Mohon tunggu...
Nida Qonitah
Nida Qonitah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Siswi

There are 3 C's in Life :CHOICE, CHANCE, CHANGE. You must make the CHOICE to take the CHANCE, if you want anything in life to CHANGE. Change your day successfully.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teman di Setiap Senja

17 Februari 2020   18:55 Diperbarui: 17 Februari 2020   19:17 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Namaku Nita. Aku adalah seorang pelajar di salah satu SMA Negeri di kota ini. Orang yang pertama kali melihatku pasti akan beranggapan bahwa aku adalah sosok yang sangat jutek dan sombong. Mungkin anggapan itu timbul karena memang ekspresi wajahku yang selalu terlihat datar saat sedang tidak diajak bicara. Tapi anggapan itu justru sangat bertentangan dengan anggapan sahabatku.
"Kamu adalah orang gila yang mungkin urat malunya sudah putus."

Begitulah pandangan Tania terhadapku selama ini. Dia kunobatkan sebagai sahabatku sejak aku bertemu dengannya saat kelas 3 SD. Dia baik, sangat baik, hanya saja terkadang sedikit menyebalkan saat keinginannya harus ku kabulkan. Aku suka senyumnya, sangat manis. Dan yang paling aku suka adalah ketika dia meminjamkanku uang saat aku sedang tak punya uang. Sekarang aku dan dia tidak lagi satu sekolah. Dia sekolah dia SMK sedangkan aku sekolah di SMA. Walaupun kami tak lagi satu sekolah, tetapi kami masih sering bermain terutama saat libur sekolah dan kami tentu harus selalu berkomunikasi. Pagi, siang, sore, malam. Mulai dari bangun tidur hingga pamit untuk pergi tidur. Apapun yang terjadi padaku, selalu ku ceritakan padanya, begitupun dia. Mulai dari nilai ulangan yang sedikit tidak memuaskan hingga perasaan yang sedang ku rasakan pada seseorang pun selalu ku ceritakan.

"Dia ganteng, aku suka dia, tapi katanya dia kadal ya Mel?" ucapku pada Amel saat menonton Rhino yang sedang bernyanyi sambil memetik gitarnya di atas panggung pada acara peringatan Hari R.A Kartini.
"Iya dia ganteng, senyumnya manis, suaranya juga sebenarnya lumayan enak didengar. Cuma kadang suaranya ga dilantangin." jawab Amel. Hari ini aku sangat suka melihatnya, aku dibuat tersenyum oleh alunan suara dan petikan gitarnya. Aku ingin sekali menjadi miliknya atau memilikinya, tapi aku tak mau nasibku berakhir sama seperti perempuan-perempuan lain yang pernah menjadi korban 'kekadalannya'. Akhirnya akupun memutuskan untuk mencari tahu sikapnya dari sudut pandangku.

Di pagi buta dalam lembaran hari yang baru, aku sudah berada di sekolah, tepatnya di dalam kelasku. Ruang kelasku yang bersebelahan dengan kelas Rhino, membuatku teringat akan indah parasnya pada hari lalu. Penanda itu berbunyi, bel sekolah yang dinanti-nanti akhirnya mengakhiri pelajaran hari ini. Aku bergegas menuju kelas 11 MIPA 3 untuk menemui Amel karena aku ingin ikut pulang bersamanya.
"Ada Amel?" tanyaku pada teman sekelasnya.
"Ada, masuk aja." jawab salah seorang temannya. Saat ku tengok, ternyata dia sedang berdiskusi.
"Lagi apa Mel?" tanyaku.
"Lagi ngerjain tugas fisika, disuruh bikin roket air, kamu udah?" ucap Amel.
"Belum." jawabku.
"Anter aku cari botol bekas ukuran 1 liter yuk." ajaknya.
"Yuk, sambil hujan-hujanan." jawabku dengan semangat.

Diatas motor dan dibawah derasnya rintik hujan, aku bahagia, aku memang sangat menyukai hujan.
"Itu Mel, kayanya di warung itu ada botol bekas." ucapku spontan.
Motorpun berhenti tepat di depan warung yang ku maksud dan akupun meminta izin kepada pemilik warung untuk meminta botol itu. Setelah kudapatkan botolnya, kami bergegas kembali ke sekolah dalam keadaan basah kuyup. Aku terdiam dikelasku, menunggu Amel yang sedang mengerjakan tugas di kelasnya sembari menunggu hujan reda. Tak lama, Amel datang dan mengajakku pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 17:00 WIB. Rintik hujan masih senantiasa mengiringi langkah kaki kami.. belum sempat kami keluar dari gerbang sekolah, terlihat Rhino sedang berjalan menyusuri lorong sekolah.

"Mel tunggu!" teriak nya. Motorpun berhenti.
"Kenapa belum pulang?" tanya Amel saat Rhino sudah tepat berada di samping motor.
"Habis kumpul OSIS. Aku nebeng dong, soalnya aku ga bawa motor." Ucapnya.
" What tartil (bonceng tiga)?" teriakku spontan.
"Biarin atuh, orang cuma sampe gerbang perum nya doang." jawab Rhino.
"Hem ya udah." ucapku sambil menghela napas.


Diapun mulai menaiki motor dan otomatis duduk dibelakangku. Sebenarnya aku tak keberatan, senang malah karena satu motor dengan orang yang aku suka, tapi jujur aku malu jika harus naik motor bertiga apalagi dia adalah seorang laki-laki. Motorpun mulai melaju dan tak terasa kami sudah sampai di gerbang sebuah perumahan.
"Udah Mel disini aja, jalannya ditutup soalnya lagi dibenerin." ucap Rhino.
Motor terhenti, dan Rhinopun turun dari motor.
"Makasih ya Mel." ucapnya sambil tersenyum. Dan aku tak bisa untuk tidak ikut  tersenyum saat melihat senyumannya.
"Eh No, nanti aku chat kamu, save back ya." ucapku menghentikan langkahnya.
"Oke." jawabnya tersenyum sambil menengokku.

Motorpun kembali melaju mengantarkan ku untuk segera sampai ke rumah karena hari semakin gelap. Lagi-lagi aku dibuatnya tersipu hingga aku sampai dirumah. Seperti yang telah aku ucapkan kepada Rhino bahwa aku akan mengirimkan pesan padanya, saat aku sudah bersantai di dalam rumah akupun mulai mengetik dan mengirimkan pesan tanda pertemananku kepada Rhino.

Hari itu menjadi awal pertemananku dengan Rhino, membuatku lambat laun mengetahui sikap aslinya sesuai dengan tujuanku di hari lalu. Dan mulai hari itu aku beranggapan bahwa dia itu bukan kadal seperti yang orang bicarakan padaku, dia hanya orang yang mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya.

"Kuota aku habissss... aku mau ngechat Tania atulah." Ucapku dengan wajah memelas memecahkan keheningan diruangan kelasku sepulang sekolah.
"Sok sok hotspot lah, berisik!" ucap Rhino yang tampak kesal mendengar ocehanku.
"Yeee makasih..." ucapku yang nampak senang karena ocehanku ternyata tak sia-sia.
Akupun mulai memanfaatkan hotspot yang menyala. Karena aku sudah lama tak bertemu dengan Tania, akupun memutuskan untuk memvideocall Tania.
"Ih itu siapa?" ucap Rhino saat melihat wajah Tania di layar handphoneku.
"Ya ini yang namanya Tania." jawabku.
Akhirnya handphoneku pun diambil alih oleh Rhino dan tentu saja yang mengobrol dengan Tania bukan aku. Sangat menyebalkan memang. Tapi tak apa, akan ku ikhlaskan jika itu untuk orang yang aku suka. Waktupun berlalu dan hari mulai petang.
"Pulang yu Nit." ajak Amel.
"Yuk, udah sore nih. Ayo pulang No." jawabku sambil mengajak Rhino.

Tapi Rhino menolak saat ku ajak pulang bersama, mukanya tampak murung dan sangat sedih. Diapun mulai berjalan meninggalkan kami dengan wajah yang tertunduk seperti sedang meratapi kesedihan. Dan aku yakin, kesedihannya timbul setelah dia menonton anime yang mungkin ceritanya membuat dia terharu. Lebay sekali memang orang itu.

Malam ini aku sedang bersantai, tidak mengerjakan tugas sekolah atau apapun. Tiba-tiba handphoneku berbunyi, menandakan bahwa ada pesan whatsapp masuk.

"Nit minta kontak Tania dong." ternyata pesan itu dari Rhino. Kukirimkan kontak Tania.
Setelah hari itu, aku merasa bahwa semakin hari Tania dan Rhino semakin dekat, mereka selalu berbalas pesan dan jujur aku sedikit tidak suka, apalagi Rhino pernah bilang bahwa dia akan menjadikan Tania sebagai pacarnya.
Hari demi hari berlalu, harapanku untuk mendapatkan Rhino semakin hari nampak semakin terhapus oleh keadaan. Aku sebenarnya tak ingin jika Tania dan Rhino harus berpacaran, bukan hanya karena aku menyukai Rhino tapi karena aku takut Tania hanya dijadikan pelampiasan Rhino yang belum bisa melupakan mantannya. Dalam lamunan, aku dikagetkan dengan suara seseorang yang tanpa henti memanggilku dari balik pagar rumah. Aku keluar dan mulai membuka pagar rumah. Ternyata yang datang adalah Rhino dan Tania.

"Aku pulang dulu ya, mau tidur, nanti jam 3 sore aku jemput Tania." ucap Rhino lalu melajukan motornya.
Saat Tania masuk ke rumahku, dia uring-uringan dan aku sangat heran dengan sikapnya, aku tak tahu apa yang telah terjadi padanya.
"Kenapa?" tanyaku sangat penasaran.
"Ih atuh gimana ih?  Aku jadian sama Rhino. Dan itu terpaksa. Sebenarnya aku gamau pacaran." ucap Tania dengan wajah yang mengkhawatirkan.
"Hah? Jadian? Ga salah denger nih?" responku kaget.
"Iya engga. Aku pusing denger ocehan dia yang terus-terusan ngajak aku pacaran, jadi terpaksa aku bilang 'iya'." jawabnya.
"Ya udah mau gimana lagi, jalanin aja dulu." ucapku mencoba menenangkan.

Di hadapan mereka mungkin aku akan selalu terlihat dapat menerima apa yang sedang terjadi, tapi sesungguhnya hati ini tak kuasa menyaksikan apa yang sedang terjadi. Aku cemburu dan aku seringkali kebingungan saat mereka berdebat dan di waktu yang sama mereka bercerita pada orang yang sama, yaitu padaku. Aku bingung ocehan siapa yang harus ku percaya dan untuk menutupi kebingunganku terkadang aku terpaksa harus bersandiwara seolah aku mempercayai cerita dari versi yang berbeda, dari orang yang berbeda, dari mulut yang berbeda, dari pemikiran yang berbeda dan dari sudut pandang yang berbeda.

Hari demi hari kulewati, senja demi senjapun menjadi saksi dari setiap keluhan hati. Perasaan yang ku simpan untuk Rhino di hari lalu bagaikan air sungai yang berlalu. Aku seolah lupa bahwa aku pernah berambisi untuk dapat menjadi seseorang yang berarti dihidupnya. Kuikhlaskan saja perasaanku berlalu seiring dengan berjalannya waktu. Dalam lamunan, aku tersadar dengan getaran handphone yang ada di genggamanku, itu pasti pesan dari Tania.

"Bantuin aku ih. Aku pengen putus sama Rhino. Gimana ya bilangnya?"
Dia bercerita tentang apa yang membuatnya ingin memutuskan hubunganya dengan Rhino, lalu ku berikan solusi atas semua keluhannya. Dan betapa kagetnya aku ketika ada suara Rhino di depan pagar rumah. Aku bingung apa yang harus aku ucapkan pada Rhino jika dia bertanya tentang Tania. Aku bergegas menghampiri Rhino.
"Tania kemana Nit?" tanyanya dengan wajah yang mengkhawatirkan.
Sebenarnya aku tahu kemana Tania pergi hanya saja Tania melarangku untuk memberitahukannya kepada Rhino, dengan sangat terpaksa akhirnya akupun berbohong.
"Gatau No, dirumahnya ga ada emang?" ucapku ragu.
"Ga ada. Tadi aku udah ke rumahnya." jawabnya masih dengan nada yang mengkhawatirkan.
"Kayanya dia main sama temennya ke suatu tempat deh." ucapku.
Dia hanya tertunduk di atas motornya bagaikan orang yang kehilangan harapan.
"Masuk dulu atuh yu." ajakku dengan harapan bisa menenangkan kesedihannya.
Dia masuk ke rumahku dan duduk di kursi yang ada di ruang tamu. Aku memancingnya untuk menceritakan apa yang telah terjadi, meskipun aku sudah mengetahuinya dari Tania tapi kali ini aku ingin mengetahuinya dari sudut pandang Rhino. Aku membuat lelucon dengan harapan dapat membuatnya tersenyum, dan aku berhasil.

"Tuh kalo datang kesini teh pasti suka lupa kalo sebenarnya aku lagi ada masalah." ucapnya sambil tersenyum. Aku merasa bahagia karena telah menjadi alasan atas setiap senyumannya hari ini. Dan lambat laun aku mulai menyadari bahwa semua kesedihan yang dia rasakan mulai bisa dia lupakan.

Setelah kejadian itu, aku merasakan ada sesuatu yang berubah dari Tania. Kurasa sikapnya kepadaku tak seperti biasanya. Tak biasanya dia membalas pesanku dengan kata-kata yang singkat seolah huruf vokal itu tak berperan dalam setiap kata yang dia lontarkan. Meskipun kesal, aku tetap berusaha untuk tenang dan menghadapi sikapnya dengan sabar, namun tiba-tiba pesanku tak pernah dia balas lagi. Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan lamanya aku tak pernah berbalas pesan dengan Tania lagi. Ku rasa dia mulai ingin menjauh dariku. Aku tak ingin memulai untuk mengirim pesan lagi karena pesanku saja belum dia balas hingga detik ini, jangankan dibalas, dibacapun tidak. 

Terkesan sangat egois memang, tapi pada kenyataannya aku sangat kecewa karena dia tega tidak membalas pesanku. Keadaan ini membuatku semakin dekat dengan Rhino dan semakin jauh dari Tania. Rasa nyaman yang timbul saat aku bersama dengan Rhino membuatku mulai terbiasa menjalani hari-hari ku tanpa pesan dari Tania dan tanpa bertemu dengan Tania lagi dalam waktu yang lama. Pertemananku dengan Rhino membuatku mengenal seseorang yang sangat sering membuatku tertawa karena kehumorisannya. Dia adalah Dhani. Dia dengan sikap humorisnya bagaikan pelengkap dalam pertemanan kami, itu semua terlihat ketika aku dan Rhino sedang mengalami perdebatan maka Dhani lah yang akan mencairkan suasana dan membuat semuanya kembali seperti semula.

Waktu berlalu dan hari-hariku selalu dipenuhi dengan canda tawa Rhino dan Dhani. Persahabatan kami bertiga bagaikan hal yang lumrah di pandangan warga sekolah, karena memang mungkin hanya kami siswa yang sering menghabiskan waktu disekolah hingga langit petang berubah menjadi gelap. Kebersamaan itu pula yang membuat aku bisa mengabaikan semua tentang Tania. Entah berapa kali aku bersyukur kepada Tuhan karena telah mempertemukanku dengan mereka. Namun seketika aku dijatuhkan dengan perubahan sikap Rhino yang sangat drastis terhadap aku dan Dhani. Dia tak ingin berbicara bahkan bertemu dengan kami. Aku sangat khawatir dan sedih, sebenarnya apa yang terjadi padanya? Selain itu, aku juga mulai teringat akan semua kenanganku saat bersama Tania. Ya Tuhan kumohon kembalikan semuanya seperti sedia kala.

Di hari ulang tahun Dhani, aku sangat kebingungan. Bagaimana mungkin di hari yang spesial ini keadaan kami malah jadi tidak baik. Aku sangat merasa tidak enak karena saat Rhino ulang tahun kami berkumpul begitupun saat aku ulang tahun, bahkan mereka memberiku hadiah dan membuat rencana  untuk memberiku kejutan. Kasihan sekali Dhani, dia tidak mendapatkan apapun di hari spesialnya, dia malah harus berpikir keras untuk menyelesaikan masalah yang sedang terjadi pada kami sekarang.

"Rhino ga sekolah Nit." ucap Dhani menghampiriku sepulang sekolah.
"Kita kerumahnya." jawabku spontan.
Aku dan Dhani mulai berjalan menuju ke rumah Rhino. Di sepanjang perjalanan, kami membahas sikap Rhino yang menurut kami sangat egois. Dimata kami,  dia adalah orang yang selalu ingin menjadi pemeran utama di kehidupan setiap orang, sementara setiap orang itu pasti menjadi pemeran utama dalam kehidupan nya masing-masing. Meskipun begitu, kami tetap menyayangi Rhino seperti kami menyayangi saudara kami sendiri.
Sesampainya di depan rumah Rhino, kami sempat mengira bahwa pintu rumahnya tak akan terbuka lagi untuk kami, karena sedari tadi tidak ada sedikitpun respond yang nampak dari dalam rumahnya. Setelah sekian lama, akhirnya terdengar suara pintu yang terbuka diiringi keluarnya Rhino dari dalam rumah dengan senyumnya yang selalu aku suka.

"Ada apa?" tanyanya.
"Pengen we atuh ketemu, ga boleh gitu?"  jawab Dhani.
Rhino hanya membalas ucapan itu dengan senyuman yang terkesan seperti dipaksakan. Seperti yang telah ku ceritakan, Dhani selalu bisa meleburkan dinginnya suasana. Setiap perbincangan yang dia lontarkan disulap menjadi sebuah lelucon yang menggelitik, membuat perutku sakit saking puasnya tertawa. Semua ini Dhani lakukan tak lain hanya agar Rhino ikut tertawa dan meupakan sejenak beban hidupnya. Namun kurasa semua yang Dhani lakukan tak sesuai dengan apa yang direncanakan. Kulihat Rhino tetap hanya tersenyum meskipun aku yakin dia sangat ingin tertawa dan hanya sedang menjaga egonya. Aku merasa prihatin karena aku tak biasa menghadapi sikap Rhino yang bungkam seribu bahasa seperti saat ini.

"Ke sekolah yuk?" Sontak tawa kami terhenti mendengar Rhino yang kembali membuka mulutnya.
"Aku ga bisa, keluarga aku udah nunggu aku dirumah, ada acara." jawab Dhani. Rhino masuk ke rumahnya, entah apa yang akan ia lakukan.
"Kamu aja yang temenin dia ya, kamu pasti bisa balikin dia, aku yakin." ucap Dhani dengan nada yang sedikit panik. Tak lama Rhino keluar dengan ransel di punggungnya, menandakan bahwa dia siap untuk pergi. Karena Dhani harus bergegas pulang ke rumah, akhirnya aku yang menuruti keinginan Rhino untuk diam di sekolah, menjadi fakir wi-fi.
Udara dingin di sore hari yang menusuk dan angin yang berhembus menggugurkan dedaunan dari rantingnya. Aku pun bingung harus bagaimana untuk membuat sikap Rhino kembali seperti sedia kala.

"No sebenernya kamu kenapa sih?" aku mencoba memulai perbincangan.
"Salah aku?"  tanyaku lagi.
"Semuanya punya masalah." ucapnya.
"Hah? Masalah apa?"
"Ini bukan salah kalian, tapi salah aku sendiri."
"Jelasin."

"Aku ngerasa bersalah sama kamu karena gara-gara aku, persahabatan kamu sama
Tania jadi renggang. Aku juga ngerasa bersalah karena sejak Dhani kenal aku, nilai-nilai dan prestasi dia menurun. Aku rasa aku lebih baik sendiri dan ga usah temenan sama kalian lagi. Aku malah nambah masalah buat kalian." ucap Rhino menjelaskan.
"Awalnya aku mikir, kenapa disaat aku ingin dapetin Tania lagi sikap kamu malah kaya gini, sebenernya mau kamu apa? Kalo kamu ngerasa bersalah sama kita, jangan pergi. Perbaiki semuanya. Dengan kamu pergipun belum tentu bisa membuat semuanya kembali." ucapku tegas.
Mendengar ucapanku, dia hanya diam tertegun tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Aku juga ikut terdiam seolah semua kata yang aku ucapkan sangat menguras tenaga, membuatku seperti seseorang yang putus asa dan mulai menyerah.
Rintik hujan semakin deras dan langitpun semakin gelap. Aku ingin pulang, karena aku yakin sesampainya dirumah mamah akan memarahiku karena tidak lekas pulang.

"Aku lapar, kita cari makanan yuk." ucap Rhino yang sedari tadi hanya memperhatikan laptopnya. Mendengar ajakannya, aku langsung bisa menyimpulkan bahwa ucapanku tadi tak berakhir sia-sia. Dengan sepeda motornya, kami menerobos derasnya hujan. Entah tempat apa yang akan dia tuju. Huft. Hari yang melelahkan. Mentalku sangat lelah menghadapi sikap Rhino hari ini. Setelah kejadian ini, kuharap semuanya akan berjalan baik-baik saja, tidak ada orang yang sikapnya memusingkan seperti Rhino lagi. Ku anggap kasus ini berakhir dan dapat kuselesaikan.

Sama seperti hari-hari yang lalu, hari inipun lagi-lagi rintik hujan tumpah membasahi parkiran, jalan dan kendaraan yang lalu lalang dihadapanku yang sedang terduduk di tangga sebuah TOSERBA di kota ini. Aku melamun, berharap hujan segera reda agar aku dapat segera meninggalkan tempat ini. Tak lama, hujanpun mereda. Kali ini rintiknya tinggal butiran-butiran air yang lembut bak butiran salju yang berterbangan di udara. Aku memutuskan untuk beranjak dari tempat ini dan pulang ke rumah. Aku menaiki sebuah angkot yang menuju ke arah rumahku.
"Kiri kiri.." kuhentikan angkot disebuah pertigaan menandakan bahwa aku sudah sampai. Setelah turun dari angkot, aku harus berjalan untuk sampai ke rumahku karena daerah tempatku tinggal bukan rute angkutan umum.

Aku berjalan menyusuri aspal yang basah sembari memandang indahnya cahaya senja di balik bukit, membuatku teringat pada Tania. Bersamanya aku menyukai hujan dan senja. Tak biasanya aku menyusuri jalan ini sendirian karena biasanya Tania selalu ada disampingku. Semuanya terasa menghilang. Tak ada lagi yang menggandeng tanganku dan memasukan telapak tangannya ke dalam saku jaketku. Tak ada lagi yang menarikku saat tubuhku semakin lama semakin melangkah ke tengah jalan. Ya Tuhan aku rindu semua itu, aku sangat ingin mengulang semua kenangan itu, apakah masih bisa?

Tiba-tiba air mataku menetes. Apakah ini yang dinamakan rindu? Tanpa banyak berpikir aku membuka handphone dan mulai mencari kontak Tania. Aku tak peduli apa yang akan dia katakan kepadaku saat aku kembali mengirimkan pesan kepadanya.
"Tan. Maaf."
"Kenapa minta maaf?"
"Maaf aku jahat sama kamu. Aku egois. Maaf. Aku gamau kita kaya yang musuhan. Aku tau kamu sakit hati. Kamu mungkin benci sama aku sekarang, tapi aku tetap takut kamu hilang." pesanku tanpa jeda.

"Aku ga benci sama kamu, aku ga ngerasa musuhan sama kamu." jawabnya membuat aku tersenyum dengan air mata yang menetes tanpa henti.
Seketika aku bersyukur sekali karena telah dipertemukan dengan seorang sahabat yang selalu mengerti aku. Aku terharu karena dia masih mau menerimaku yang sudah membuatnya sakit hati ini sebagai sahabatnya. Aku menyusuri jalan dengan keadaan bahagia. Air mata tetap menetes namun senyum semakin melebar. Aku berhasil. Sejak saat itu persahabatanku dan dia kembali baik-baik saja. Aku senang sekali dapat kembali berkomunikasi dengan Tania. Bercerita tentang apapun yang terjadi padaku di setiap harinya. Terima kasih Tuhan. Kuharap tak ada lagi senja-senja yang sepi dan rindu-rindu tak bertepi yang menyelimuti hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun