Mohon tunggu...
Dara Ginanti
Dara Ginanti Mohon Tunggu... Jurnalis - Sampoerna University - The University of Arizona

A Beginner in Writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen "Mega-Mega Sagrada Familia" Cerita Dimana Tragedi, Drama, dan Manisnya Cinta Dirangkum Menjadi Satu

25 November 2017   11:19 Diperbarui: 2 Maret 2018   14:20 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.headout.com

"Sekali lagi maafkan saya, nona." Dia menunduk dengan sopan kemudian berbalik badan melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga. Namun, baru beberapa anak tangga dia tapaki, badan tegapnya itu kembali berbalik mengarah kepadaku yang diam berdiri seperti patung. "Apa kau tidak mau masuk?" tanyanya. Aku terdiam lama, tak menjawab.

"Masuk?" kata itu keluar dari mulutku, sang laki - laki mengangguk dengan tegas.

"Beribadah, bukan? Ayolah, kami menerima semua orang untuk masuk. Kebetulan sekali kami sedang mempersiapkan acara paskah." laki - laki itu menarik tanganku kemudian berlari menaiki anak tangga masuk ke dalam gereja megah yang selama ini hanya berani kulihat keindahannya dari jendela. "Tapi," elakku berusaha menjelaskan, namun tangannya terus menarikku tak mengindahkan perkataan.

Masuklah aku ke dalam Sagrada Familia, gereja dengan segala keindahan di dalamnya. Kuno nya bangunan membuat mataku tak berhenti terpana menatap sekeliling dengan ramainya para katolik yang berdendang menyanyikan lagu renungan. Paduan suara anak - anak itu tengah menyanyikan lagu rohani ketika aku dan si lelaki sampai di barisan kursi terdepan. "Indah, bukan? Aku selalu menyukai paskah," katanya, "Oh iya, aku Rafa, dan kau?" tangannya mengulur ke arahku.

"Lachica." jawabku singkat tanpa membalas uluran tangannya dan mengalihkan pandangan. Bibirnya masih tersenyum kearahku dengan mata berbinar yang tetap memancar menatap wajah jutek ini. "Kau tahu, ketika tiba waktunya nanti aku ingin menikah di sini. Di Sagrada Familia. Tepat berdiri di ujung lorong dengan seorang pendeta di antara kami." tangannya menujuk ke arah ujung lorong dengan kaca warna - warni nan indah dan sebuah pilar besar. Tak lama setelah itu juga, seorang anak kecil dengan mantel merah nya mendekat kearah kami. Dia menarik tangan laki -- laki yang mengaku bernama Rafa itu.

"Kakak, ayo kesana! Ibadahnya sudah mau dimulai!" anak itu tersenyum lebar. Rafa berlutut dihadapan anak itu sampai tinggi mereka sejajar dan mulai berdialog dengan perkataan yang tak pernah ku sangka keluar dari mulut seorang laki - laki seperti dia. Sungguh menenangkan. "Tunggu sebentar ya, kakak akan kesana!" dia menjawil pipi anak itu dengan lembut, nampak begitu sayang kepada sosoknya. Laki - laki itu kemudian berdiri.

"Ayo, kau mau ikut bersama kami, Lachica?" dia menawarkan lembut, dan lagi - lagi aku hanya bisa terdiam. Diam tak tau harus menjawab apa. "Maafkan aku, tapi... Aku adalah seorang atheis." aku menundukkan wajah mengalihkannya dari mata tajam Rafa yang nampak terkejut, sejenak semua diam. "Maaf, tidak sepantasnya aku berada disini. Sampai jumpa."

Aku berlari meninggalkan gereja itu dengan segenap langkah yang tersisa. Kini hawa dingin sudah tidak berasa lagi di sekujur tubuh. Kakiku terus melangkah tak berhenti sampai kembali memasuki rumah kecil diujung kota tempat dimana aku bersandar. Aku duduk bersimpuh di dekat perapian dengan kehangatan kecilnya dan abu arang yang menyengat terus menundukkan kepala tidak mengerti apa yang dirasa. Apakah aku merasa malu? Ataukah aku merasa gundah? Ataukah sebenarnya, aku telah jatuh cinta padanya?

Pintu rumah terbuka lebar, ibu masuk ke rumah dengan membawa beberapa plastik buah - buahan di kedua tangannya, namun herannya seketika itu dia menjatuhkan semua plastik di depan perapian tak jauh dari tempat aku bersimpuh. "Licha! Malam ini kau masuk ke Sagrada, bukan? Bukankah ibu sudah memperingatkanmu untuk tidak masuk kesana!" langkahnya mulai mendekat kearahku.

"Kenapa selama ini ibu melarangku? Padahal Sagrada adalah tempat yang mengagumkan untuk dimasuki? Tidak taukah engkau betapa aku menyukai tempat itu sejak lama?" aku menimpali perkataan ibu yang wajahnya semakin memerah. Tidak bisanya dia begitu, wajah ramahnya menghilang entah kemana. Langkahnya semakin mendekat seiring dengan berdirinya aku di depan perapian. "Sudah ku bilang dari dulu, jauhilah Sagrada! Jangan pernah masuk kesana! Kenapa kamu tidak menurut?!"

"Bukankah itu hak ku untuk menyukai sesuatu, ibu? Dan jika aku sudah jatuh cinta pada Sagrada, lantas apa kau mau melarangku untuk menyukainya?" nada suara ini makin tinggi. Sebelah tangan ibu pun melayang ke pipi menimbulkan suara tamparan keras. 'Plakk!' dan semua hening. Merah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun