Di tengah gelombang reformasi birokrasi yang terus digaungkan, penguatan sumber daya manusia aparatur menjadi prioritas utama pemerintah dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan profesional. Salah satu pendekatan kunci dalam pengembangan SDM aparatur adalah penerapan merit system dalam manajemen kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN). Sistem ini menekankan bahwa seluruh proses manajemen ASN mulai dari rekrutmen, promosi, rotasi, hingga pemberhentian harus didasarkan pada prinsip kompetensi, kualifikasi, dan kinerja, bukan kedekatan personal maupun kepentingan politik. Merit system hadir sebagai jawaban atas permasalahan lama yang menghantui birokrasi Indonesia, seperti nepotisme, inefisiensi, dan rendahnya akuntabilitas. Melalui sistem ini, diharapkan ASN tidak hanya menjalankan tugas administratif, tetapi mampu menjadi motor penggerak pelayanan publik yang berkualitas dan berdampak nyata bagi masyarakat.
Secara normatif, Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang cukup kokoh dalam mendukung implementasi merit system. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara secara tegas menyatakan bahwa pengelolaan ASN harus berbasis sistem merit, yakni sistem yang menjunjung tinggi prinsip keadilan, objektivitas, dan profesionalisme. Pasal 1 ayat (6) dari undang-undang tersebut mendefinisikan merit system sebagai kebijakan dan manajemen ASN yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar tanpa diskriminasi. Penguatan aspek ini diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil, yang menjadi dasar dalam pelaksanaan evaluasi kinerja ASN berbasis Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dan perilaku kerja. Selain itu, lembaga seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) juga dibentuk sebagai pengawas pelaksanaan sistem merit di seluruh instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Secara teoritis, pendekatan ini sejalan dengan prinsip new public management, yang menekankan efisiensi, efektivitas, dan hasil kerja sebagai ukuran utama keberhasilan birokrasi.
Meski regulasi telah tersedia dan secara teoritis memiliki landasan kuat, pelaksanaan merit system dalam manajemen kinerja ASN masih menghadapi berbagai tantangan di lapangan. Salah satu permasalahan utama adalah budaya birokrasi yang masih kental dengan praktik patronase dan formalitas administratif. Penilaian kinerja ASN, khususnya SKP, kerap hanya menjadi rutinitas tahunan yang disusun secara normatif tanpa analisis mendalam terhadap hasil kerja sesungguhnya. Dalam banyak kasus, kinerja ASN dinilai tidak secara objektif, tetapi lebih berdasarkan kedekatan personal atau penilaian subjektif dari atasan langsung. Hal ini tentu mereduksi esensi dari merit system itu sendiri. Selain itu, tidak semua instansi memiliki SDM penilai yang kompeten dalam menyusun indikator kinerja yang terukur dan relevan. Ketimpangan kapasitas antardaerah juga menciptakan ketidakseragaman dalam penerapan sistem ini. Permasalahan lain yang turut memperlemah sistem merit adalah belum optimalnya pemanfaatan teknologi informasi dalam manajemen kinerja ASN. Banyak instansi pemerintah yang masih mengandalkan sistem manual dalam penilaian kinerja, sehingga membuka ruang bagi manipulasi data dan ketidakakuratan informasi. Ketiadaan sistem digital yang terintegrasi dan transparan juga menyulitkan publik maupun lembaga pengawas untuk melakukan evaluasi dan pengawasan secara menyeluruh. Akibatnya, proses promosi jabatan dan pemberian penghargaan sering kali tidak mencerminkan prestasi kerja riil, melainkan lebih didasarkan pada hubungan personal dan senioritas. Untuk menjawab tantangan tersebut, sejumlah gagasan solusi dapat diajukan. Pertama, perlu dilakukan pelatihan dan penguatan kapasitas bagi pejabat penilai kinerja di seluruh instansi, agar memiliki pemahaman mendalam mengenai penyusunan SKP berbasis hasil (outcome), bukan sekadar output administratif. Kedua, penting untuk mengembangkan sistem informasi manajemen kinerja ASN yang terintegrasi secara nasional, dengan fitur evaluasi otomatis, penilaian berbasis indikator kuantitatif, dan akses terbuka bagi pengawasan publik. Ketiga, pengawasan dari lembaga seperti KASN perlu diperluas tidak hanya pada proses seleksi jabatan, tetapi juga pada sistem evaluasi kinerja secara keseluruhan. Di samping itu, insentif dan sanksi yang jelas harus diterapkan bagi instansi yang berhasil maupun gagal menerapkan prinsip merit secara konsisten. Lebih jauh, perlu ditumbuhkan budaya organisasi yang mendukung meritokrasi secara menyeluruh. Hal ini mencakup perubahan pola pikir ASN agar lebih berorientasi pada hasil dan inovasi, serta komitmen dari pimpinan instansi untuk tidak mencampurkan kepentingan pribadi dalam pengelolaan SDM. Budaya profesional ini dapat dibangun melalui keteladanan, keterbukaan informasi, dan penghargaan terhadap pencapaian kerja. Pada akhirnya, merit system bukan hanya alat teknokratis untuk mengelola ASN, tetapi merupakan pondasi utama dalam membangun birokrasi yang dipercaya publik, adaptif terhadap perubahan, dan mampu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Reformasi birokrasi sejati hanya dapat terwujud apabila sistem merit ditegakkan secara utuh bukan hanya di atas kertas, melainkan dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut karier dan kinerja aparatur negara. Jika hal ini dapat dijalankan secara konsisten, bukan tidak mungkin birokrasi Indonesia akan menjadi tulang punggung kemajuan bangsa di masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI