Mohon tunggu...
Muhammad Naufal Hisyami
Muhammad Naufal Hisyami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan

Saya adalah taruna utama politeknik ilmu pemasyarakatan angkatan 55

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Review Artikel Penelitian Hukum Normatif

11 September 2023   10:27 Diperbarui: 11 September 2023   10:34 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hukuman mati diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hukuman tersebut menjadi bagian dari Pasal 2 ayat 1 yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan, demikian bunyi Pasal 2 ayat 2. Apa maksud keadaan tertentu pada pasal tersebut dijelaskan lebih jauh dalam bab penjelasan Undang-undang tersebut. Apa saja Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, demikian bunyi penjelasan dari Pasal 2 ayat 2 tersebut. Ancaman hukuman mati dalam Pasal 2 ayat 2 itu sampai saat ini belum pernah didakwakan ataupun menjadi landasan vonis hakim.

Sebagai upaya penanggulangan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, pembuat undang-undang memformulasikan beberapa hal penting, yang dianggap dapat dipakai sebagai alat untuk menjerat dan mendatangkan efek jera kepada pelaku, yakni asas pembuktian terbalik dan sanksi yang berat, termasuk pidana mati. Menurut Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqodas, ada 3 kriteria utama yang membuat seorang pelaku tindak pidana korupsi layak dijatuhi hukuman mati; 1. Nilai uang negara yang dikorupsi lebih dari Rp 100 miliar dan secara massif telah merugikan rakyat; 2. Pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah pejabat negara; 3. Pelaku korupsi sudah berulang-ulang kali melakukan korupsi. Salah satu penyebab tidak diterapkannya ancaman pidana mati kepada koruptor karena perumusan ancaman pidana mati diikuti dengan syarat dalam“keadaan tertentu” (Pasal 2 ayat (2). Dalam penjelasan Pasal ini dirumuskan bahwa,yang dimaksud dengan keadaan dengan“keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Dari perspektif Hak Asasi Manusia, hukuman mati dianggap sebagai pembatasan hak asasi manusia serius. Namun, ada pandangan bahwa hukuman mati dapat dilaksanakan dalam kasus kejahatan pidana tertentu, dan dalam hukum syariah, terdakwa yang dihukum mati dapat membayar diyat (uang santunan) untuk mendapatkan ampunan dari keluarga korban. Meskipun ada perdebatan tentang hukuman mati, UUD RI 1945 memberikan perlindungan kuat terhadap hak asasi manusia, sehingga pengambilan hak hidup seseorang dianggap sebagai pelanggaran hak tersebut. Debat mengenai hukuman mati tetap relevan karena adanya upaya internasional dan regional untuk membatasi penggunaan hukuman mati., Oleh karena itu hukuman mati hendaknya hanya dijatuhkan pada bentuk korupsi yang paling jahat dan berdampak luas, dan perumusannya harus jelas dan tegas sehingga tidak menimbulkan multitafsir dan keragu-raguan dalam penerapannya. Selain itu, hukuman mati harus sangat hati-hati untuk dijatuhkan. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang aparat penegak hukumnya sering terlibat korupsi seperti sekarang ini, seseorang sangat mungkin menjadi korban peradilan sesat (miscarriage of justice). Karena itu, untuk mencegah miscarriage of justice terdakwa korupsi harus diberikan hak melakukan upaya hukum yang adil. Dan jika akhirnya dipidana mati, terpidana korupsi masih memiliki kesempatan untuk mengajukan grasi atau mendapatkan pemberlakuan sifat khusus dari pidana mati tersebut, seperti yang dirumuskan dalam konsep KUHP nasional.

Kelebihan, Kekurangan, dan Saran

Dilihat dari sitematika penulisan artikel ini sudah sangat baik karena sudah lengkap dan sesuai dengan struktur sebuah artikel. Abstrak yang dibuat oleh penulis juga sudah bisa menggambarkan secara umum mengenai pokok masalah  yang akan dibahas di dalam penelitian ini. Pembahasan yang dibuat oleh penulis juga sudah cukup lengkap mulai dari melihat bagaimana perkembangan tindak pidana korupsi, kemudian eksistensinya di dalam UU Pemberantasan TP Korupsi dalam hal ini terkait dengan frasa “keaadaan tertentu” yang secara lebih lanjut dijelaskan oleh penulis mengenai frasa tersebut serta kaitanya dengan penrapan pidana mati di Indonesia. Namun dalam hal ini ada hal yang kurang dibahas oleh penulis yaitu mengenai bagaimana solusi agar pidana mati tersebut dapat ditegakkan dan tidak menjadi suatu perdebatan, dalam hal ini penulis hanya berfokus kepada alasan – alasan mengapa pidana mati secara faktual tidak pernah diterapkan untuk pelaku tindak pidana korupsi. Oleh karena itu seharusnya terkait dengan petauran pidana hukuman mati ini harus diikuti dengan diikuti Grand Design Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Kemudian perlu juga dilakukan kajian dan perumusan ulang mengenai pidana hukuman mati ini terkait seberapa efektif dalm  mengatasi tindak pidana korupsi di Indonesia.

Jurnal 2 

Reviewer                       : Muhammad Naufal Hisyami Putra Widyaningtyas

Dosen Pembimbing : Markus Marselinus Soge, S.H., M.H.


Judul                               : STUDI PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN MALAYSIA TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK

Penulis                           : Mustika Nurussaba, Geatriana Dewi

Jurnal                              : Jurnal Prodi Ilmu Hukum

Volume & Tahun        : Vol. 1 No. 1 – April 2023

Link Artikel Jurnal    : http://www.jurnal.uts.ac.id/index.php/jpih/article/view/3395/1559 

Pendahuluan / Latar Belakang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun