Untuk meletakkan ilmu dalam perspektif filsafat ini marilah kita bertanya kepada diri sendiri apakah sebenarnya yang ingin dipelajari ilmu. Apakah ilmu ingin mempelajari hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, seperti yang dicoba dijangkau dalam ilmu-ilmu sosial, ataukah cukup yang berlaku bagi sebagian besar dari mereka? Atau bahkan mungkin juga kita tidak mempelajari hal-hal yang berlaku umum umum melainkan cukup mengenai tiap individu belaka? Konsekuensi dari pilihan ini adalah jelas, sebab sekiranya kita memilih hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme. Sekiranya kita memilih hukum keja-diar yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka kita berpaling kepada paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah yang terletak di antara keduanya mengantarkan kita kepada paham yang bersifat probabilistik.
Sebelum kita menentukan pilihan marilah kita merenung sejenak dan berfilsafat. (Sudah agak lebih jelas mengenai kaitan antara ilmu dan filsafat?) Sekiranya ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realistis untuk dicapai ilmu? Mungkin kalau sasaran ini yang dibidik ilmu maka khasanah pengetahuan ilmiah hanya terdiri dari beberapa gelintir pernyataan yang bersifat universal saja seperti: Semua manusia akhirnya akan mati juga apakah orang ini Robert Redford, Dra. Tatik atau Bagio." Semua manusia berkaki dua, umpamanya, tidak memenuhi persyaratan ini, sebab ada juga yang berkaki satu malahan juga mungkin tiga atau empat. Masih ingat teka-teki waktu kita masih jadi kanak-kanak: makhluk apa, ayo, yang masih kecil berkaki empat, sudah besar berkaki dua, sudah tua menjadi tiga?>
Demikian juga, sekiranya sifat universal semacam ini yang disyaratkan ilmu, bagaimana kita akan mampu memenuhinya, disebabkan kemampuan manusia yang tidak mungkin mengalami semua kejadian? Katakan saja umpamanya bahwa kita menyimpulkan: Matahari selalu terbit dari barat dan terbenam di timur, beranikah kita menjamin siapa tahu, pada hari anu dan bulan anu di tahun ke-2000 anu, kejadiannya lalu terbalik yang mengakibatkan kesimpulan itu tak berlaku?
Atau baiklah kita persempit menjadi pernyataan yang dibatasi masa kini seperti: Pada hari ini bulan ini tahun 1982 ini, semua manusia Indonesia memakai celana dalam. Oke, kata saya, tetapi bagaimana caranya mudah saja, periksa semua celana dalam semua bangsa Indonesia, baik yang punya KTP atau tidak, dari Sabang sampai Merauke, apakah mereka memakai celana atau tidak.
Filsuf eksistensialis ini memang hebat sebagai seniman namun kurang meyakinkan sebagai filsuf, gerutu dia. (Cobalah Albert Camus sebagai "aperitif dan Jean-Paul Sartre sebagai main course). Yang kita butuhkan adalah pengetahuan yang berada di tengah-tengah, antara kemutlakan yang dipunyai agama, dan keunikan individual yang bersifat seni, sambungnya.
Nah, kompromi yang diusulkan ilmuwan inilah yang dipakai landasan ilmu, sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidaklah perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dari kehidupan ini. Walaupun demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi, sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti upaya seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi di antara kutub determinisme dan pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafisran probabilistik.
PELUANG
 Seorang awam bertanya pada seorang ilmuwan: "Jadi, ilmu itu nggak pernah bisa memberi jawaban pasti ya?"
Si ilmuwan tersenyum, "Benar. Ilmu hanya bisa memberi kita kesimpulan yang probabilistik."
Lalu si awam penasaran: "Jadi, ramalan cuaca pun nggak bisa dipastikan?"
Ilmuwan menjawab: "Ya. Misalnya, kalau saya bilang peluang hujan besok 0.8, artinya dari 10 kali kondisi serupa, 8 kali hujan benar-benar turun, 2 kali meleset."