Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Adu Pasang Baliho dan Pencitraan, Kok Gak Adu Komunikasi dari Hati ke Hati dengan Rakyat?

13 Agustus 2021   14:23 Diperbarui: 13 Agustus 2021   22:01 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Baliho Puan Maharani di Jalan Kemanggisan | Dokumentasi Pribadi

Pemasangan baliho oleh para politisi sedang mengalami polemik karena dianggap kurang sesuai dengan keadaaan masyarakat yang kini sedang membutuhkan bantuan sosial.

Walau beberapa partai politik seperti PDI-P dan Golkar membantah pemasangan baliho tersebut untuk meningkatkan elektabilitas dengan segudang alasan yang dianggap logis, namun pesan yang diterima masyarakat, selaku orang-orang yang melihat, baik pakar politik maupun awam, adalah sebuah iklan kampanye.

Mengapa demikian?

Karena sejak dulu para politisi yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden ataupun jabatan pemerintahan lainnya, selalu memakai iklan baliho seperti ini. Jadi, sebenarnya tidak salah kalau masyarakat akhirnya memiliki persepsi yang berbeda dengan tujuan para politisi.

Jadi alangkah baiknya para politisi dan partainya berkonsultasi terlebih dahulu pada tim komunikasi yang memang ahli dibidangnya, termasuk para sosiolog agar tujuan pesan yang ingin disampaikan bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. 

Seperti pernyataan politisi PDI-P, Kapitra Ampera, yang dilansir dari Suara.com bahwa pemasangan baliho Puan Maharani dimaksudkan untuk membantu masyarakat agar melancarkan perekonomian dimasa PPKM. 

Dan beliau juga menilai orang yang menganggap negatif tentang pemasangan baliho, berarti orang tersebut dangkal dalam berpolitik, apalagi rasanya sah saja karena manusia memiliki hak politik, walaupun sedang masa pandemi.

Nah, pernyataan beliau ini tersebut, menurut saya, agak membingungkan. 

Pertama, baliho merupakan salah satu bentuk reklame yang dimaksudkan untuk beriklan. Dalam beriklan tentu ada pesan dan target marketnya. Kalau pemasangan baliho hanya sekedar yang penting terpajang saja tanpa ada pesan yang disampaikan dan target marketnya, lantas apa tujuan pemasangan baliho, kalau bukan hanya buang-buang uang saja?

Masih tentang pemasangan baliho, ketika ada pesan yang disampaikan, tentu orang yang ingin menyampaikan pesan harus tahu dulu kondisi psikologi dan sosial target marketnya bagaimana. Kalau sampai target marketnya malah salah paham, maka ada yang salah dalam penyampaian pesan yang dilakukan oleh si orang yang punya pesan.

Jadi salahkah orang yang tidak menangkap pesan yang disampaikan dari pemasangan baliho? Dan dangkalkah pemikiran orang yang keberatan dengan pemasangan baliho?

Saya rasa tidak bisa dianggap seperti itu, karena tidak satu-dua orang saja yang salah menangkap tujuan pesan yang ingin disampaikan dari pemasangan baliho. Artinya kan ada miskomunikasi.

Kedua, tentang hak berpolitik. Oke, silahkan saja semua orang memang memiliki hak politik. 

Tapi tentu harus disesuaikan juga dengan keadaan sosial dan psikologinya masyarakat dong? Bisa kan masyarakat menilai kok politisi mendahulukan hak daripada kewajiban? 

Bukankah dalam berbangsa dan bernegara, rakyat harus didahulukan kepentingannya? Apalagi negara kita menganut sistem Demokrasi Pancasila, dimana salah satu prinsipnya harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Rasanya aneh kalau seorang Ketua DPR, yang merupakan ketua dari para wakil rakyat, malah mendahulukan kepentingan hak politiknya, ketimbang kewajibannya pada masyarakat.

Hal ini juga untuk politisi partai lainnya yang turut memasang baliho, seperti Airlangga Hartarto, selaku Ketua Umum Golkar, AHY selaku ketua umum Partai Demokrat, dan Muhaimin, selaku ketua umum PKB. 

Menurut saya, pemasangan baliho adalah cara beriklan dengan penyampaian pesan yang kurang sesuai. 

Nah, bagaimana dengan berkampanye melalui sosial media?

Cara ini sudah sering dipakai oleh para politisi, terutama saat berkampanye ditahun 2014 dan 2020. Wah, ramai sekali! Dan seru juga sih ngikutinnya.

Tapi permasalahannya, kampanye di sosial media saat ini sering dianggap negatif sebagai pencitraan. Apalagi kalau pengambilan video atau fotonya terlalu jelas sudah disetting, misalkan memarahi pegawai yang malas-malasan, atau bisa jadi blusukan membagikan obat. 

Pesan yang tersampaikan jadinya malah saya sedang menonton drama orang yang sedang berbaik hati. Apakah hati saya, sebagai penonton, bersimpati? Hmm.. tidak juga, karena durasinya terlalu sebentar, dan sudah terlalu sering hal tersebut dilakukan. Jadi malah hal yang ditangkap, "sudah biasa lah." 

Pencitraan tersebut kan akhirnya menjadi kurang efektif. Sayang sekali. Padahal konsep dan pengambilan gambarnya sudah bagus, menurut saya.

Dengan begitu, rasanya pemasangan baliho dan pencitraan di sosial media sudah lagi tidak efektif dan efisien untuk masyarakat, terutama pada masa sekarang ini, yang dimana, rakyat lebih fokus untuk mempertahankan hidup dari pandemi, sekaligus perekonomian yang morat-marit.

Pesan yang tersampaikan pun pada masyarakat, sebagai target komunikasi, menjadi kabur, bahkan dianggap kurang berempati, karena tidak sesuai dengan situasi yang sedang ada di masyarakat.

Akan lebih baik, para politisi, kalau memang sedang ingin menghamburkan uang, dibandingkan pasang baliho ataupun pencitraan, lebih baik menghamburkan uang untuk konsultasi dengan tim komunikasi yang memang ahli dalam bidang politik, serta para sosiolog agar lebih paham bagaimana cara menyampaikan pesan kepada masyarakat, dan apa sih yang masyarakat butuhkan saat ini. 

Kemudian, kalau bisa bersentuhan lah langsung dari hati ke hati dengan rakyat, terutama orang yang sangat terkena dampak dari pandemi ini. 

Dengarkanlah apa yang diinginkan para rakyat, boleh juga membawa tim komunikasi untuk mencatat dan nantinya menyimpulkan keluhan rakyat, sehingga tahu apa yang diinginkan rakyat, selain simpati dan empati. 

Sekaligus tim komunikasinya bisa diminta untuk memberikan catatan dan edukasi pada anggota partainya, agar citra yang ingin dibangun sang politisi didukung dengan pesan-pesan yang disampaikan oleh para anggotanya kalau ditanya media massa.

Dan bisa juga, membawa tim personal branding untuk memberitahu bahasa tubuh dan mimik bagaimana yang mesti dipakai saat berhadapan langsung dengan rakyat. Sehingga rasa empati dan simpati sangat terasa oleh rakyat, dan tidak dianggap sebagai kepura-puraan. 

Dengan begitu pesan dan kesan yang disampaikan pun bisa sesuai dengan tujuan, dan penghamburan uang untuk beriklan pun tidak menjadi sia-sia belaka. Peraduan antar partai pun dalam menaikkan elektabilitas sang politisi yang ingin diusung tidak menjadi polemik.

Salam

Referensi 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun