Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Berkhalwat dengan Hati

10 Maret 2024   23:53 Diperbarui: 11 Maret 2024   00:11 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Seperti dituturkan oleh Wenny Hikmah Syaputri, Manajer Operasional Rumah Konseling, Jakarta

        Persentuhan pemikiran antara lembaga Rumah Konseling dan Sekolah An-Nisaa - Izada bermula di 2017. Kisah bermula ketika di tahun sebelumnya, saya yang saat itu adalah staf di sebuah kembaga psikologi berkesempatan membantu salah satu program yang diadakan oleh Sekolah An-Nisaa' - Izada. Beberapa waktu kemudian, setelah program tersebut terlaksana, saya diminta kembali untuk mengisi pelatihan dan asesmen namun kali ini tidak bersama dengan lembaga tempat saya bekerja sebagai staf sebelumnya melainkan dengan lembaga baru, yakni Rumah Konseling.

             Rumah Konseling membawa visi atau gagasan besar membantu individu dan masyarakat untuk sehat secara mental, mencapai individu yang bahagia, melalui berbagai layanan yang disediakan. Meski secara umum para psikolog maupun praktisi yang berkecimpung di dalamnya berlatar belakang psikologi umum, dan banyak juga yang berlatar pendidikan pesantren, Rumah Konseling senantiasa menjadikan setiap pemikiran dan tindakannya menyelaras pada nilai-nilai keislaman. Dan uniknya adalah, nilai-nilai keislaman yang menjadi panduan ini justru menjadi pembuka dan bukan sebaliknya penutup bagi bentuk dan target layanan yang lebih luas, yakni klien dengan latar belakang keislaman maupun klien dengan latar belakang nonkeislaman.

         Meskipun begitu, penting untuk disampaikan bahwa di dalam praktiknya Rumah Konseling senantiasa bertindak sesuai etika profesionalisme, yang ajeg juga dinamis, tanpa harus memaksakan diri alih-alih memosisikan diri sebagai lembaga psikologi islami.  

Iman dan Religiositas

             Mengingat disiplin ilmu psikologi ini identik dengan kebiasaan dan perilaku manusia, maka penting pula untuk dipahami bahwa pada akhirnya psikologi juga akan berkaitan dengan dua dimensi pembentuk eksistensi manusia, yakni dimensi fisik dan dimensi psikis atau mental manusia. Dan seperti halnya fisik yang sehat disebabkan oleh perilaku menjaga kesehatan itu sendiri, mental yang sehat pun juga berkenaan dengan upaya manusia menjaga kesehatan mental itu sendiri. 

             A good mental health is not a given. We have to work at it. Dan titik pijak pertama bagi upaya untuk memiliki mental yang sehat adalah pikiran. Penampilan luar jasad kita secara fisik, dalam banyak hal dipengaruhi oleh apa yang terjadi di dalam pikiran kita. Pikiran positif akan memancarkan energi yang positif, pun demikian dengan pikiran yang negatif juga akan menularkan energi dan tindakan yang negatif.  

              Maka, Rumah Konseling pun dalam hal ini membiasakan untuk dapat mengenal, memahami, dan meneladankan setiap aliran energi positif yang ada di alam semesta. Seperti halnya bunga di taman yang hadir dalam bentuk, ukuran, dan warna yang berbeda, kita sebagai muslim pun seyogianya mengimani dan meneladani setiap nilai-nilai kebenaran dan keluhuran yang ada dalam kehidupan kita. Selama nilai-nilai tersebut selaras dengan landasan iman yang kita yakini, maka tidak sebaiknyalah kita kemudian hanya --- ibarat katak di dalam tempurung --- mau merujuk pada satu sudut pandang keislaman dan mengabaikan alih-alih apriori pada sumber pemikiran yang berbeda; suku, agama, komunitas, juga religiositas.   

             Bukankah Rasulullah saw. pernah berwasiat, "Undzur ma qaala wa laa tandzur man qaala?" Lihatlah pada apa yang disampaikan dan jangan melihat pada siapa yang menyampaikan. Maka dari siapa pun sumber kebenaran itu berasal; tradisional ataupun moderat, Islam ataupun barat, muslim ataupun nonmuslim, selama memperkukuh fondasi inti keimanan kita, maka seyogianyalah pula untuk diteladankan.        

             Intensitas pergumulan pemikiran seperti inilah yang secara perlahan dan kontinu akan membentuk manusia pada cara berpikir yang lebih luas, senantiasa mengaitkan setiap objek dan peristiwa pada dimensi keimanan dan religiositas, yang pada akhirnya mengantarkan manusia pada tataran mental yang lebih dari sekadar sehat (mental health) melainkan juga bijak (wise mind).  

             Dalam contoh yang sederhana, Cassandra Viete, seorang penulis dan juga peneliti di Institute of Noetic Sciences and California Pacific Medical Center Research Institute, CA, pernah berbagi kisah di forum global Ted Talks. Dituturkan oleh Cassandra bahwa setiap pagi hari ia selalu bangun dalam kesadaran penuh mengingat kembali hal-hal yang telah ia alami di hari sebelumnya, lalu mengaitkannya dari sudut pandang yang lebih luas tentang hubungan antarmanusia, yang kemudian menjadi panduan bagi cara Cassandra menjalani hari-hari berikutnya.            

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun