Mohon tunggu...
Nency
Nency Mohon Tunggu... Lainnya - Nency's

Hi I'm Nency

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Keadilan Kebijakan Perpajakan di Indonesia

5 Mei 2021   12:24 Diperbarui: 7 Mei 2021   17:43 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PENDAHULUAN

Sistem perpajakan yang memberikan wewenang dan kepercayaan kepada Wajib Pajak dalam hal menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri di Indonesia sudah dipraktekkan sejak tahun 1983. Penyerahan wewenang dan kepercayaan secara keseluruhan pada Wajib Pajak seperti ini dapat berkemungkinkan besar menimbulkan penyalahgunaan Hak dan Kewajiban, terutama dalam hal Tax Evasion. Sehingga Self Assessment System perlu diawasi kepatuhannya.

Untuk mengatasi adanya Tax Evasion (Penghindaran Pajak secara ilegal), maka diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015. Sesuai ketentuan Pasal 4 PMK No.184/PMK.03/2015, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Kebijakan Pemeriksaan kemudian juga dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 15/PJ/2018. Surat Edaran ini bertujuan : (i) meningkatkan tertib administrasi pemeriksaan, (ii) memberikan keseragaman langkah dalam pelaksanaan kegiatan pemeriksaan, (iii) meningkatkan kualitas pemilihan Wajib Pajak yang akan diperiksa, (iv) meningkatkan kualitas pemeriksaan pajak, dan (v) meningkatkan penerimaan pajak dari kegiatan pemeriksaan.

Dengan tujuan ke (v) dalam SE 15/PJ/2018 yaitu meningkatkan penerimaan pajak dari kegiatan pemeriksaan, maka KPP mulai meningkatkan tren pencarian penerimaan negara dengan meningkatkan temuan dalam kegiatan pemeriksaan. Tren yang seperti ini kemudian mengakibatkan penurunan kualitas pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan baik pada data yang objektif maupun tidak objektif. Penafsiran Hukum perpajakan yang keliru hanya demi peningkatan penerimaan negara juga mengakibatkan tidak sedikit Wajib Pajak harus dikorbankan.

Mengingat Pemeriksaan merupakan sebuah ketentuan hukum, maka dalam memperoleh keadilan dalam sengketa pajak, Wajib pajak juga hanya bisa mengajukannya dengan jalur hukum. Sesuai Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Dalam hal terjadi sengketa pajak, Upaya Hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak adalah Keberatan (sesuai Pasal 25 UU KUP), Banding (sesuai Pasal 27 UU KUP), Gugatan (sesuai Pasal 23 UU KUP), atau Peninjauan Kembali (sesuai Pasal 28 UU KUP), dengan syarat pengajuan tersendiri. Namun Proses Pengajuan upaya hukum diatas tidaklah mudah, upaya hukum sengketa pajak di Indonesia memerlukan proses pengadilan yang sangat panjang dan lama. Sehingga Justice Cost (Biaya dalam memperoleh Keadilan) juga tidak murah. Untuk itu, Peneliti akan mengkaji lebih lanjut tentang sengketa pajak dalam artikel yang berjudul “Keadilan Kebijakan Perpajakan di Indonesia”.

 

 

LANDASAN TEORI

1. KEADILAN MENURUT FILSUF

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun