Mohon tunggu...
Nency
Nency Mohon Tunggu... Lainnya - Nency's

Hi I'm Nency

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Keadilan Kebijakan Perpajakan di Indonesia

5 Mei 2021   12:24 Diperbarui: 7 Mei 2021   17:43 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KEADILAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN DI INDONESIA

(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 134/B/PK/PJK/2016)

NENCY

Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi - Manajemen Perpajakan - Institut STIAMI

Email : nency.bc201120035@gmail.com 

 


ABSTRAK

Sejak tahun 1983, sistem perpajakan di Indonesia beralih dari Official Assessment System ke Self Assessment System hingga sekarang. Self Assessment System merupakan sistem perpajakan yang memberikan wewenang dan kepercayaan kepada Wajib Pajak dalam hal menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Dalam hal menguji kepatuhan, Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk melakukan kegiatan pemeriksaan sesuai Pasal 4 PMK No.184/PMK.03/2015. Mengingat salah satu tujuan pemeriksaan adalah meningkatkan Penerimaan negara, maka pemeriksaan seringkali tidak objektif dan sengketa pajak. Pengadilan Pajak merupakan salah satu jalur yang dapat ditempuh dalam memberikan keadilan sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Namun dalam penyelesaian sengketa di pengadilan pajak sendiri memerlukan proses yang cukup lama. Sehingga tidak semua Wajib Pajak sanggup memperjuangkan keadilan sampai Pengadilan Pajak. Hal ini merupakan kontradiksi dalam perpaduan hukum dan implementasi di lapangan. Mengingat Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan asas Pancasila yang harus dijunjung tinggi, maka selanjutnya peneliti akan mengkaji lebih detail tentang Keadilan Kebijakan Perpajakan di Indonesia, terutama dalam sengketa pajak.

 
Kata Kunci : Self Assessment System, Keadilan Perpajakan, Pengadilan Pajak, Indonesia.

 

 

PENDAHULUAN

Sistem perpajakan yang memberikan wewenang dan kepercayaan kepada Wajib Pajak dalam hal menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri di Indonesia sudah dipraktekkan sejak tahun 1983. Penyerahan wewenang dan kepercayaan secara keseluruhan pada Wajib Pajak seperti ini dapat berkemungkinkan besar menimbulkan penyalahgunaan Hak dan Kewajiban, terutama dalam hal Tax Evasion. Sehingga Self Assessment System perlu diawasi kepatuhannya.

Untuk mengatasi adanya Tax Evasion (Penghindaran Pajak secara ilegal), maka diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015. Sesuai ketentuan Pasal 4 PMK No.184/PMK.03/2015, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Kebijakan Pemeriksaan kemudian juga dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 15/PJ/2018. Surat Edaran ini bertujuan : (i) meningkatkan tertib administrasi pemeriksaan, (ii) memberikan keseragaman langkah dalam pelaksanaan kegiatan pemeriksaan, (iii) meningkatkan kualitas pemilihan Wajib Pajak yang akan diperiksa, (iv) meningkatkan kualitas pemeriksaan pajak, dan (v) meningkatkan penerimaan pajak dari kegiatan pemeriksaan.

Dengan tujuan ke (v) dalam SE 15/PJ/2018 yaitu meningkatkan penerimaan pajak dari kegiatan pemeriksaan, maka KPP mulai meningkatkan tren pencarian penerimaan negara dengan meningkatkan temuan dalam kegiatan pemeriksaan. Tren yang seperti ini kemudian mengakibatkan penurunan kualitas pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan baik pada data yang objektif maupun tidak objektif. Penafsiran Hukum perpajakan yang keliru hanya demi peningkatan penerimaan negara juga mengakibatkan tidak sedikit Wajib Pajak harus dikorbankan.

Mengingat Pemeriksaan merupakan sebuah ketentuan hukum, maka dalam memperoleh keadilan dalam sengketa pajak, Wajib pajak juga hanya bisa mengajukannya dengan jalur hukum. Sesuai Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Dalam hal terjadi sengketa pajak, Upaya Hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak adalah Keberatan (sesuai Pasal 25 UU KUP), Banding (sesuai Pasal 27 UU KUP), Gugatan (sesuai Pasal 23 UU KUP), atau Peninjauan Kembali (sesuai Pasal 28 UU KUP), dengan syarat pengajuan tersendiri. Namun Proses Pengajuan upaya hukum diatas tidaklah mudah, upaya hukum sengketa pajak di Indonesia memerlukan proses pengadilan yang sangat panjang dan lama. Sehingga Justice Cost (Biaya dalam memperoleh Keadilan) juga tidak murah. Untuk itu, Peneliti akan mengkaji lebih lanjut tentang sengketa pajak dalam artikel yang berjudul “Keadilan Kebijakan Perpajakan di Indonesia”.

 

 

LANDASAN TEORI

1. KEADILAN MENURUT FILSUF

          a. Teori Keadilan Aristoteles

Seperti kutipan dari buku Hyronimus Rhiti (2015:241-242), Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Etika Nichomachea menjelaskan pemikiran pemikirannya tentang keadilan. Bagi Aristoteles, keutamaan, yaitu ketaatan terhadap hukum (hukum polis pada waktu itu, tertulis dan tidak tertulis) adalah keadilan. Dengan kata lain keadilan adalah keutamaan dan ini bersifat umum. Theo Huijbers menjelaskan mengenai keadilan menurut Aristoteles di samping keutamaan umum, juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yang berkaitan dengan sikap manusia dalam bidang tertentu, yaitu menentukan hubungan baik antara orang-orang, dan keseimbangan antara dua pihak. Ukuran keseimbangan ini adalah kesamaan numerik dan proporsional. Hal ini karena Aristoteles memahami keadilan dalam pengertian kesamaan. Dalam kesamaan numerik, setiap manusia disamakan dalam satu unit. Misalnya semua orang sama di hadapan hukum. Kemudian kesamaan proporsional adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, sesuai kemampuan dan prestasinya.Selain itu Aristoteles juga membedakan antara keadilan distributif dengan keadilan korektif. Keadilan distributive menurutnya adalah keadilan yang berlaku dalam hukum publik, yaitu berfokus pada distribusi, honor kekayaan, dan barang-barang lain yang diperoleh oleh anggota masyarakat. Kemudian keadilan korektif berhubungan dengan pembetulan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan atau hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan. Sehingga dapat disebutkan bahwa ganti rugi dan sanksi merupakan keadilan akorektif menurut Aristoteles. Teori keadilan menurut Arsitoteles yang dikemukakan oleh Theo Huijbers adalah sebagai berikut:

  • Keadilan dalam pembagian jabatan dan harta benda publik.

Disini berlaku kesamaan geometris. Misalnya seorang Bupati jabatannya dua kali lebih penting dibandingkan dengan Camat, maka Bupati harus mendapatkan kehormatan dua kali lebih banyak daripada Camat. Kepada yang sama penting diberikan yang sama, dan yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama.

  • Keadilan dalam jual-beli.

Menurutnya harga barang tergantung kedudukan dari para pihak. Ini sekarang tidak mungkin diterima.

  • Keadilan sebagai kesamaan aritmatis dalam bidang privat dan juga publik.

Kalau seorang mencuri, maka ia harus dihukum, tanpa mempedulikan kedudukan orang yang bersangkutan. Sekarang, kalau pejabat terbukti secara sah melakukan korupsi, maka pejabat itu harus dihukum tidak peduli bahwa ia adalah pejabat.

  • Keadilan dalam bidang penafsiran hukum.

Karena Undang-Undang itu bersifat umum, tidak meliputi semua persoalan konkret, maka hakim harus menafsirkannya seolah-olah ia sendiri terlibat dalam peristiwa konkret tersebut. Menurut Aristoteles, hakim tersebut harus memiliki epikeia, yaitu “suatu rasa tentang apa yang pantas”.

          b. Teori Keadilan John Rawis

Dalam Kutipan Buku Hyronimus Rhiti (2015:246-247), Menurut John Rawis, keadilan adalah fairness (justice as fairness). Pendapat John Rawls ini berakar pada teori kontrak sosial Locke dan Rousseau serta ajaran deontologi dari Imanuel Kant. Beberapa pendapatnya mengenai keadilan adalah sebagai berikut:

  • Keadilan ini juga merupakan suatu hasil dari pilihan yang adil.

Ini berasal dari anggapan Rawls bahwa sebenarnya manusia dalam masyarakat itu tidak tahu posisinya yang asli, tidak tahu tujuan dan rencana hidup mereka, dan mereka juga tidak tahu mereka milik dari masyarakat apa dan dari generasi mana (veil of ignorance). Dengan kata lain, individu dalam masyarakat itu adalah entitas yang tidak jelas. Karena itu orang lalu memilih prinsip keadilan.

  • Keadilan sebagai fairness menghasilkan keadilan prosedural murni.

Dalam keadilan prosedural murni tidak ada standar untuk menentukan apa yang disebut “adil” terpisah dari prosedur itu sendiri. Keadilan tidak dilihat dari hasilnya, melainkan dari sistem (atau juga proses) itu sendiri.

          c. Teori Keadilan Thomas Hobbes

Dalam Kutipan Muhammad Syukri Albani Nasution dalam bukunya Hukum dalam Pendekatan Filsafat (2017:217-218), Menurut Thomas Hobbes keadilan ialah suatu perbuatan dapat dikatakan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa keadilan atau rasa keadilan baru dapat tercapai saat adanya kesepakatan antara dua pihak yang berjanji. Perjanjian disini diartikan dalam wujud yang luas tidak hanya sebatas perjanjian dua pihak yang sedang mengadakan kontrak bisnis, sewa-menyewa, dan lain-lain. Melainkan perjanjian disini juga perjanjian jatuhan putusan antara hakim dan terdakwa, peraturan perundang- undangan yang tidak memihak pada satu pihak saja tetapi saling mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan publik.

  • Keadilan distributif, yaitu suatu hubungan keadilan antara negara terhadap warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban;
  • Keadilan legal, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara dan dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara; dan
  • Keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan yang lainnya secara timbal balik.

 

2. PAJAK

  1. Menurut Rochmat Soemitro (2017), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
  2. Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mendefinisikan Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terhutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  3. Mardiasmo (2016) juga menyebutkan syarat pemungut pajak yaitu:

1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)

3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial)

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.

3. FUNGSI PEMERIKSAAN PAJAK

  • Surat Edaran (SE) No. 15/PJ/2018 

Surat Edaran (SE) No. 15/PJ/2018 tanggal 13 Agustus 2018 ditegaskan dalam SE tersebut bahwa ada 5 (lima) tujuan diterbitkannya kebijakan pemeriksaan, yaitu (i) meningkatkan tertib administrasi pemeriksaan, (ii) memberikan keseragaman langkah dalam pelaksanaan kegiatan pemeriksaan, (iii) meningkatkan kualitas pemilihan Wajib Pajak yang akan diperiksa, (iv) meningkatkan kualitas pemeriksaan pajak, dan (v) meningkatkan penerimaan pajak dari kegiatan pemeriksaan.

4. SENGKETA PAJAK

Sesuai Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

 

5. PENGADILAN PAJAK PAJAK

Sesuai Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.

 

6. TANGGAPAN WAJIB PAJAK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 134/B/PK/PJK/2016

  • Pasal 4 ayat (1) huruf h UU PPh  

Bahwa pemberian jasa konsultasi yang diberikan disini mempunyai unsur aktivitas dari konsultan yang bersangkutan, dimana hasilnya yang berupa informasi hanya dapat digunakan oleh Pemohon Banding dan tidak dapat digunakan oleh Perusahaan yang lain, sedangkan royalti sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h Undangundang Pajak Penghasilan adalah informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman dibidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Berdasarkan peraturan tersebut, pemberian jasa konsultasi tersebut tidak dapat digolongkan sebagai royalti.

  • Pasal 26 ayat (1) huruf c UU PPh

Bahwa sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) menyatakan bahwa berdasarkan P3B yang berlaku, pada umumnya imbalan atas jasa yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri merupakan Laba Usaha sehingga pengenaan pajaknya hanya dapat dilakukan di Indonesia apabila Wajib Pajak Luar Negeri tersebut melakukan jasa di Indonesia melalui suatu BUT (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia).

  • Artikel 12 paragraf (1), (2), (4), (8) P3B Indonesia-Singapura 

Bahwa sesuai dengan Pasal 5 P3B antara Indonesia dengan Singapura dikatakan bahwa WPLN dianggap mempunyai BUT apabila WPLN tersebut berada di Indonesia melebihi Time Test dalam P3B (dalam hal ini 90 hari). Dalam hal ini jasa konsultasi yang diberikan oleh Hampton Technology PTE LTD selaku pihak Luar Negeri, dilakukan melalui via telepon dan kunjungan dan pihak Pemohon Banding ke kantor konsultan di Luar negeri tersebut. WPLN tersebut tidak mempunyai pegawai yang berdomisili di Indonesia sehingga WPLN tersebut tidak mempunyai BUT di Indonesia.

 

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis penelitian ini termasuk dalam golongan penelitian hukum normatif, sedangkan dilihat dari sifatnya adalah deskriptif analisis. Dan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yaitu metode yang menggunakan sumber-sumber data sekunder yaitu berupa peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum, dan pendapat-pendapat para ahli hukum. Penelitian hukum normatif menitik beratkan pada penelitian kepustakaan atau library research. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji (1993:13-14) penelitian kepustakaan disebut juga penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.

 

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Self Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang dan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung dan menyetor pajak terutang Wajib Pajak sendiri. Self Assessment System ini diharapkan mampu memberikan meningkatkan kepatuhan yang bersifat sukarela Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban mereka kepada negara, yaitu membayar pajaknya sendiri.

Terlepas dari tujuan Self Assessment System, sistem pemungutan pajak di Indonesia ini dinilai dapat memberikan kesempatan penyalahgunaan kepada Wajib Pajak. Wajib Pajak dapat lebih mudah dalam hal melakukan Penghindaran perpajakan dengan sistem pemungutan pajak ini. Karena proses menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak.

Menurut Agus Santoso (2014:91-92) hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya benar-benar berarti sebagai hukum, tujuan hukum adalah tercapainya rasa keadilan pada masyarakat.

Kutipan buku Hyronimus Rhiti (2015:241-242), Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Etika Nichomachea menjelaskan mengenai keadilan di samping keutamaan umum, juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yaitu menentukan hubungan baik antara orang-orang, dan keseimbangan antara dua pihak. Ukuran keseimbangan ini adalah kesamaan numerik dan proporsional. Hal ini karena Aristoteles memahami keadilan dalam pengertian kesamaan. Dalam kesamaan numerik, setiap manusia disamakan dalam satu unit. Misalnya semua orang sama di hadapan hukum. Kemudian kesamaan proporsional adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, sesuai kemampuan dan prestasinya.

Bagi Wajib Pajak yang berprestrasi dalam memberikan kontribusi penerimaan negara diberikan kemudahan dalam administrasi pajak, sedangkan Wajib Pajak yang dinilai tidak taat atau dicurigai melakukan tindakan penghindaran pajak, akan dilakukan kegiatan pemeriksaan untuk menguji kepatuhannya sesuai ketentuan Surat Edaran (SE) No. 15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan.

Dalam Surat Edaran (SE) No. 15/PJ/2018 tanggal 13 Agustus 2018 dijelaskan bahwa terdapat 5 (lima) tujuan diterbitkannya kebijakan pemeriksaan, antara lain adalah untuk (i) meningkatkan tertib administrasi pemeriksaan, (ii) memberikan keseragaman langkah dalam pelaksanaan kegiatan pemeriksaan, (iii) meningkatkan kualitas pemilihan Wajib Pajak yang akan diperiksa, (iv) meningkatkan kualitas pemeriksaan pajak, dan (v) meningkatkan penerimaan pajak dari kegiatan pemeriksaan.

Dari kelima tujuan pemeriksaan ini, tujuan meningkatkan penerimaan pajak merupakan tujuan Surat Edaran yang tidak sesuai asas pemeriksaan. Karena pemeriksaan yang bertujuan meningkatkan penerimaan pajak sering kali bertentangan dengan tujuan pemeriksaan yang lain. Misal, dengan meningkatkan penerimaan pajak dalam kegiatan pemeriksaan, Pemilihan Wajib Pajak yang akan diperiksa akan lebih diperbanyak kuantitas daripada kualitas kepatuhannya. Pemilihan Wajib Pajak dengan data yang objektif merupakan salah satu kriteria penting untuk menwujudkan keadilan dalam pemeriksaan pajak. Pemeriksaan dengan tujuan meningkatkan penerimaan pajak akan menurunkan kualitas dalam kegiatan pemeriksaan pajak.

Mardiasmo (2016) menyebutkan syarat pemungut pajak antara lain yaitu:

1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)

3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial)

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.

Sedangkan dalam Sengketa Pajak, Fiskus bisa saja mengorbankan keadilan dengan memberikan penafsiran kebijakan yang tidak mempertimbangkan kegiatan bisnis yang sebenarnya. Seperti contoh dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 134/B/PK/PJK/2016, yang diawali dengan Penerbitan SKPKB oleh Fiskus. SKPKB yang diterbitkan Fiskus berpedoman pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Menurut Fiskus bahwa “pada umumnya” imbalan atas jasa yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri merupakan Laba Usaha, sehingga pengenaan pajaknya hanya dapat dilakukan di Indonesia apabila Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) tersebut melakukan jasa di Indonesia melalui suatu BUT (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia). Kemudian Kontrak kerja sama dijadikan bukti bagi Fiskus bahwa Kegiatan Wajib Pajak Luar negeri telah melewati Time Test P3B Indonesia dengan Singapura yaitu lebih dari 90 hari (08 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008).

Namun Kontrak Kerja Sama yang ditunjukkan Wajib Pajak menunjukkan bahwa jasa yang diberikan Wajib Pajak Luar Negeri (Singapura) merupakan Jasa Konsultasi yang tidak tergolong dalam definisi Royalti, dan dapat memanfaatkan P3B Indonesia – Singapura karena terbukti tidak ada Physical Presence BUT (Bentuk Usaha Tetap) sesuai Tax Treaty. Jasa konsultasi yang diberikan oleh Hampton Technology PTE LTD selaku pihak Luar Negeri, dilakukan melalui via telepon dan kunjungan, serta pihak Wajib Pajak ke kantor konsultan di Luar negeri tersebut. WPLN tersebut tidak mempunyai pegawai yang berdomisili di Indonesia sehingga WPLN tersebut tidak mempunyai BUT di Indonesia.

Karena penafsiran Fiskus diatas terdapat kekeliruan, tidak sesuai dengan norma hukum hierarki, serta kegiatan bisnis yang sebenarnya, keberatan ini akhirnya dimenangkan Wajib Pajak saat pengajuan Banding dan Peninjauan Kembali.

Namun dalam proses Permohonan Keadilan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Wajib Pajak telah menghabiskan Jusctice Cost yang besar. Dalam proses memperoleh keadilan pajak, Wajib Pajak harus melewati sejumlah pengorbanan Keadilan. Pertama, sebelum menerima surat SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), Wajib Pajak telah dilakukan Pemeriksaan Pajak yang menghabiskan waktu 1 tahun.

Kedua, Dalam waktu paling lama 3 bulan, sebelum Surat Keberatan disampaikan, Wajib Pajak harus melunasi pajak sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan (Sesuai Ketentuan Ayat 3a Pasal 25 UU No 16 Tahun 2009). Ketiga, Pengajuan Keberatan atas Sengketa pajak (antara Direktorat Jenderal Pajak) kepada Direktorat Jenderal Pajak sesuai Pasal 25 Undang-Undang No 16 Tahun 2009 menurut peneliti terdapat ketidakadilan hukum. Karena Unit Pemutusan Sengketa bukan unit yang dependent, melainkan pihak sengketa sendiri. Sehingga dalam pemutusan sengketa di keberatan hanya akan menghabiskan waktu Wajib Pajak dan menghalang Wajib Pajak dalam memperoleh hak keadilannya.

Keempat, walaupun pada Keberatan Wajib Pajak tidak menyetujui 100% SKPKB-nya sehingga Wajib pajak tidak membayar apapun, namun kebijakan Hukum mengatur berbeda. Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak mengatur bahwa Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dalam SKPKB telah dibayar sebesar 50%. Untuk dapat memperoleh keadilan, saat itu Wajib pajak telah membayar Rp 1.697.211.495,- sebagai syarat pengajuan Banding. Menurut peneliti, kebijakan ini juga bermaksud untuk menghalang Wajib Pajak memperoleh keadilan.

Kelima, walaupun Wajib Pajak dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 134/B/PK/PJK/2016 memenangkan sengketa pajak dan biaya yang telah disetor sebelumnya telah dikembalikan. Namun dalam hal memperoleh keadilan Pajak di Indonesia, Juctice cost cukup besar dan cukup dapat menghalang Wajib Pajak dalam memperjuangkan Hak mereka. Termasuk Wajib Pajak yang disebut dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 134/B/PK/PJK/2016 diatas, Justice Cost-nya antara lain mengorbankan perputaran arus kas sebesar Rp 1.697.211.495,- dan menghabiskan waktu kurang lebih 6,5 tahun.

Keenam, Dalam hal Wajib Pajak kalah sengketa, maka pokok SKPKB wajib harus dibayar ditambah denda pajak. Sedangkan Direktorat Jenderal Pajak dalam sengketa pajak ini hanya perlu membayar denda sebesar Rp 2.500.000,-. Hal ini juga menunjukkan ketidakadilan hukum pajak bagi Wajib Pajak.

Dalam Kutipan Buku Hyronimus Rhiti (2015:246-247), Menurut John Rawis, keadilan sebagai fairness menghasilkan keadilan prosedural murni. Dalam keadilan prosedural murni tidak ada standar untuk menentukan apa yang disebut “adil” terpisah dari prosedur itu sendiri. Keadilan tidak dilihat dari hasilnya, melainkan dari sistem (atau juga proses) itu sendiri. Kebijakan Pajak di Indonesia dalam sengketa pajak menurut peneliti masih belum dapat menciptakan keadilan dalam hal harus melewati unit tidak indenpenden dan pembayaran denda dimuka.

Termasuk kebijakan pembayaran cicilan angsuran PPh 25 oleh Wajib Pajak Badan yang belum mengetahui berapa pajak terutang tahun berjalannya. Jika Wajib Pajak tidak menganggur akan dikenai denda administrasi, namun dalam hal terjadi penurunan omsest usaha, pengajuan Pengurangan angsuran PPh 25 sesuai KEP-537/PJ/2000 masih harus melampirkan laporan prediksi Triwulan. Menurut peneliti, sistem Self Assesment di Indonesia juga cukup ribet dalam hal administrasi perpajakan karena jenis pajak yang banyak. Untuk itu juga, sistem pemunggutan pajak di Indonesia dapat dikatakan belum memenuhi syarat pemunggutan pajak yang dikemukakan Mardiasmo (2016).

 SIMPULAN DAN SARAN

Keadilan tidak dilihat dari hasilnya, melainkan dari sistem (atau juga proses) itu sendiri. Keadilan harus dapat memberikan kesamaan proposional, yaitu dapat memberikan apa yang menjadi haknya, sesuai kemampuan dan prestasinya. Kemampuan dan kesanggupan dalam memperjuangkan keadilan seharusnya tidak dihalangi oleh prosedural penyelesaiaan sengketa yang lama dan mahal.

Mengingat asas able to pay, kebijakan yang mengharuskan Wajib Pajak membayar terlebih dahulu 50% SKPKB merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Terlebih apabila hukuman dalam kalah sengketa pajak ada perbedaan antara Wajib Pajak dengan Fiskus.

Proses pengajuan sengketa pajak harusnya langsung tertuju pada unit independent agar dapat memberikan keadilan yang murni pada pihak sengketa serta mempersingkat penyelesaian sengketa pajak.

Singkatnya Justice Cost (Biaya memperoleh Keadilan) di Indonesia telah memberikan ketidakadilan dalam sengketa pajak. Pertama, Wajib Pajak harus memahami pengetahuan tentang upaya hukum yang menjadi hak Wajib pajak dalam hal terjadi sengketa. Kedua, syarat administrasi dalam sengketa pajak merupakan penghalang keadilan. Seperti Persyaratan sebesar 50% pajak terutang sebagai jaminan untuk dapat mengajukan banding sesuai Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak. Ketiga, Unit Pengadilan tidak Independent juga merupakan penghalang keadilan. Keempat, Waktu dan arus kas yang dikorbankan Wajib Pajak dalam memperjuangkan keadilan cukup besar. Kelima, hak memperoleh keadilan semestinya ada dalam prosedural murni, bukan hasil dari pembayaran justice cost oleh Wajib Pajak. Sekali lagi Justice cost merupakan penghalang Wajib Pajak dalam memperoleh keadilannya mutlak.

DAFTAR PUSTAKA

Albani Nasution, Muhammad Syukri. 2017. Hukum dalam Pendekatan Filsafat, Cetakan Kedua. Jakarta:Kencana.

Mardiasmo. 2016. Perpajakan, Edisi Terbaru 2016. Penerbit Andi: Yogyakarta.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-24/PJ/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang Perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.

Rhiti, Hyronimus. 2015. Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik ke Postmodernisme), Cetakan kelima. Yogyakarta:Universitas Atma Jaya.

Santoso, M. Agus. 2014. Hukum,Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Cetakan Kedua. Jakarta:Kencana.

Soekanto, Soerjono; Mamudji, Sri. 1993. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Sumitro, Rahmat. 2017. Perpajakan Pembahasan Sesuai Aturan Pelaksana Perpajakan Terbaru 2017. Penerbit K-Media: Yogyakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun