Mohon tunggu...
Nicko Kharisma Gunawan
Nicko Kharisma Gunawan Mohon Tunggu... Penerjemah - -

Membaca itu seperti menyaksikan kisah dalam setiap dunia yang berputar, melainkan menulis adalah bagian teristimewa dari setiap dunia itu diciptakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menik

30 November 2022   19:00 Diperbarui: 30 November 2022   19:01 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hatiku semakin gusar, kedatangan Menik seperti rencana pembunuhan terhadapku. Ditambah, tak pernah aku melihat sedikitpun senyumnya merekah padaku, seolah-olah aku hanyalah salah satu dari properti di setiap ruangan, tanpa asal-usul yang pasti. Tak ada basa-basi atau semacamnya, terlebih komunikasi, mengingat kita adalah saudara. Aku pun tak tahu sampai kapan dia tinggal, atau setidaknya cerita dari semua lamaran yang ditebar. Semua itu membuatku geram, tekanan di kepalaku semakin erat, siap meledakkan otakku. Katanya, dia datang untuk memperbaiki nasib, namun benar-benar menghancurkan milikku. Aku tak akan tinggal diam, membiarkan batinku yang kian meronta-ronta.

Hari telah mengisyaratkan larut malam, ayah dan ibu biasa tidur pukul sepuluh. Aku menanti jawaban dari heningnya kehidupan di saat seperti itu, tentang apa yang bisa aku lakukan untuk menyudahi semua tuduhan ini. Aku berpikir dan berpikir, di setiap kerasnya dentuman jarum jam. Aku tak punya rencana yang elegan, atau setidaknya resiko yang akan datang tak menambah penderitaanku. Namun bisikan-bisikan iblis terlalu panas membakar hasratku, seakan akal sehat dilalap habis olehnya. Aku tak mampu mengendalikannya.

Dengan sangat lembut, aku membuka pintu kamarku, disusul pintu kamar Menik yang tepat bersebelahan. Pintu terbuka, lampu masih menyala, perlahan aku masuk dengan nafas penuh kendali, begitu tenang. Barangkali, dia tak mengunci pintu karena terlalu percaya pada kami, atau mengira hal-hal buruk tak akan pernah menimpa dirinya. Aku tak tahu, semua itu hanya asumsiku. 

Aku mengendap perlahan di balik ranjang bagian kaki, tepat di bawah kakinya. Berdiam sesaat, menyelaraskan detak jantungku yang sempat tidak beraturan. Aku masih tak percaya, memasuki kamar seorang gadis di tengah malam yang sunyi ini. Seketika timbul pertanyaan di kapalaku, apakah semua wanita membuka jendela sementara mereka terlelap? Pertanyaan bodoh itu sedikit mengalihkan ketegangan di antara persendianku.

Kini aku berdiri, menatap tubuhnya yang lekat dengan pelukan pada sebuah bantal. Ku dengar pula deru nafas yang berat itu. Aku kemudian berpikir kembali, apa yang bisa ku lakukan dengan cepat, tepat, dan pasti, untuk menenggelamkan tidurnya lebih dalam lagi. Aku meraih ujung bantal itu, menariknya dengan amat berhati-hati. Tarikanku semakin berat, kuatnya dekapan itu tak mampu dikalahkan. 

Terpaksa aku mengerahkan sebagian otot untuk merebutnya, yang membuatnya tergerak seperempat sadar. Sepertinya dia melihatku berdiri di hadapannya samar-samar. Nafasku memburu, seiring kesadarannya yang hampir mencapai titik sempurna. Buru-buru aku kembali merebut bantal itu, lalu menghempaskan bersamanya tubuh dengan daging yang melimpah itu. 

Dia terpental mundur dan terbaring di bawah tubuhku, dengan desakan bantal di wajahnya. Kedua kakiku tak sepenuhnya mampu menahan, yang membuat tubuhku berkali-berkali goyah akan perlawanan hebat yang dia lakukan, kini dia berusaha mendorongku dengan pukulan-pukulan yang membabi buta. 

Semakin kuat aku membekap wajahnya, semakin sengit pula peraduan ini. Kedua tangannya mulai merayap, hingga mencakar dan mencengkram kedua lenganku. Namun, aku tak mungkin memukulinya, atau menghajarnya habis-habisan, karena aku tak ingin meninggalkan jejak luka.

Aku juga tak mungkin menghunus perut gajihnya itu dengan benda tajam, menyia-nyiakan langkah demi langkah ku yang senyap tadi. Aku hanya ingin orang-orang berpikir jika dia tertidur nyenyak dan semakin dalam. Oleh karena nya, kini ku limpahkan pula sekujur tubuhku telungkup di atasnya, menopang pertahanan atas tindihanku.

Deru nafasnya mulai tersengal, hatiku sedikit menemukan secercah kenaiman. Raungan dalam hatinya diwakili oleh dentuman dipan dan tembok yang saling berbenturan karena hebatnya perlawanan, semakin keras dan semakin nyaring. Seketika, terdengar hentakan beberapa pasang kaki yang kian mendekat mengiringinya, kemudian lenyap dalam hitungan detik. 

Entah mengapa, di saat itu juga, baru kusadari erangan kecil merebak dari balik bantal ini, yang dengan kuat mendesak wajah Menik. Erangan itu pun mengikuti serangan demi serangan yang kini menghantam dadaku. Suara-suara yang kami ciptakan itu nyaring saling beriringan, yang ternyata mengundang beberapa tetangga saat tengah meronda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun