Masih tentang pemasangan baliho, ketika ada pesan yang disampaikan, tentu orang yang ingin menyampaikan pesan harus tahu dulu kondisi psikologi dan sosial target marketnya bagaimana. Kalau sampai target marketnya malah salah paham, maka ada yang salah dalam penyampaian pesan yang dilakukan oleh si orang yang punya pesan.
Jadi salahkah orang yang tidak menangkap pesan yang disampaikan dari pemasangan baliho? Dan dangkalkah pemikiran orang yang keberatan dengan pemasangan baliho?
Saya rasa tidak bisa dianggap seperti itu, karena tidak satu-dua orang saja yang salah menangkap tujuan pesan yang ingin disampaikan dari pemasangan baliho. Artinya kan ada miskomunikasi.
Kedua, tentang hak berpolitik. Oke, silahkan saja semua orang memang memiliki hak politik.Â
Tapi tentu harus disesuaikan juga dengan keadaan sosial dan psikologinya masyarakat dong? Bisa kan masyarakat menilai kok politisi mendahulukan hak daripada kewajiban?Â
Bukankah dalam berbangsa dan bernegara, rakyat harus didahulukan kepentingannya? Apalagi negara kita menganut sistem Demokrasi Pancasila, dimana salah satu prinsipnya harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Rasanya aneh kalau seorang Ketua DPR, yang merupakan ketua dari para wakil rakyat, malah mendahulukan kepentingan hak politiknya, ketimbang kewajibannya pada masyarakat.
Hal ini juga untuk politisi partai lainnya yang turut memasang baliho, seperti Airlangga Hartarto, selaku Ketua Umum Golkar, AHY selaku ketua umum Partai Demokrat, dan Muhaimin, selaku ketua umum PKB.Â
Menurut saya, pemasangan baliho adalah cara beriklan dengan penyampaian pesan yang kurang sesuai.Â
Nah, bagaimana dengan berkampanye melalui sosial media?
Cara ini sudah sering dipakai oleh para politisi, terutama saat berkampanye ditahun 2014 dan 2020. Wah, ramai sekali! Dan seru juga sih ngikutinnya.