PendahuluanÂ
Hukum Tata Negara di Indonesia adalah fondasi konstitusional yang mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara, hak dan kewajiban warga negara, serta mekanisme pengendalian kekuasaan. Sejak amandemen UUD 1945 pada era Reformasi (1999--2002), Indonesia telah melewati transformasi signifikan menuju demokrasi konstitusional. Namun, berbagai dinamika politik, perkembangan sosial, serta tantangan global modern seperti pandemi, perubahan iklim, dan ancaman siber menuntut sistem hukum tata negara kita untuk terus berevolusi. Tulisan ini bertujuan memberikan opini kritis tentang peran lembaga konstitusi, kekurangan sistem ketatanegaraan saat ini, serta arah reformasi yang diperlukan agar hukum tata negara mendukung demokrasi sejati dan ketahanan nasional.
ArgumenÂ
 Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Penjaga Konstitusi dan Demokrasi
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjadi lembaga sentral dalam menjaga supremasi UUD 1945, interpretasi konstitusi, serta perlindungan hak konstitusional. Sejak didirikan pada 2003, MK telah menyelesaikan lebih dari 3.463 perkara konstitusi, termasuk 1.622 judicial review undangundang, serta berbagai sengketa pemilu dan pemilihan kepala daerah .
MK bukan hanya "negatif legislator" yang meniadakan norma tidak konstitusional, tetapi dalam beberapa kasus telah mengambil posisi seperti "positif legislator" dengan menambah nuansa baru pada norma undang-undang, misalnya keputusan atas norma Pemilu (Pemilihan umum) yang memperluas interpretasi hukum dalam putusan 90/PUUXXI/2023 .
Kasus penting: UU ITE dan Pembelaan Kebebasan Berekspresi
Perubahan UU ITE telah menjadi laga penting dalam konteks kebebasan berpendapat. Putusan MK pada April 2025 membatalkan sebagian pasal yang memungkinkan pemerintah, institusi, atau korporasi mengajukan gugatan pencemaran nama baik, serta menegaskan bahwa "kerusuhan" digital bukan tindak pidana sesuai UU ITE .
Salah satu kasus konkret adalah putusan yang membebaskan aktivis lingkungan Daniel Tangkilisan, di mana MK menegaskan bahwa kritik adalah bentuk pengawasan publik dan tidak boleh dipidana melalui pasal pencemaran dalam UU ITE 2024, selain pengaturan yang bertentangan dengan KUHP . Putusan ini menjadi momentum untuk revisi UU ITE menyeluruh agar tidak menjadi instrumen kriminalisasi ekspresi damai masyarakat.
Tantangan Implementasi Putusan MK
Putusan MK bersifat final dan mengikat, namun implementasinya sering terhambat oleh realitas politik. Misalnya keputusan MK No. 60/PUUXXII/2024 tentang revisi UU Pilkada sering diabaikan DPR saat pembahasan RUU, menyisakan paradoks antara supremasi konstitusi dan politik praktis .