.

Bagi yang buru-buru atau sekadar ingin cepat KTP-nya jadi, ada jalan pintas , yaitu dengan membayar uang Rp100 rb kepada pihak terkait dan---taraaaaa---jadilah KTP-nya dengan hanya menunggu maksimal seminggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun