Hal ini bukan berarti kita tidak melakukan kritik kepada diri sendiri. Yang ingin saya katakan adalah kita harus sedikit melapangkan dada dan jernih melihat batasan diri kita sendiri.
Kita harus rajin-rajin mengingatkan diri sendiri bahwa kita itu tidak berkompetisi dengan siapapun. Kita itu berkompetisi dengan diri sendiri. Ini yang harus selalu kita tekankan.
Apa pun pilihan sikap kita, mau mengejar kesempurnaan atau tidak, yang terpenting adalah kita tahu semua pilihan ada konsekuensinya. Ini yang harus dipahami terlebih dahulu.
Saya sebagai "mantan" orang yang selalu mengejar kesempurnaan, melihat bahwa di tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan di tahun-tahun terakhir ini, pilihan untuk tidak mengejar kesempurnaan bisa menjadi salah satu pilihan logis agar kita tetap waras.
Tahun-tahun terakhir ini telah membuktikan banyak sekali rencana-rencana yang sudah kita susun paling baik pun tetap bisa menjadi sebuah rencana yang tidak sempurna.
Bagi saya, mengejar kesempurnaan itu seperti layaknya kita berlari di atas treadmill. Kita merasa kita sudah berlari sempurna dengan pace yang maksimal, tapi ternyata kita berlari di tempat yang sama.
Berbeda logikanya dengan kita berlari atau jogging di alam terbuka, kita akan menemui jalan yang datar, terjal, naik, turun, ke kanan, ke kiri dan selanjutnya.
Kita akan merasakan sensasi yang berbeda. Sama halnya dengan kita tidak usah berpikir kesempurnaan, kita pasti dalam perjalanan hidup akan menemui jalan datar, terjal, kadang belok atau kadang memutar balik karena jalannya buntu.
Itu semua akan melatih proses koheren otak kita dalam menghadapi masalah. Otak kita akan terbiasa berpikir dan berlogika. Kemudian dari proses tersebut akan membawa kita ke arah yang lebih tepat.
Ketika kita sudah berusaha maksimal dan hasilnya tidak tepat, hal ini merupakan hal yang manusiawi. Namun yang paling penting kita tahu di mana ketidaktepatan tersebut dan memperbaikinya.