1.
Malam ke delapan rumah menjadi sepi, padahal biasanya ramai, banyak tetangga, saudara berdatangan, membacakan Tahlil, doa bersama untuk Bapak beberapa hari lalu meninggal tanpa sebab, tanpa sakit, tanpa permisi tak pamit terlebih dahulu.
Padahal saya khittan baru satu bulan, itupun atas desakan Bapak jika saya harus khittan bulan ini, tak boleh di tunda lagi.
“Le...bulan ini kamu harus khittan ini permintaan Bapak untuk terkahir kalinya, jika menunggu bulan depan Bapak tak bisa menungguimu,”
Saya menggangguk saja, ketika mendengarkan perkataan Bapak; saya yang baru kelas 3 MI belum mampu menolak permintaannya serta mencerna maksud dan tujuan Bapak tersebut. Saya baru bisa menyadari apabila ucapan tersebut adalah penanda, berpamitan meninggalkan saya dan Ibu untuk selamanya.
2.
Diam-diam saya mendengar ocehan para tetangga, omongan saudara dari Bapak perihal kematian Bapak tersebut.
“Kematiannya tanpa sebab, apa mungkin di racun, atau kena teluh, tanpa sakit atau yang lain, hanya sakit kepala dan mual-mual saja, belum sempat di bawa ke puskesmas sudah meninggal,”
Celotehan-celotehan seperti itu sering saya dengar baik secara langsung atau pun tak langsung. Sempat dongkol, sakit hati tapi bagaimana lagi; sebab orang ngomong, ngegosip adalah pekerjaan yang paling nikmat dan mengasyikkan mengalahkan kenikmatan lain.
“Le...kau tak usah mendengarkan apa yang di omongkan tetangga-tetangga kita, atau saudara-saudara kita, yang terpenting adalah pendidikanmu akan terus berlanjut, Ibumu akan selalu mendoakanmu dan akan selalu mencari hal terbaik demi masa depanmu, Bapakmu meninggal adalah kehendak Allah, kita sebagai mahluk tak bisa melanggar atau menolak apa yang sudah menjadi kehendak-Nya”