Mohon tunggu...
Nida Qonitah
Nida Qonitah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Siswi

There are 3 C's in Life :CHOICE, CHANCE, CHANGE. You must make the CHOICE to take the CHANCE, if you want anything in life to CHANGE. Change your day successfully.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teman di Setiap Senja

17 Februari 2020   18:55 Diperbarui: 17 Februari 2020   19:17 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Rhino ga sekolah Nit." ucap Dhani menghampiriku sepulang sekolah.
"Kita kerumahnya." jawabku spontan.
Aku dan Dhani mulai berjalan menuju ke rumah Rhino. Di sepanjang perjalanan, kami membahas sikap Rhino yang menurut kami sangat egois. Dimata kami,  dia adalah orang yang selalu ingin menjadi pemeran utama di kehidupan setiap orang, sementara setiap orang itu pasti menjadi pemeran utama dalam kehidupan nya masing-masing. Meskipun begitu, kami tetap menyayangi Rhino seperti kami menyayangi saudara kami sendiri.
Sesampainya di depan rumah Rhino, kami sempat mengira bahwa pintu rumahnya tak akan terbuka lagi untuk kami, karena sedari tadi tidak ada sedikitpun respond yang nampak dari dalam rumahnya. Setelah sekian lama, akhirnya terdengar suara pintu yang terbuka diiringi keluarnya Rhino dari dalam rumah dengan senyumnya yang selalu aku suka.

"Ada apa?" tanyanya.
"Pengen we atuh ketemu, ga boleh gitu?"  jawab Dhani.
Rhino hanya membalas ucapan itu dengan senyuman yang terkesan seperti dipaksakan. Seperti yang telah ku ceritakan, Dhani selalu bisa meleburkan dinginnya suasana. Setiap perbincangan yang dia lontarkan disulap menjadi sebuah lelucon yang menggelitik, membuat perutku sakit saking puasnya tertawa. Semua ini Dhani lakukan tak lain hanya agar Rhino ikut tertawa dan meupakan sejenak beban hidupnya. Namun kurasa semua yang Dhani lakukan tak sesuai dengan apa yang direncanakan. Kulihat Rhino tetap hanya tersenyum meskipun aku yakin dia sangat ingin tertawa dan hanya sedang menjaga egonya. Aku merasa prihatin karena aku tak biasa menghadapi sikap Rhino yang bungkam seribu bahasa seperti saat ini.

"Ke sekolah yuk?" Sontak tawa kami terhenti mendengar Rhino yang kembali membuka mulutnya.
"Aku ga bisa, keluarga aku udah nunggu aku dirumah, ada acara." jawab Dhani. Rhino masuk ke rumahnya, entah apa yang akan ia lakukan.
"Kamu aja yang temenin dia ya, kamu pasti bisa balikin dia, aku yakin." ucap Dhani dengan nada yang sedikit panik. Tak lama Rhino keluar dengan ransel di punggungnya, menandakan bahwa dia siap untuk pergi. Karena Dhani harus bergegas pulang ke rumah, akhirnya aku yang menuruti keinginan Rhino untuk diam di sekolah, menjadi fakir wi-fi.
Udara dingin di sore hari yang menusuk dan angin yang berhembus menggugurkan dedaunan dari rantingnya. Aku pun bingung harus bagaimana untuk membuat sikap Rhino kembali seperti sedia kala.

"No sebenernya kamu kenapa sih?" aku mencoba memulai perbincangan.
"Salah aku?"  tanyaku lagi.
"Semuanya punya masalah." ucapnya.
"Hah? Masalah apa?"
"Ini bukan salah kalian, tapi salah aku sendiri."
"Jelasin."

"Aku ngerasa bersalah sama kamu karena gara-gara aku, persahabatan kamu sama
Tania jadi renggang. Aku juga ngerasa bersalah karena sejak Dhani kenal aku, nilai-nilai dan prestasi dia menurun. Aku rasa aku lebih baik sendiri dan ga usah temenan sama kalian lagi. Aku malah nambah masalah buat kalian." ucap Rhino menjelaskan.
"Awalnya aku mikir, kenapa disaat aku ingin dapetin Tania lagi sikap kamu malah kaya gini, sebenernya mau kamu apa? Kalo kamu ngerasa bersalah sama kita, jangan pergi. Perbaiki semuanya. Dengan kamu pergipun belum tentu bisa membuat semuanya kembali." ucapku tegas.
Mendengar ucapanku, dia hanya diam tertegun tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Aku juga ikut terdiam seolah semua kata yang aku ucapkan sangat menguras tenaga, membuatku seperti seseorang yang putus asa dan mulai menyerah.
Rintik hujan semakin deras dan langitpun semakin gelap. Aku ingin pulang, karena aku yakin sesampainya dirumah mamah akan memarahiku karena tidak lekas pulang.

"Aku lapar, kita cari makanan yuk." ucap Rhino yang sedari tadi hanya memperhatikan laptopnya. Mendengar ajakannya, aku langsung bisa menyimpulkan bahwa ucapanku tadi tak berakhir sia-sia. Dengan sepeda motornya, kami menerobos derasnya hujan. Entah tempat apa yang akan dia tuju. Huft. Hari yang melelahkan. Mentalku sangat lelah menghadapi sikap Rhino hari ini. Setelah kejadian ini, kuharap semuanya akan berjalan baik-baik saja, tidak ada orang yang sikapnya memusingkan seperti Rhino lagi. Ku anggap kasus ini berakhir dan dapat kuselesaikan.

Sama seperti hari-hari yang lalu, hari inipun lagi-lagi rintik hujan tumpah membasahi parkiran, jalan dan kendaraan yang lalu lalang dihadapanku yang sedang terduduk di tangga sebuah TOSERBA di kota ini. Aku melamun, berharap hujan segera reda agar aku dapat segera meninggalkan tempat ini. Tak lama, hujanpun mereda. Kali ini rintiknya tinggal butiran-butiran air yang lembut bak butiran salju yang berterbangan di udara. Aku memutuskan untuk beranjak dari tempat ini dan pulang ke rumah. Aku menaiki sebuah angkot yang menuju ke arah rumahku.
"Kiri kiri.." kuhentikan angkot disebuah pertigaan menandakan bahwa aku sudah sampai. Setelah turun dari angkot, aku harus berjalan untuk sampai ke rumahku karena daerah tempatku tinggal bukan rute angkutan umum.

Aku berjalan menyusuri aspal yang basah sembari memandang indahnya cahaya senja di balik bukit, membuatku teringat pada Tania. Bersamanya aku menyukai hujan dan senja. Tak biasanya aku menyusuri jalan ini sendirian karena biasanya Tania selalu ada disampingku. Semuanya terasa menghilang. Tak ada lagi yang menggandeng tanganku dan memasukan telapak tangannya ke dalam saku jaketku. Tak ada lagi yang menarikku saat tubuhku semakin lama semakin melangkah ke tengah jalan. Ya Tuhan aku rindu semua itu, aku sangat ingin mengulang semua kenangan itu, apakah masih bisa?

Tiba-tiba air mataku menetes. Apakah ini yang dinamakan rindu? Tanpa banyak berpikir aku membuka handphone dan mulai mencari kontak Tania. Aku tak peduli apa yang akan dia katakan kepadaku saat aku kembali mengirimkan pesan kepadanya.
"Tan. Maaf."
"Kenapa minta maaf?"
"Maaf aku jahat sama kamu. Aku egois. Maaf. Aku gamau kita kaya yang musuhan. Aku tau kamu sakit hati. Kamu mungkin benci sama aku sekarang, tapi aku tetap takut kamu hilang." pesanku tanpa jeda.

"Aku ga benci sama kamu, aku ga ngerasa musuhan sama kamu." jawabnya membuat aku tersenyum dengan air mata yang menetes tanpa henti.
Seketika aku bersyukur sekali karena telah dipertemukan dengan seorang sahabat yang selalu mengerti aku. Aku terharu karena dia masih mau menerimaku yang sudah membuatnya sakit hati ini sebagai sahabatnya. Aku menyusuri jalan dengan keadaan bahagia. Air mata tetap menetes namun senyum semakin melebar. Aku berhasil. Sejak saat itu persahabatanku dan dia kembali baik-baik saja. Aku senang sekali dapat kembali berkomunikasi dengan Tania. Bercerita tentang apapun yang terjadi padaku di setiap harinya. Terima kasih Tuhan. Kuharap tak ada lagi senja-senja yang sepi dan rindu-rindu tak bertepi yang menyelimuti hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun