Mohon tunggu...
Nicko Kharisma Gunawan
Nicko Kharisma Gunawan Mohon Tunggu... Penerjemah - -

Membaca itu seperti menyaksikan kisah dalam setiap dunia yang berputar, melainkan menulis adalah bagian teristimewa dari setiap dunia itu diciptakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menik

30 November 2022   19:00 Diperbarui: 30 November 2022   19:01 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semua ini gara-gara dia. Mulai dari tetangga, hingga teman-teman kian menista harga diriku. Apa lagi, aku sama sekali tak pernah memamerkan seorang wanita pun, sehingga mereka menganggapnya kekasih baru, atau pacar gelapku, lalu menertawakanku.

Bermula dari kedatangan seorang gadis di rumahku sore itu. Sosok yang begitu asing, dari wajahnya tergambar kegelisahan, atau semacam kesedihan yang tak pernah diluapkan. Mungkin seusiaku, atau satu-dua tahun lebih tua. Rambut hitam bergelombang tergerai ke bahu. Kacamata tebal, setebal gumpalan pipi yang hampir menelan seluruh dagu, cukup gemuk menurutku. Serta beberapa benjolan jerawat memadati batang hidung. Seluruh tubuhnya dikemas dalam sweater tebal dan celana komprang dengan nuansa warna yang mencolok, namun tak senada. Tapi bukan itu permasalahannya.

Saat kubuka pintu, sorot mata nya yang hampa membuat ku terselap. Namun, dia hanya diam terpaku melihatku, tak ada yang dikatakan layaknya tamu-tamu yang pernah singgah. Dengan terpaksa ku pinta dia masuk, sejak itu bibir keringnya terbuka, tanpa sepenggal kata. Beberapa saat aku menyadari, rupanya tunawicara. Seketika aku menyesali sikapku, namun dia memilih untuk menunggu di teras. Aku menelfon ibu yang sedari tadi menjenguk nenek bersama ayah. Ku katakan seseorang datang, tanpa penjelasan panjang. Ibu paham yang ku maksud, tak lama kemudian mereka pulang.

Malam itu, dengan berbisik ibu menceritakan. Gadis itu Menik namanya, saudara tiri dari sepupuku, anak dari bulek (tante) yang diadopsi dari sebuah panti asuhan. Kami tinggal berjauhan, sehingga berita itu tak pernah sampai di telingaku. Maklum, jaringan seluler di tempat kami jauh dari kata memadahi. Katanya, dia dititipkan di rumahku untuk sementara waktu, untuk mencari pekerjaan, karena di kota dia tinggal terlalu sulit mendapatkannya. Entah pekerjaan apa yang dicarinya, aku tak bisa membantu, karena aku hanya seorang siswa SMA. Tak lama, dia keluar dari kamar belakang yang telah dirapikan sedemikian rupa, bersampingan dengan kamar ku.

Ibu menyambutnya, kemudian menggiring kami ke meja makan untuk bersantap bersama. Maaf saja, aku tak bermaksud menghindari percakapan dengannya, aku hanya tidak mengerti bahasa isyarat. Lain dengan ibu, begitu lihai dengan rangakaian gerakan yang membentuk ungkapan-ungkapan. Itu hal biasa, karena ibu sudah mengajar di sebuah Sekolah Luar Biasa selama enam belas tahun lamanya. Aku dan ayah hanya sibuk mengamati, lalu menangkap rangkaian kata demi kata hasil terjemahan ibu. Saat mataku beralih ke wajah Menik, dia begitu ekspresif dalam komunikasi. Sesekali tersenyum, namun seringkali murung. Begitu seterusnya, pergantian itu begitu tumpang-tindih.

Aku masuk ke dalam kamar, kemudian berbaring di atas ranjang. Setelah beberapa kali mataku mengedip, aku mendengar desir nafas yang amat berat. Aku menyandingkan telinga kananku di tembok kamar, meresapi suara itu. Suara itu kian memberontak, kemudian mereda sesaat. Semakin malam, desiran itu kian menyeruak, menembus pori-pori dinding kamar yang tak kasat mata. Entah apa yang membuatnya demikian, aku berusaha berpikir positif. Mungkin dia kelelahan, perjalan jauh membuatnya terlelap begitu dalam. 


Kemudian hari, saat aku menunggu jemputan Rian yang biasa memboncengku ke sekolah, Menik terlihat keluar dari rumah. Mungkin satu dari sekian lamarannya telah siap membalikkan nasibnya. Tak lama, Rian datang berbarengan Menik membuka pagar besi. Terlihat dari teras wajah Rian yang bertanya-tanya, memperhatikan sosok gadis yang cukup asing baginya. Rian mengangkat alisnya cepat ke arahku, tanda menanyakan siapa itu. Menik, saudaraku, kataku.

"Itu pacarnya, Mas". Sebuah seruan terdengar dari pangkalan ojek di seberang sana. Rian terkekeh dibuatnya. Diiringi tawa-tawa dari dua orang tetangga sekitar yang bersamaan menyiram tanaman, disusul seorang remaja perempuan yang siap diantar ojek tersebut, teman SD ku dulu. Perlahan ku rasakan wajahku menghangat, rasa malu tak bisa ku urungkan.

Siang hari, sepulang dari sekolah, ibu melanjutkan sedikit cerita tentang kedatangan Menik. Dia sempat menyasar beberapa rumah tetangga dan juga para tukang ojek untuk menemukan letak rumahku. Entah apa yang membuat mereka terpingkal-pingkal pagi tadi, mungkin hanya sekedar candaan belaka, atau wujud dari sosok Menik itu sendiri, aku tak tahu pasti.  Yang jelas, tawa-tawa itu sungguh menyiksaku.

Pernah suatu ketika, aku dipasang-pasangkan dengan seorang gadis di kelas. Seorang murid baru pindahan dari kota yang tak jauh. Awalnya, aku merasa semua itu hanya candaan ala kadarnya. Namun, lambat laun menjadi kebiasaan yang sungguh mengusikku. Entah kenapa mereka ini, hanya karena aku tidak pernah memamerkan seorang pacar seperti yang lain, membangga-banggakan di hadapan semua orang, seenaknya mereka mendesakku, bahkan memintaku mengesahkan perjodohan itu. Sejak saat itu, aku memendam kemuakan yang teramat dalam, terutama kepada mereka yang menista harga diriku.

Keesokan hari, juga hari-hari berikutnya, siklus hidupku kian menyakitkan. Sama seperti saat pertama kali Rian berpapasan dengan Menik. Seruan-seruan ejekan, tawa-tawa yang menggelegar, hingga desas-desus tentangku yang memiliki pacar simpanan baru seakan menjadi topik terpanas. Lebih parahnya, obrolan-obrolan itu datang dari mulut teman-teman sekolahku. Aku baru menyadari, berbagai sindiran itu datang di setiap kehadiranku. Tapi, yang aku tahu, hanya Rian yang mengetahui sosok Menik. Mungkinkah dia menyebarkan olokan para tukang ojek itu di sekolah?

Hatiku semakin gusar, kedatangan Menik seperti rencana pembunuhan terhadapku. Ditambah, tak pernah aku melihat sedikitpun senyumnya merekah padaku, seolah-olah aku hanyalah salah satu dari properti di setiap ruangan, tanpa asal-usul yang pasti. Tak ada basa-basi atau semacamnya, terlebih komunikasi, mengingat kita adalah saudara. Aku pun tak tahu sampai kapan dia tinggal, atau setidaknya cerita dari semua lamaran yang ditebar. Semua itu membuatku geram, tekanan di kepalaku semakin erat, siap meledakkan otakku. Katanya, dia datang untuk memperbaiki nasib, namun benar-benar menghancurkan milikku. Aku tak akan tinggal diam, membiarkan batinku yang kian meronta-ronta.

Hari telah mengisyaratkan larut malam, ayah dan ibu biasa tidur pukul sepuluh. Aku menanti jawaban dari heningnya kehidupan di saat seperti itu, tentang apa yang bisa aku lakukan untuk menyudahi semua tuduhan ini. Aku berpikir dan berpikir, di setiap kerasnya dentuman jarum jam. Aku tak punya rencana yang elegan, atau setidaknya resiko yang akan datang tak menambah penderitaanku. Namun bisikan-bisikan iblis terlalu panas membakar hasratku, seakan akal sehat dilalap habis olehnya. Aku tak mampu mengendalikannya.

Dengan sangat lembut, aku membuka pintu kamarku, disusul pintu kamar Menik yang tepat bersebelahan. Pintu terbuka, lampu masih menyala, perlahan aku masuk dengan nafas penuh kendali, begitu tenang. Barangkali, dia tak mengunci pintu karena terlalu percaya pada kami, atau mengira hal-hal buruk tak akan pernah menimpa dirinya. Aku tak tahu, semua itu hanya asumsiku. 

Aku mengendap perlahan di balik ranjang bagian kaki, tepat di bawah kakinya. Berdiam sesaat, menyelaraskan detak jantungku yang sempat tidak beraturan. Aku masih tak percaya, memasuki kamar seorang gadis di tengah malam yang sunyi ini. Seketika timbul pertanyaan di kapalaku, apakah semua wanita membuka jendela sementara mereka terlelap? Pertanyaan bodoh itu sedikit mengalihkan ketegangan di antara persendianku.

Kini aku berdiri, menatap tubuhnya yang lekat dengan pelukan pada sebuah bantal. Ku dengar pula deru nafas yang berat itu. Aku kemudian berpikir kembali, apa yang bisa ku lakukan dengan cepat, tepat, dan pasti, untuk menenggelamkan tidurnya lebih dalam lagi. Aku meraih ujung bantal itu, menariknya dengan amat berhati-hati. Tarikanku semakin berat, kuatnya dekapan itu tak mampu dikalahkan. 

Terpaksa aku mengerahkan sebagian otot untuk merebutnya, yang membuatnya tergerak seperempat sadar. Sepertinya dia melihatku berdiri di hadapannya samar-samar. Nafasku memburu, seiring kesadarannya yang hampir mencapai titik sempurna. Buru-buru aku kembali merebut bantal itu, lalu menghempaskan bersamanya tubuh dengan daging yang melimpah itu. 

Dia terpental mundur dan terbaring di bawah tubuhku, dengan desakan bantal di wajahnya. Kedua kakiku tak sepenuhnya mampu menahan, yang membuat tubuhku berkali-berkali goyah akan perlawanan hebat yang dia lakukan, kini dia berusaha mendorongku dengan pukulan-pukulan yang membabi buta. 

Semakin kuat aku membekap wajahnya, semakin sengit pula peraduan ini. Kedua tangannya mulai merayap, hingga mencakar dan mencengkram kedua lenganku. Namun, aku tak mungkin memukulinya, atau menghajarnya habis-habisan, karena aku tak ingin meninggalkan jejak luka.

Aku juga tak mungkin menghunus perut gajihnya itu dengan benda tajam, menyia-nyiakan langkah demi langkah ku yang senyap tadi. Aku hanya ingin orang-orang berpikir jika dia tertidur nyenyak dan semakin dalam. Oleh karena nya, kini ku limpahkan pula sekujur tubuhku telungkup di atasnya, menopang pertahanan atas tindihanku.

Deru nafasnya mulai tersengal, hatiku sedikit menemukan secercah kenaiman. Raungan dalam hatinya diwakili oleh dentuman dipan dan tembok yang saling berbenturan karena hebatnya perlawanan, semakin keras dan semakin nyaring. Seketika, terdengar hentakan beberapa pasang kaki yang kian mendekat mengiringinya, kemudian lenyap dalam hitungan detik. 

Entah mengapa, di saat itu juga, baru kusadari erangan kecil merebak dari balik bantal ini, yang dengan kuat mendesak wajah Menik. Erangan itu pun mengikuti serangan demi serangan yang kini menghantam dadaku. Suara-suara yang kami ciptakan itu nyaring saling beriringan, yang ternyata mengundang beberapa tetangga saat tengah meronda.

Mataku tepat menatap ke arah jendela. Aku sungguh tak percaya dengan apa yang sedang aku lakukan. Bagaimana menjelaskan perbuatanku ini, yang aku yakini akan lebih jauh menghempas harga diriku. Dan kini, di bawah sinar rembulan yang terang, dari luar jendela mereka menyaksikanku menunggangi Menik dengan erangan misteriusnya, juga guncangan-guncangan yang terlampau hebat saling menyela.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun