Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Kita Tidak Perlu Mengejar Kesempurnaan?

26 Juni 2021   13:50 Diperbarui: 28 Juni 2021   01:25 1578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengejar kesempurnaan | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels

Pernahkah kamu merasa harus berkompetisi ketika kamu berada dan bekerja bersama orang-orang yang lebih ahli daripada kamu?

Atau pernahkah kamu merasa rasa percaya diri kamu begitu rendah ketika kamu gagal mendapatkan hasil terbaik?

Contoh lain misalnya, kamu merasa sudah bekerja dengan maksimal dan memberikan hasil terbaik yang kamu bisa, namun masih saja kamu dikritik rekan dan atasan. Akhirnya kamu merasa kamu kurang maksimal dan menjadi tertekan. Pernah?

Saya pernah. Begini ceritanya, sewaktu saya mengikuti perkuliahan di jenjang strata tiga, saya selalu merasa bahwa saya harus bisa mendapatkan nilai tertinggi.

Saya merasa bahwa saya mampu dan saya siap berkompetisi. Saya pun jungkir balik belajar, membaca jurnal, menyelesaikan tugas dari para profesor saya. Namun di satu titik saya merasa begitu lelah.

Lelah karena perasaan berkompetisi yang saya ciptakan sendiri. Perasaan yang seharusnya sangat tidak penting. Tujuan saya mengambil strata tiga itu bukan berkompetisi.

Tujuan saya mengambil jenjang strata tiga itu karena saya suka belajar dan sekaligus merupakan investasi diri di masa depan. Namun perasaan ingin sempurna tersebut merusak dan membuat saya lupa tujuan awal saya.

Kenapa itu bisa terjadi? Hal ini terjadi karena mungkin saya mengejar kesempurnaan, padahal saya tahu tidak ada yang sempurna.

Rasa ingin mengejar kesempurnaan itu membuat saya tertekan dan justru kehilangan rasa percaya diri. Rasa ingin mengejar kesempurnaan itu justru membuat saya berjalan di tempat.

Rasa ingin mengejar kesempurnaan tersebut membuat perasaan saya selalu gagal dalam menyelesaikan tugas dari dosen. Kemudian akan muncul perasaan "ah, sudahlah," seakan-akan memang sudah gagal, padahal itu baru satu tugas saja.

Muncul rasa menyalahkan diri sendiri dan kehilangan rasa percaya diri. Kemudian pada satu titik saya selalu berpikir, "OK, saya harus lebih keras lagi belajar," akhirnya saya lelah begitu terus siklusnya.

Untungnya rasa mengejar kesempurnaan tersebut segera saya hilangkan, saya kemudian mengambil sikap berusaha saja sebaik mungkin dan yakin bahwa proses yang benar akan mengarahkan kita kepada hasil yang maksimal.

Ternyata hal tersebut benar adanya. Dengan sikap tidak mengejar kesempurnaan, hasil studi saya ternyata menunjukkan hasil yang maksimal di sepanjang perkuliahan sampai dengan saat ini, sungguh di luar dugaan saya.

Jika kamu pernah mengalami hal-hal tersebut atau yang saya alami, selamat! Artinya kamu masih manusia sejati. Manusia yang perlu terus belajar dan paham arti kesempurnaan yang sesungguhnya.

Mari kita urai satu per satu benang merah hal ini dengan logis agar kita bisa bergerak maju.

Apa Itu Sikap Mengejar Kesempurnaan?

Beberapa riset mengenai sikap aim for perfection ini telah banyak dilakukan (sumber 1, sumber 2), di mana riset-riset tersebut masih berdebat mengenai dampak dari sikap mengejar kesempurnaan ini.

Sudut pandang yang satu mengatakan bahwa sikap mengejar kesempurnaan justru mampu membuat kita mengendalikan reaksi negatif dari pikiran yang akhirnya akan membuat kita memiliki rasa percaya diri tinggi.

Sudut pandang lain mengatakan sebaliknya, sikap mengejar kesempurnaan akan berakibat rasa percaya diri yang lebih rendah, kecemasan, yang akhirnya akan melemahkan kinerja. Persis yang saya alami.

Dua hal yang sangat bertolak belakang, bukan? Bagi saya pribadi, dua sudut pandang ini menjadi satu definisi yang jelas mengenai sikap mengejar kesempurnaan. Yaitu suatu sikap mental takut gagal dan memandang diri sebagai individu yang sempurna.

Kenapa hal ini penting? Yang menjadi permasalahan, seberapa pun kita berusaha meraih kesempurnaan tersebut, selalu saja ada orang-orang yang pasti akan bersikap negatif dan tidak “menyetujui” apa pun yang kita lakukan.

Bagi saya, berdasarkan pengalaman saya, kuncinya adalah bagaimana fokus kepada diri sendiri untuk melakukan yang terbaik.

Hal ini bukan berarti kita tidak melakukan kritik kepada diri sendiri. Yang ingin saya katakan adalah kita harus sedikit melapangkan dada dan jernih melihat batasan diri kita sendiri.

Kita harus rajin-rajin mengingatkan diri sendiri bahwa kita itu tidak berkompetisi dengan siapapun. Kita itu berkompetisi dengan diri sendiri. Ini yang harus selalu kita tekankan.

Jenuh mengejar kesempurnaan | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Jenuh mengejar kesempurnaan | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Bagaimana Cara Menghadapi Sikap Mengejar Kesempurnaan Ini?

Apa pun pilihan sikap kita, mau mengejar kesempurnaan atau tidak, yang terpenting adalah kita tahu semua pilihan ada konsekuensinya. Ini yang harus dipahami terlebih dahulu.

Saya sebagai "mantan" orang yang selalu mengejar kesempurnaan, melihat bahwa di tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan di tahun-tahun terakhir ini, pilihan untuk tidak mengejar kesempurnaan bisa menjadi salah satu pilihan logis agar kita tetap waras.

Tahun-tahun terakhir ini telah membuktikan banyak sekali rencana-rencana yang sudah kita susun paling baik pun tetap bisa menjadi sebuah rencana yang tidak sempurna.

Bagi saya, mengejar kesempurnaan itu seperti layaknya kita berlari di atas treadmill. Kita merasa kita sudah berlari sempurna dengan pace yang maksimal, tapi ternyata kita berlari di tempat yang sama.

Berbeda logikanya dengan kita berlari atau jogging di alam terbuka, kita akan menemui jalan yang datar, terjal, naik, turun, ke kanan, ke kiri dan selanjutnya.

Kita akan merasakan sensasi yang berbeda. Sama halnya dengan kita tidak usah berpikir kesempurnaan, kita pasti dalam perjalanan hidup akan menemui jalan datar, terjal, kadang belok atau kadang memutar balik karena jalannya buntu.

Itu semua akan melatih proses koheren otak kita dalam menghadapi masalah. Otak kita akan terbiasa berpikir dan berlogika. Kemudian dari proses tersebut akan membawa kita ke arah yang lebih tepat.

Ketika kita sudah berusaha maksimal dan hasilnya tidak tepat, hal ini merupakan hal yang manusiawi. Namun yang paling penting kita tahu di mana ketidaktepatan tersebut dan memperbaikinya.

Ini lebih baik daripada kita hanya pusing memikirkan jalan yang sempurna. Ini sejalan dengan satu riset mengenai permasalahan yang muncul ketika kita mengejar kesempurnaan. 

Ketika fokus kita hanya kepada kesempurnaan itu sendiri, maka kita akan lupa terhadap alasan kenapa kita melakukan hal tersebut.

Sekali lagi, sudut pandang saya mengenai hal ini tentunya masih ada unsur subjektifitas berdasarkan hal-hal yang pernah saya alami ketika saya mengejar kesempurnaan.

Lantas bagaimana caranya supaya kita tetap bisa sempurna tapi juga tidak tertekan? Jujur, bagi saya dua hal tersebut tidak bisa bergandengan. Kita harus memilih. 

Pilihan saya adalah tetap berusaha sebaik mungkin tapi saya tidak mau terbebani oleh hasil yang sempurna. Ada beberapa cara yang pernah saya lakukan sebagai berikut:

1. Saya selalu mulai mengerjakan dari hal yang paling mudah dulu
Sikap ini membantu saya menyelesaikan keseluruhan tugas atau hal tersebut. Dengan kita memulai dari hal yang paling mudah, maka kita tidak akan terburu-buru dan mengejar kesempurnaan.

Dalam cerita saya di atas, ketika saya memulai dari hal paling mudah maka saya tidak lagi merasa harus sempurna. Hal ini karena saya tahu perjalanan masih panjang.

Saya selalu mengerjakan tugas dari dosen-dosen mulai dari tugas yang saya rasa paling mudah bagi saya. Hal ini membuat saya lebih rileks dan tidak tertekan.

2. Mau belajar dari kesalahan
Seperti yang sudah saya katakan di atas, sikap ini membuat rasa ingin mengejar kesempurnaan itu bagi saya menjadi hilang. Kenapa? Karena saya tahu saya pasti di satu titik berbuat salah. 

Yang terpenting adalah saya menyadarinya dan segera memperbaikinya. Dalam cerita saya di atas, saya segera menyadari kesalahan saya yaitu ketika saya sudah mengirimkan tugas ke dosen, maka di situlah letak di mana saya harus siap menerima apapun hasilnya.

3. Selalu ingat tujuan awal kita melakukan hal tersebut
Dalam cerita saya di atas, rasa ingin mendapatkan nilai sempurna tersebut malah membuat saya lupa dengan tujuan saya di awal.

Sebuah tujuan awal yang harusnya men-drive kita untuk selalu dalam jalur yang tepat. Rasa ingin mencapai kesempurnaan itu bagi saya menjadi sebuah distraksi. 

Tentunya bisa berbeda bagi sebagian orang, rasa ingin meraih kesempurnaan mungkin menjadi drive utama dari semua yang mereka lakukan.

Yang ingin saya katakan adalah, dengan kita selalu ingat tujuan kita, maka apapun jalur yang kita tempuh, mau mengejar kesempurnaan atau pun tidak, tujuan awal tersebut yang akan menjadi drive utama kita.

Tanpa itu maka kita akan tersesat dalam banyak distraksi kehidupan.

Lepas dari rasa ingin sempurna | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Lepas dari rasa ingin sempurna | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Kesimpulan

Jika kamu mengejar sebuah kesempurnaan, maka kamu harus siap dengan segala konsekuensi yang akan kamu hadapi. 

Sebaliknya jika kamu tidak mengejar sebuah kesempurnaan maka kamu juga harus siap dengan konsekuensinya.

Kita hanya bisa bergerak maju jika kita meyakini apa yang kita lakukan. Lebih baik fokus kepada perbaikan-perbaikan yang konsisten daripada lelah mengejar kesempurnaan yang tidak ada batasnya.

Jika kamu sudah melakukan yang terbaik maka ini saatnya kamu yakin bahwa kamu sudah berada di jalan yang terbaik.

Salam Hangat

Referensi:

  1. Stoeber, J., & Otto, K. (2006). Positive conceptions of perfectionism: Approaches, evidence, challenges. Personality and social psychology review.
  2. Hewitt, P. L., & Flett, G. L. (1996). The multidimensional perfectionism scale. Toronto: Multi-Health Systems Inc.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun