Mohon tunggu...
Beatrix Yapply
Beatrix Yapply Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Airlangga

Seorang mahasiswa Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Meninjau Kebijakan Presensi Minimal di Perkuliahan

10 Mei 2024   08:52 Diperbarui: 31 Mei 2024   21:00 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bayangkan Anda sedang merasa tidak enak badan. Anda merasa pusing dan mual akibat sakit yang berkepanjangan. Anda diperhadapkan pada pilihan sulit untuk tetap masuk kelas atau tidak. Anda khawatir jika nanti tidak bisa memenuhi kebijakan jumlah minimal kehadiran di kelas, yaitu 75%, maka akan "dicekal" atau nilai mata kuliah itu akhirnya tidak akan muncul. Suatu pertanyaan kemudian muncul, "Sepenting itu, kah, sebuah presensi?" 

Mari meninjau yang terjadi di lapangan. Di samping sakit ringan yang tidak perlu ke dokter untuk dimintakan surat dokter, ada pertimbangan yang mahasiswa sering kali pikirkan ketika harus masuk kelas, misalnya biaya bensin, tenaga, dan waktu yang terbuang dalam perjalanan. Apalagi jika materi mata kuliah itu “kurang begitu penting”, dalam kata lain yang dimaksud adalah materi kuliah itu bisa mudah dipelajari sendiri di lain waktu. Yang saya sering dapati adalah mahasiswa merasa kurang mendapatkan manfaat dari mengikuti suatu kelas materi yang diberikan bisa didapatkan secara utuh tanpa mengikuti kelas. Apalagi jika ada hal lain yang sangat mendesak.

Kita lihat kebijakan ini tentunya berguna untuk mendorong mahasiswa supaya mendapat pemahaman yang utuh, tetapi tidak disadari bahwa kebijakan ini menimbulkan tekanan tak kasat mata di kalangan mahasiswa. Yang kena imbas semuanya. Terlihat bahwa sering di awal suatu kelas, yang dicari mahasiswa adalah presensi. Pertanyaan “Udah ada absensinya, kah?” sering terdengar. Mahasiswa lebih takut kelupaan absen daripada tidak memahami materi. Buktinya jika ada yang tidak dipahami, kadang takut bertanya, atau berkata “Ah, nanti saja lah bisa baca sendiri atau tanya yang lain.” Namun, tentunya topik ini adalah bahasan lain. Pada intinya, kebijakan ini malah menggeser esensi berkuliah yaitu mencari inti ilmu menjadi absensi.

Selanjutnya, dari efisiensi waktu. Tanpa adanya absensi, urusan administrasi akan lebih efisien. Di kampus Universitas Airlangga, sistem absensi masih hybrid, fisik secara kertas dan online melalui QR code. Nantinya, yang kertas direkap oleh bagian kemahasiswaan/akademik dan dipindahkan menjadi record digital. Bayangkan ada 250 mahasiswa satu angkatan dan ada 4 angkatan, berarti total 1000 mahasiswa. Jumlah yang cukup besar memerlukan tenaga dan waktu bisa dihemat untuk pekerjaan lain.

Berkaitan dengan efisiensi pihak administrasi, ada cerita seorang mahasiswa yang adalah teman saya yang harus meminta surat keterangan ada perkuliahan karena ada dua kelas pengganti hari libur yang dijadwalkan bertabrakan. Ini terjadi karena ada dua pengelola, satu dalam lingkup universitas, satunya fakultas. Kelas yang dikelola dalam lingkup universitas dikenal Pembelajaran Dasar Bersama (PDB). Karena keduanya bertabrakan jadwalnya, kelas PDB ini mensyaratkan untuk bisa izin harus ada surat keterangan perkuliahan dari pihak prodi (program studi) untuk bisa terhitung hadir dalam sistem absensi meskipun tidak hadir perkuliahan. Namun, yang terjadi adalah teman saya tidak bisa mendapat surat itu dari prodi dan malah dianjurkan untuk bolos karena masih memiliki jatah bolos. Ini ada kaitannya dengan kemudahan. Mahasiswa ini baru bisa meminta surat tersebut satu hari sebelum hari perkuliahan sehingga memang waktunya sangat singkat. Pihak administrasi prodi dengan mahasiswa yang berjumlah 1000, pastinya memiliki beban administrasi  kumulatif yang besar (misalnya ada yang meminta surat izin, surat rekomendasi, ataupun surat mengikuti lomba, dan masih banyak lagi yang berkaitan dengan eksternal maupun internal).

