Mohon tunggu...
Nanda Maulana Azkari
Nanda Maulana Azkari Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Jakarta Fakultas Dakwah Komunikasi Progam Studi Pengembangan Mayarakat Islam

suka diskusi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Metafisika

2 Juli 2025   17:50 Diperbarui: 2 Juli 2025   17:50 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Lalu, apa gunanya pengetahuan seperti itu?" seru si awam, kesal.

Ilmuwan pun menjelaskan: ilmu tidak pernah mengklaim kepastian, tidak seperti dukun yang selalu yakin 100%. Ilmu hadir untuk membantu kita membuat keputusan, bukan mengambil keputusan untuk kita. Di sinilah letaknya peran manusia: berpikir, menimbang, dan memilih.

Misalnya, besok kamu mau piknik. Cuaca diprediksi cerah dengan peluang 0.8. Berangkat atau tidak?

Kalau kamu orang biasa yang santai, mungkin kamu tetap berangkat: "Ah, kemungkinan besar nggak hujan."Tapi gimana kalau kamu pedagang garam? Hujan bisa bikin garammu rusak. Maka kamu harus berpikir lebih dalam: angkut atau tidak? Tutupi dengan terpal atau tidak? Berapa biayanya? Apakah layak?. Ilmu tidak bisa menjawab semua itu secara mutlak. Tapi ilmu memberi kamu pijakan untuk berpikir logis. Di situlah pentingnya.

Kemudian, si ilmuwan memberi contoh ekstrem:

Kalau pacarmu dari planet Mars, cantik dan mempesona, tapi kulitnya meleleh kalau kena hujan, apa kamu mau ajak dia jalan-jalan dengan prediksi cuaca 0.95 cerah?

Orang awam menjawab sambil tertawa: "Tetap bawa payung!"

"Karena risikonya, Bung. Risikonya!"Ilmuwan itu puas. Si awam kini paham: ilmu bukan tentang kepastian, tapi tentang bagaimana kita menyikapi ketidakpastian dengan bijak. Mereka pun bersulang di kafe kampus, merayakan hidup yang penuh risiko tapi tetap indah untuk dijalani.

BEBERAPA ASUMSI DALAM ILMU

Waktu kecil, dunia terasa luar biasa besar---pohon Natal menjulang tinggi, dan orang-orang tampak seperti raksasa. Namun ketika kita dewasa, semuanya mengecil: dunia tak lagi penuh misteri, bahkan bisa terasa sesempit daun kelor, apalagi saat kita putus asa.

Contohnya, saat kita belajar ilmu ukur bidang datar. Kita tarik garis, hitung sudut, ukur panjang---semua tampak sederhana. Tapi, bayangkan amuba ingin membangun rumah. Bagi mereka, bidang datar bukanlah bidang datar, tapi permukaan yang bergelombang dan penuh liku. Pandangan mereka berbeda karena skala pengamatannya berbeda. Seorang anak melihat pohon besar, sementara orang dewasa menganggapnya biasa saja. Seperti itulah ilmu---apa yang kita pahami tergantung dari sudut pandang dan skala yang kita gunakan. Lalu, apakah ada kebenaran yang absolut? Ternyata tidak. Fisika yang katanya paling maju pun belum bisa menyatukan semua konsep secara utuh. Newton menyebut bahwa zat, ruang, dan waktu itu absolut. Tapi Einstein datang dan mengatakan sebaliknya: semua itu relatif. Bahkan zat adalah energi yang tersamar. Maka kita memakai teori mana pun sesuai kebutuhan. Untuk membangun rumah? Gunakan ilmu ukur Euclid. Untuk energi nuklir? Gunakan relativitas dan ilmu ukur non-Euclid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun