Ada satu tempat di selatan Yogyakarta yang barangkali tidak sepopuler Parangtritis atau Indrayanti, namun menyimpan keindahan yang lebih tenang, lebih dalam, dan terasa lebih pribadi. Namanya Pantai Cemoro Sewu. Letaknya di kawasan Bantul, tidak jauh dari deretan pantai selatan lainnya. Tapi yang membedakan Cemoro Sewu adalah suasananya. Begitu sampai, kita langsung disambut barisan pohon cemara udang yang berdiri rapi di sepanjang tepi pantai. Rindang, sejuk, dan menghadirkan keteduhan yang jarang ditemukan di pantai-pantai tropis lainnya.
Saya datang ke tempat ini menjelang sore. Tujuannya sederhana melepas penat setelah satu minggu penuh dengan tugas kuliah dan rutinitas yang padat. Dari parkiran, hanya butuh beberapa puluh langkah untuk sampai ke pasir pantainya. Tidak seperti beberapa pantai lain yang mengharuskan kita berjalan jauh dulu sebelum bisa menyentuh ombak. Dan dari langkah pertama itu, saya tahu, saya sedang berada di tempat yang berbeda.
Langit mulai menguning. Sinar matahari menyelinap di antara cabang-cabang cemara, menciptakan bayangan panjang yang bergerak pelan di atas pasir. Suaranya pun khas gemuruh ombak yang berpadu dengan gemerisik dedaunan. Ada ketenangan yang datang secara alami. Tidak dibentuk, tidak dipaksa. Saya duduk di bawah pohon, membuka catatan di ponsel, dan membiarkan angin laut menghapus pikiran yang terlalu bising.
Di tengah kesederhanaan itu, saya sadar bahwa mungkin kita tidak perlu pergi terlalu jauh untuk merasa damai. Mungkin, yang kita butuhkan selama ini bukan tempat yang ramai dikunjungi orang, tapi ruang kecil yang bisa mendengarkan kita tanpa banyak bertanya. Dan di pantai ini, saya merasa didengar.
Fasilitas di pantai ini cukup lengkap. Ada toilet yang bersih, musala kecil untuk beribadah, serta deretan warung yang menjual aneka makanan dan minuman ringan seperti kelapa muda dan camilan. Saya sempat membeli kelapa muda dingin, lalu duduk kembali di bawah cemara, menatap laut yang terus bergerak tanpa jeda. Di kejauhan, ada beberapa pengunjung lain yang sedang bermain pasir, dan beberapa yang sibuk dengan kamera. Tak sedikit pasangan yang mengambil foto prewedding di antara pohon cemara, karena memang secara visual, tempat ini sangat mendukung.
Menjelang senja, suasana mulai berubah. Langit perlahan berwarna jingga, lalu oranye tua, sebelum akhirnya mengarah ke ungu keemasan. Refleksinya terlihat di permukaan air, menciptakan efek seperti lukisan. Semua orang yang datang sore itu tampak diam dalam caranya masing-masing, seolah sedang menyimpan perasaan yang tak ingin diucapkan. Saya pun merasakannya---sebuah campuran antara damai dan haru yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Entah mengapa, momen seperti itu terasa sangat jujur. Tidak ramai, tidak dibuat-buat, tidak tergesa. Hanya diam dan menyatu dengan apa adanya. Rasanya seperti sedang memeluk waktu, tanpa harus mengejarnya.
Yang saya suka dari Pantai Cemoro Sewu adalah kesederhanaannya. Tidak terlalu ramai, tidak terlalu ramai difoto, dan tidak dibuat-buat. Tempat ini memberikan ruang yang jujur untuk kita merasa. Tidak harus terlihat keren atau estetik. Cukup hadir, cukup menikmati. Bahkan jejak kaki di pasir pun bisa jadi kenangan yang dalam kalau kita benar-benar membiarkannya berarti.
Dan mungkin, ini alasan kenapa saya ingin kembali ke sini. Karena tidak semua tempat bisa membuat kita merasa cukup hanya dengan duduk diam. Tidak semua tempat bisa membantu kita berdamai dengan hari-hari yang lelah.