Selanjutnya, dari segi kemudahan mahasiswa masih kurang terpenuhi. Ada mahasiswa yang aktif sekali mengikuti lomba tetapi bertabrakan dengan kelas. Namun, jika kita bayangan, jika mahasiswa ini ikut lomba setiap dua minggu, maka setiap kalinya mesti meminta surat izin terus menerus. Ini bisa menimbulkan rasa malas untuk mengembangkan diri di bidang akademik atau lainnya, karena adanya pembatasan. Padahal universitas sebenarnya bisa melicinkan tapak mahasiswa agar berprestasi. Lebih lagi, perlu ada fleksibilitas yang lebih karena di era digital ini bisa kuliah didapatkan dari rekaman dan belajarnya ini di lain waktu. Jika kita pikirkan kemungkinannya, maka tidak adanya sistem presensi akan menghilangkan penghalang yang membuat mahasiswa berpikir sempit atas potensi besar yang mereka miliki.


Belum lagi, masalah budaya yang terkenal “santuy” atau “ngaret”. Ada kasus misal dalam suatu kuliah mahasiswa berjumlah hampir 300, jika beberapa mengalami masalah dengan absensi, itu bisa memakan 20 menit, jadinya kemudian mahasiswa pulang 20 menit lebih molor dari jadwal yang tertera. Tak terlewatkan juga kasus yang lain, sering dosen memanggil nama mahasiswa satu per satu untuk mengecek presensi mereka, dan mengambil waktu perkuliahan. Hal-hal seperti ini merugikan mahasiswa. Mahasiswa terpotong waktu pemberian materinya ataupun bisa jadi terlambat pada kegiatan lain sebagai dampak dari tantangan dalam pengeksekusian sistem presensi ini.

Dengan berbagai tantangan yang ada, mahasiswa ternyata tidak kehabisan akal. Mereka membuat jalannya sendiri yang kita lihat dari fenomena mahasiswa yang “tipsen” atau titip absen. Hal yang mendorong hal ini kalau dilihat-lihat karena adanya kebijakan absensi minimal.

Kebijakan ini bersifat memaksa sehingga esensinya tidak tercapai karena walaupun mahasiswa sudah hadir secara fisik, perhatiannya tidak di tempat. Pada status quo, esensi penerapannya tidak tercapai karena di kelas, yang sudah ada niatan dari awal untuk belajar pasti mendengarkan. Sebaliknya, yang tidak ada niatan belajar biasanya mengabaikan dosennya dan malah main gawai sendiri.

Mahasiswa-mahasiswa “malas” ini sebenarnya harus ditinjau satu per satu karena mereka punya alasan mereka masing-masing. Bisa karena kelasnya yang terlalu besar sehingga materi kuliah yang disampaikan secara lisan tidak terdengar, materi PPT yang ditampilkan tidak terlihat jelas, ataupun yang paling sering dijumpai mahasiswanya yang tidak memiliki minat cukup untuk materi yang diajarkan.

Singkatnya, saya rangkumkan masih ada tiga kelemahan sistem presensi yaitu kurangnya efisiensi, kurangnya pencapaian esensinya, dan terdapat tantangan dan kendala dalam eksekusinya. Sehingga kembali lagi kita mengingat bahwa fokus bersama adalah kualitas ilmu yang diserap, bukan jumlah kehadiran. Tentunya dengan usia yang tergolong dewasa, mahasiswa seharusnya perlu lagi difasilitasi dengan fleksibilitas yang lebih. Perlu direvisi kembali kebijakan presensi minimal ini lebih kreatif lagi sehingga bisa menumbuhkan minat dan semangat mahasiswa untuk belajar.

*) BEATRIX YAPPLY, Mahasiswa Universitas Airlangga

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun