Di tengah hiruk pikuk dan kompleksitas kehidupan modern yang sarat akan tekanan psikologis, banyak individu mulai mencari oase ketenangan dan makna hidup yang lebih dalam. Salah satu warisan spiritual kuno yang kembali relevan dan mendapat perhatian luas adalah Yoga. Namun, seringkali pemahaman masyarakat modern tentang Yoga hanya sebatas aktivitas fisik untuk kesehatan, sebuah persepsi yang jauh dari esensi aslinya. Pada dasarnya, Yoga adalah sebuah jalan hidup, sebuah disiplin holistik yang bertujuan menyatukan kesadaran individu dengan kesadaran kosmik tertinggi.Â
Secara harfiah, kata "Yoga" berasal dari bahasa Sansekerta "yuj", yang berarti menyatukan atau menghubungkan diri dengan Tuhan. Maharsi Patanjali, dalam mahakaryanya Yoga Sutra, mendefinisikan Yoga sebagai proses mengendalikan gerak-gerak pikiran (citta vrtti nirodhah). Ini adalah sebuah jalan spiritual universal yang dirancang untuk membangun keharmonisan antara tubuh, pikiran, dan jiwa, menuntun praktisinya menuju realisasi diri dan penyatuan dengan Brahman (Tuhan). Untuk mencapai tujuan luhur ini, Maharsi Patanjali menyusun sebuah peta jalan yang sistematis dan komprehensif yang dikenal sebagai Astangga Yoga, atau delapan tahapan Yoga. Delapan tahapan ini bukanlah anak tangga yang terpisah, melainkan sebuah kesatuan yang saling melengkapi, yang harus dipraktikkan secara bertahap dan konsisten untuk mencapai puncak kesadaran spiritual.
Perjalanan Astangga Yoga tidak dimulai dari gerakan fisik yang rumit, melainkan dari fondasi etika dan moral yang kokoh. Dua tahapan pertama, Yama dan Niyama, berfungsi sebagai kompas moral yang mengatur interaksi seorang yogi dengan dunia luar dan dengan dirinya sendiri. Tanpa dasar moral yang baik, praktik Yoga hanya akan sebatas olah fisik tanpa kedalaman spiritual.
Yama Bratha, tahapan pertama, adalah lima prinsip pengendalian diri atau pengekangan diri yang bersifat universal, mengatur bagaimana kita berhubungan dengan orang lain dan lingkungan. Kelima prinsip ini adalah:
1. Ahimsa (Kasih Sayang/Tanpa Kekerasan): Ahimsa mengajarkan untuk tidak menyakiti makhluk hidup lain, baik melalui tindakan, perkataan, maupun pikiran. Ini adalah praktik welas asih yang mendalam, menghargai kehidupan dalam segala bentuknya dan bertindak dengan empati.
2. Satya (Kebenaran): Satya adalah komitmen untuk selalu berpegang pada kebenaran dan kejujuran dalam segala aspek kehidupan. Hidup dalam kebenaran akan membangun integritas dan kepercayaan yang kuat.
3. Astenya (Tidak Merampas/Mencuri): Astenya berarti tidak mengambil apa yang bukan hak kita, baik itu harta benda, hak intelektual, maupun emosional orang lain. Prinsip ini membangun rasa hormat dan keadilan.
4. Brahmacari (Ketaatan dalam Pembelajaran): Secara tradisional, Brahmacari berarti mengendalikan energi seksual, namun dalam konteks yang lebih luas, ini adalah tentang mengendalikan hawa nafsu dan keinginan duniawi agar dapat fokus pada tujuan spiritual dan pembelajaran.
5. Awyawaharika (Cinta Damai): Prinsip ini menekankan pentingnya menjaga kedamaian, menghindari konflik, pertengkaran, dan segala bentuk percakapan yang tidak bermanfaat seperti gosip.
Nyama Bratha, tahapan kedua, adalah lima prinsip ketaatan atau disiplin diri yang mengatur bagaimana kita berhubungan dengan diri sendiri. Kelima prinsip ini meliputi:
1. Sauca (Kebersihan Lahir dan Batin): Sauca adalah menjaga kebersihan, tidak hanya kebersihan fisik tubuh dan lingkungan, tetapi juga kebersihan pikiran dari segala hal negatif dan nafsu yang mengganggu.
2. Akrodha (Pengendalian Kemarahan): Ini adalah latihan untuk tidak dikuasai oleh amarah. Dengan memahami akar penyebab kemarahan, seseorang dapat mengatasi konflik dengan lebih bijaksana dan damai.
3. Guru Susrusa (Hormat pada Guru): Prinsip ini menekankan pentingnya rasa hormat, bakti, dan ketaatan kepada guru spiritual, serta kesiapan untuk belajar di bawah bimbingan mereka.
4. Aharalagawa (Pengaturan Makanan): Ini adalah praktik mengatur pola makan yang sehat dan seimbang, menyadari bahwa apa yang kita konsumsi sangat berpengaruh pada kesehatan fisik, mental, dan spiritual.
5. Apramada (Kewaspadaan): Apramada adalah sikap untuk selalu waspada dan berhati-hati dalam setiap tindakan dan pikiran, menjaga kesadaran akan tujuan hidup dan tanggung jawab moral.
Setelah membangun fondasi etika yang kuat, seorang yogi melanjutkan ke tahap ketiga dan keempat yang berfokus pada tubuh fisik dan energi vital.
Asana, tahap ketiga, adalah sikap atau postur tubuh. Berbeda dengan pemahaman populer, Yogasutra tidak menekankan pada postur yang akrobatik. Asana yang ideal adalah sikap duduk yang stabil, nyaman, dan dapat dipertahankan dalam waktu lama tanpa menyebabkan rasa sakit atau gangguan. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan tubuh agar dapat duduk tenang, menguatkan konsentrasi, dan mengendalikan sistem saraf sehingga pikiran tidak mudah goyah. Sikap duduk seperti Silasana (bersila) untuk pria dan Bajrasana untuk wanita adalah contoh asana yang rileks dan mendukung meditasi.
Pranayama, tahap keempat, adalah salah satu pilar terpenting dalam Astangga Yoga. Pranayama secara harfiah berarti pengendalian (ayama) energi kehidupan atau napas (prana). Ini bukan sekadar latihan pernapasan biasa, melainkan sebuah teknik sadar untuk mengatur aliran energi vital ke seluruh tubuh. Proses Pranayama terdiri dari tiga fase utama:
Puraka: Proses menarik napas secara sadar dan perlahan.
Kumbhaka: Proses menahan napas setelah menarik atau sebelum menghembuskan napas.
Recaka: Proses menghembuskan napas secara sadar dan perlahan.
Praktik ini, yang dilakukan secara perlahan dan bertahap (misalnya, dalam hitungan tujuh detik untuk setiap fase), bertujuan untuk memperkuat dan mengaktifkan tujuh pusat energi (cakra) dalam tubuh, mulai dari Muladhara di dasar tulang punggung hingga Sahasrara di puncak kepala. Melalui Pranayama, kotoran dalam tubuh fisik dan mental dapat dibersihkan, membuka jalan bagi tahap-tahap meditasi yang lebih dalam.
Setelah tubuh dan napas menjadi stabil dan harmonis, perjalanan dilanjutkan ke alam batin melalui tiga tahapan berikutnya.
Pratyahara, tahap kelima, adalah proses menarik panca indra (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba) dari objek-objek eksternal ke dalam diri. Tujuannya bukan untuk mematikan fungsi indra, melainkan untuk menguasai indra dengan kekuatan pikiran, sehingga rangsangan dari luar tidak lagi mengganggu dan mempengaruhi ketenangan pikiran. Dengan Pratyahara, seorang yogi belajar untuk memutus rantai reaksi otomatis dari rangsangan indrawi ke keinginan atau nafsu, sehingga citta (budi) menjadi murni.
Dharana, tahap keenam, adalah konsentrasi atau pemusatan pikiran pada satu titik atau objek tunggal. Setelah indra berhasil ditarik ke dalam, pikiran diarahkan dan dipertahankan pada satu objek konsentrasi tanpa teralihkan. Objek ini bisa berada di dalam tubuh (seperti titik di antara kedua alis atau puncak hidung) atau di luar tubuh (seperti gambar dewa, bintang, atau gunung). Kemampuan untuk mempertahankan fokus dalam Dharana adalah kunci untuk melangkah ke tahap selanjutnya.
Dhyana, tahap ketujuh, adalah meditasi. Ini adalah kelanjutan dari Dharana, di mana aliran pikiran pada objek konsentrasi menjadi terus-menerus dan tanpa putus, seperti aliran minyak yang tak terganggu. Dalam Dhyana, kesadaran yogi sepenuhnya terserap pada objek meditasi, tanpa ada gangguan dari luar maupun dari dalam pikiran itu sendiri. Dhyana adalah keadaan di mana segala hambatan antara manusia dan Tuhan mulai sirna.
Puncak Penyatuan: Samadhi
Samadhi adalah tahap kedelapan dan puncak dari praktik Astangga Yoga. Ini adalah keadaan transendental di mana sang yogi, proses meditasi, dan objek meditasi melebur menjadi satu. Dalam Samadhi, dualitas lenyap, dan yang tersisa hanyalah kesadaran murni. Ada dua tingkatan Samadhi:
1. Sabija-samadhi (Samprajnata-samadhi): Keadaan di mana seorang yogi masih memiliki sedikit kesadaran akan identitas dirinya, meskipun batinnya telah dipenuhi kebahagiaan.
2. Nirbija-samadhi (Asamprajnata-samadhi): Keadaan yang lebih tinggi di mana yogi sepenuhnya kehilangan kesadaran akan diri dan lingkungannya, karena telah sepenuhnya menyatu dengan kesadaran kosmik. Batinnya diresapi oleh kebahagiaan dan cinta kasih Tuhan yang tiada tara.
Samadhi adalah pengalaman kebahagiaan tertinggi, di mana tidak ada lagi kecemasan, keinginan, atau ke-"aku"-an. Ini adalah pintu gerbang menuju Moksa, pembebasan akhir dari siklus kelahiran dan kematian (samsara).
Aplikasi Astangga Yoga di Zaman Kali Yuga
Di zaman Kali Yuga, di mana kekerasan, penipuan, dan perselisihan menjadi hal yang lumrah, ajaran Astangga Yoga menawarkan solusi untuk mengembalikan kesadaran dan harmoni. Ajaran ini menuntun manusia untuk menyadari kembali keutamaan kelahirannya sebagai manusia, yang memiliki kemampuan untuk membebaskan diri melalui perbuatan baik. Pengendalian diri (Yama dan Niyama) menjadi sangat relevan untuk mengatasi musuh terbesar manusia, yaitu nafsu dan amarah yang lahir dari dalam diri sendiri.
Sayangnya, aplikasi Astangga Yoga di era modern seringkali masih sangat minim dan dangkal. Banyak orang hanya berfokus pada Asana dan Pranayama untuk tujuan kesehatan fisik, umur panjang, atau bahkan meningkatkan hasrat duniawi, tanpa memahami tujuan utama Yoga, yaitu menghubungkan jiwa individu dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Oleh karena itu, penting bagi kita, terutama generasi muda, untuk menjadi pionir dalam memahami dan mempraktikkan Astangga Yoga secara utuh dan benar. Dengan menjalankan delapan tahapan ini dengan tulus, kita tidak hanya akan meraih kesehatan fisik dan ketenangan mental, tetapi juga melangkah di jalan spiritual yang akan menuntun kita pada tujuan tertinggi kehidupan: realisasi diri dan penyatuan dengan Yang Ilahi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI