Mohon tunggu...
nadiva prahayudya
nadiva prahayudya Mohon Tunggu... Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Globalisasi dan Ketimpangan Lingkungan: Siapa yang Menikmati, Siapa yang Menanggung?

3 Juni 2025   20:51 Diperbarui: 3 Juni 2025   20:50 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  • Adi Candra prayoga
  • Dela Wahyu Ningsih 
  • Aryafarda Kendana D.
  • Nadiva prahayudya 
  • Puspita Indahu Wardah 
  • Milza Rifka Nur Jannah

 
BAGIAN 15: New challenges for twenty-first-century environmental movements: agricultural biotechnology and nanotechnology by Maria Kousis
(Tantangan baru untuk abad kedua puluh satu gerakan lingkungan: pertanian
bioteknologi dan nanoteknologi oleh Maria Kousis)

Gerakan sosial baru menjadi bagian dari dinamika ini, dengan karakter yang
berbeda dari gerakan abad ke-20 lebih terinternasionalisasi, melibatkan LSM, dan memanfaatkan teknologi dalam organisasi serta tuntutan mereka (Tilly, 2004). Tilly mengidentifikasi empat skenario masa depan gerakan sosial: (1) pergeseran bertahap ke arah konfederasi global, (2) kemunduran demokrasi di negara maju tetapi potensi demokratisasi di negara otoriter seperti China, (3) dominasi gerakan oleh aktor profesional seperti LSM dengan mengurangi keterlibatan lokal, dan (4) ketidakmungkinan kemenangan absolut gerakan sosial sesuai cita-cita awalnya.

Tilly (1994) mendefinisikan gerakan sosial sebagai tantangan berkelanjutan
terhadap pemegang kekuasaan, yang dapat berbentuk gerakan profesional, berbasis komunitas, atau gerakan radikal. Klasifikasi ini sejalan dengan tipologi gerakan lingkungan dalam sosiologi lingkungan (Humphrey & Buttel, 1982; Dunlap & Mertig, 1991), yang membedakan tiga bentuk utama: organisasi formal (seperti LSM lingkungan), kelompok akar rumput, dan gerakan ekologi radikal. Gerakan lingkungan tidak hanya menuntut perubahan kebijakan tetapi juga memperjuangkan transformasi ekologis
melalui strategi yang beragam, mulai dari lobi hingga aksi langsung.

Perkembangan teknologi, terutama internet, telah memperluas jangkauan gerakan sosial lingkungan, memfasilitasi mobilisasi transnasional dan advokasi global (Tilly, 2004; Smith & Fetner, 2007). LSM lingkungan berperan dalam lobi, pendidikan, dan tata kelola global, membentuk identitas kolektif yang melampaui batas nasional (Princen & Finger, 1994). Selain itu, partisipasi publik dalam isu-isu seperti transgenik menunjukkan pergeseran dari pendekatan teknokratis menuju inklusi wacana etika dan emosional, memperluas ruang demokratis dalam pengambilan keputusan lingkungan (PAGANINI,
2007; Gottweis et al., 2008). 

Pada Bagian Peluang dan Batasan (Opportunities and Constraints) terdapat paragraf yang menyinggung gerakan lingkungan:

"The development of the environmental movement is strongly influenced by a country's political, economic and cultural context. For example, the different electoral systems between the US (winner-takes-all) and West Germany (proportional representation) shape
different patterns of the environmental movement (McAdam et al.,1996). European integration and globalization also opened up new opportunities, such as the use of EU institutions (European Court of Justice, European Parliament) for environmental advocacy, shifting power away from national states (Marks & McAdam, 1996; Kousis & Eder, 2001).

Since the 1980s, transnational environmentalism developed, facing
challenges from neoliberal policies and sustainable development (Finger, 1992; Jamison, 2001). In the 1990s, the commercialization of science and technology in the US and EU created new challenges for environmental activists (Kousis, 2004). Meanwhile, Eastern European countries, the former Soviet Union and China experienced unique
environmental movement dynamics (Yanitsky, 1999; Ho et al., 2006). Environmental movements also interact with discourses of sustainable development and ecological modernization, often polarized between
economic versus transformative approaches (Kousis, 2004). The institutionalization of the environmental movement is increasingly professionalized, while issues of biotechnology and nanotechnology
are still less explored. Environmental organizations not only adopt ecological modernization, but also compete in the economics of sustainability, even forming market-based consulting agencies (van
der Heijden, 1999; Brand, 1999)." 

Perkembangan gerakan lingkungan menunjukkan dinamika yang kompleks,
dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi, dan budaya. Di tingkat nasional, sistem politik seperti pemilihan umum dan kebijakan negara membentuk karakter gerakan, seperti perbedaan antara gerakan lingkungan di AS dan Jerman Barat. Sementara itu, globalisasi dan integrasi regional (seperti Uni Eropa) membuka peluang baru bagi aktivis,
memungkinkan advokasi melalui lembaga supranasional. Sejak 1980-an, gerakan
lingkungan semakin transnasional, menghadapi tantangan neoliberalisme sekaligus memanfaatkan peluang ekonomi hijau. Di negara-negara pasca-sosialis seperti Eropa Timur dan China, gerakan ini berkembang dalam konteks transformasi politik yang unik. Selain itu, terjadi profesionalisasi gerakan lingkungan, dengan organisasi yang tidak
hanya fokus pada protes tetapi juga terlibat dalam konsultasi kebijakan dan ekonomi berkelanjutan. Perkembangan ini menunjukkan pergeseran dari gerakan akar rumput yang radikal menuju bentuk yang lebih terlembaga, sambil terus beradaptasi dengan tantangan ekologis global.

Ketidakadilan distribusi manfaat dan risiko GMO (Genetically Modified Organism) atau dikenal sebagai Organisme Hasil Rekayasa Genetika (ORR) atau Produk Rekayasa Genetika (PRG) antara negara Utara dan Selatan mencerminkan ketimpangan ekologis
yang mendalam. Negara-negara Selatan, yang lebih menekankan ketahanan pangan dan kedaulatan pengetahuan lokal, sering kali menghadapi dampak yang tidak proporsional dari teknologi ini. Sementara itu, negaranegara Utara cenderung fokus pada isu kesehatan dan lingkungan, mengabaikan ketidakseimbangan kekuasaan dan akses
yang memperparah ketidakadilan global.

Dalam Subbab Anti-GMO environmental movement(s) in the making (Gerakan
lingkungan anti-transgenik yang sedang berlangsung) terdapat ringkasan seperti:

"The development of commercial science and technology in the 1980 sgave birth to genetically modified (GM) products, which triggered diverse responses from social actors. The anti-GM movement
demanded a reconsideration of the human-nature relationship, sustainability, scientific accountability and democracy in the neoliberal
era (Brooks, 2005). The movement influenced global biotechnology regulation, prompting the EU and US to adopt strict regulatory regimes despite economic challenges (Schurman & Kelso, 2003; Eaton, 2009). However, critics of the movement highlighted the need for collaboration with scientists for alternative strategies (Buttel, 2005). 

The interconnectedness of the environmental and anti-GM movements is seen in digital activism, where environmental organizations integrate GM issues into online campaigns. An analysis of 161 online environmental organizations grouped them into three themes: environmental-global (climate change, biodiversity), environmental-bio (genetic engineering, organic farming), and environmental-toxic (pollution, environmental justice) (Ackland & O'Neil, 2008). The majority are based in the US and UK, with bio-environmental groups beginning to touch on nanotechnology issues."

Ketidakadilan distribusi manfaat dan risiko GMO antara negara Utara dan Selatan mencerminkan ketimpangan ekologis struktural, di mana Global North mendominasi pengembangan teknologi sementara Global South menanggung dampak sosial-ekonominya. Fenomena ini tidak terlepas dari sejarah komersialisasi bioteknologi sejak
1980-an, yang melahirkan produk GM sekaligus memicu resistensi dari gerakan sosial. Gerakan anti-transgenik muncul sebagai respons terhadap logika neoliberal yang mengabaikan keberlanjutan ekologis dan kedaulatan pengetahuan lokal (Brooks, 2005), terutama di negara Selatan yang lebih memprioritaskan ketahanan pangan. Sementara itu, negara Utara melalui regulasi ketat di Uni Eropa dan AS (Schurman & Kelso, 2003; Eaton, 2009) cenderung fokus pada risiko kesehatan dan lingkungan, memperlihatkan bias geopolitik dalam kebijakan GMO. 

Kritik terhadap gerakan anti-transgenik (Buttel, 2005) juga mengungkap dilema: upaya melawan dominasi korporasi bioteknologi sering gagal mengatasi ketimpangan Utara-Selatan secara sistematis. Hal ini tercermin dalam aktivisme digital, di mana organisasi lingkungan mayoritas berbasis di AS dan Inggris (Ackland & O'Neil, 2008) lebih banyak membahas isu rekayasa genetika (lingkungan-bio) daripada ketidakadilan
distribusinya di Global South. Dominasi narasi Utara dalam advokasi online memperparah kesenjangan partisipasi, meskipun isu seperti biopiracy dan hak paten sebenarnya sangat relevan bagi negara Selatan.

Pada bagian Summary atau ringkasan pada subbab Nanotech: entering the
environmental claims repertoire? (Nanoteknologi: memasuki khasanah klaim lingkungan?) menjelaskan adanya analisis dan berbagai bentuk kontra dari adanya nanoteknologi terdapat kutipan pada bagian:

"Environmental activist groups compete online through hyperlinks ("hyperlink capital") and framing strategies to influence debates. Research by Ackland and O'Neil (2008) shows that environmentalbio/biotechnology groups are more active in discussing emerging issues like nanotechnology compared to established environmental-global and environmental-toxic groups. The ETC
Group, a key player, frames nanotechnology risks with terms like "atomtech" and "nanotoxicity." 

Other leading groups in opposing nanotechnology include Organic
Consumers, Environmental Defense, and Greenpeace UK. Similarly, Huey (2005) identifies the ETC Group (formerly RAFI) as central to antinanotechnology discourse, alongside Greenpeace and PureFood (Consumers' Union), which emphasize anti-GMO frames such as
rights, health safety, and environmental risks. Other organizations like Friends of the Earth and the Union of Concerned Scientists also oppose both agricultural biotechnology and nanotechnology."

Persaingan kelompok aktivis lingkungan dalam ruang daring sebagai bentuk pertarungan simbolis dan organisasional untuk memperebutkan pengaruh. Melalui
analisis hyperlink dan pembingkaian wacana, kelompok-kelompok seperti ETC Group, Greenpeace, dan Environmental Defense berupaya menguasai narasi seputar isu-isu baru seperti nanoteknologi dengan menciptakan istilah-istilah seperti "nanotoksisitas"
atau "teknologi atom". Perbedaan fokus antara kelompok lingkungan-bio (yang lebih responsif terhadap isu teknologi baru) dan kelompok lingkungan-global (yang lebih tradisional) menunjukkan dinamika pergerakan lingkungan dalam merespons perkembangan sains. Analisis jaringan web mengungkapkan bagaimana kelompok seperti ETC Group mendominasi wacana anti-nanoteknologi dengan strategi pembingkaian risiko, sementara organisasi lain seperti Organic Consumers atau Friends of the Earth mengikuti kerangka berbeda seperti hak konsumen atau keamanan pangan. Pendekatan ini menekankan bagaimana aktivisme daring tidak hanya tentang pertukaran informasi, tetapi juga perebutan makna dan otoritas wacana.

BAGIAN 16: Sustainable consumption: developments, considerations and new directions Emma D. Hinton and Michael K. Goodman. (Konsumsi berkelanjutan: perkembangan, pertimbangan, dan arah baru Emma D. Hinton dan Michael K. Goodman)

Pada tahun 1997, ketika edisi pertama dari buku pegangan ini diterbitkan, keterlibatan akademik dengan konsep konsumsi berkelanjutan (Sustainable
Consumption/SC) masih terbatas. Sejak saat itu, para akademisi dari berbagai disiplin ilmu---geografi manusia, geografi lingkungan, sosiologi, kebijakan dan adaptasi lingkungan---telah berkontribusi dalam penelitian dan penulisan yang berkembang pesat dan secara teoritis serta empiris kaya dalam bidang ini. Selain itu, telah terjadi perkembangan besar dalam pendekatan internasional dan nasional terhadap SC, mulai dari pendekatan berbasis pasar seperti konsumerisme etis (ethical consumption), hingga kebijakan publik yang berakar pada ekonomi perilaku yang bertujuan mengubah perilaku warga negara. Seperti yang diungkapkan oleh Jackson (2007: xi), konsumsi kini merupakan 'bentuk baru pemerintahan warga negara'.

"Consumption as a growing form of 'green governmentality' (Rutherford, 2007) -- in addition to how SC itself is and should be governed -- has become a key interest throughout much of the relatively well-off 'society of consumers' (Bauman, 2007) in the industrial North, and for many (e.g. Local Environment, 2008), is
deeply marred by the continuing inequalities inherent in its uptake."

SC telah menjadi bagian dari wacana kebijakan arus utama, dengan strategi dari tingkat lokal hingga internasional---seperti Uni Eropa, OECD, dan Agenda 21 PBB---bertujuan untuk mempengaruhi keputusan konsumsi individu dan kolektif demi keberlanjutan lingkungan dan sosial. Bahkan di Amerika Serikat, negara yang dikenal sebagai simbol konsumsi industri dan budaya individualisme, terdapat minat baru terhadap SC (Spaargaren & Cohen, 2009: 85), meskipun didorong lebih oleh pertimbangan ekonomi ketimbang ekologi. Bab ini bertujuan memberikan tinjauan atas perkembangan ini, dengan menyoroti tiga bidang penting: pertama, alasan pentingnya
SC dan kontribusinya terhadap keberlanjutan secara luas; kedua, evaluasi
perkembangan konseptual dan kebijakan terkini dalam SC; dan ketiga, saran arah baru untuk keterlibatan dan penelitian lebih lanjut. Pertama-tama, kami menyajikan refleksi singkat tentang definisi dan tujuan SC, lalu membahas bentuk-bentuk konsumsi yang muncul dan dinormalisasi---seperti konsumsi etis dan 'gaya hidup berkelanjutan'---serta
peran SC dalam pembangunan global. Kami juga membahas bagaimana politik konsumsi berkelanjutan berkembang dalam berbagai bentuk dan dengan fokus yang berbeda, dari perubahan perilaku individu hingga struktur sistemik produksi dan konsumsi. 

Perkembangan Kebijakan 

Ketika edisi pertama buku pegangan ini diterbitkan, konsumsi berkelanjutan (SC) baru saja mulai masuk ke dalam agenda kebijakan internasional. Satu dekade sebelumnya, pemerintah dan lembaga internasional mulai merespons prinsip-prinsip Agenda 21, khususnya Bab 4. Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (KTT Bumi) di Rio tahun 1992 menetapkan komitmen global terhadap konsumsi dan produksi berkelanjutan. Sejak saat itu, kebijakan internasional dan nasional terus berkembang dalam bentuk berbagai deklarasi dan strategi. KTT Bumi diikuti oleh serangkaian pertemuan, seperti KTT Rio+5 tahun 1997 dan KTT Dunia tentang
Pembangunan Berkelanjutan (WSSD) di Johannesburg tahun 2002. Pada konferensi tersebut, konsumsi dan produksi berkelanjutan ditegaskan kembali sebagai komitmen global melalui pengembangan Agenda 21 dan Kerangka Sepuluh Tahun Program Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan (10YFP). Tujuannya adalah mengembangkan
pola konsumsi yang efisien sumber daya dan rendah karbon, sembari mengurangi
kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Pendekatan ini mengintegrasikan dimensi sosial dan ekonomi dengan fokus utama pada pembangunan berkelanjutan.

"The continuing engagement of this international policy focus on SC is ostensibly encouraging. Yet despite naming the changing of unsustainable patterns of production and consumption as one of the top three priorities for the next two to three decades, the relevant
sections of the Johannesburg Plan of Implementation (UN, 2002) have been criticized for paying only scant attention to SC, for having it phrased in the weakest possible language and for emphasizing energy efficiency over alternative approaches. Further, these sections of the
Plan were apparently included only after controversial discussions about any reference to SC at all (Fuchs and Lorek, 2005)."

Secara nasional, berbagai negara merespons agenda ini melalui strategi
kebijakan masing-masing. Inggris, misalnya, mulai menunjukkan minat yang lebih serius terhadap SC sejak tahun 1999, dengan pembentukan Kelompok Kerja Konsumsi Berkelanjutan sebagai bagian dari Komisi Pembangunan Berkelanjutan Inggris. Ini diikuti oleh pembentukan Unit Konsumsi Berkelanjutan di Departemen Lingkungan, Pangan, dan Urusan Pedesaan (DEFRA). DEFRA kemudian menerbitkan dokumen strategi utama, seperti Strategi Pembangunan Berkelanjutan dan Strategi Konsumsi dan
Produksi Berkelanjutan Inggris. Perkembangan ini memperlihatkan peningkatan perhatian pemerintah terhadap SC, baik dalam bentuk kebijakan langsung maupun dalam kerangka yang lebih luas, seperti perubahan iklim dan efisiensi energi. Namun, seperti yang dicatat oleh Hobson (2004), banyak dari kebijakan ini masih bersifat simbolis
dan menunjukkan sedikit perubahan nyata.

Memahami dan Mengatur Tanggung Jawab

Salah satu tantangan utama dalam kebijakan SC adalah bagaimana memahami dan mengatur tanggung jawab atas tindakan konsumsi. Secara umum, strategi kebijakan SC cenderung menekankan pada perilaku individu dan perubahan gaya hidup, yang memunculkan wacana bahwa tanggung jawab utama untuk keberlanjutan ada di tangan konsumen. Pendekatan ini sering kali bersifat normatif dan menyiratkan bahwa individu dapat 'memilih dengan benar' melalui pilihan konsumen. Namun, kritik telah muncul bahwa pendekatan ini mengabaikan struktur ekonomi dan sosial yang membatasi pilihan tersebut, serta gagal mengatasi kekuatan sistemik yang lebih besar. Kebijakan publik yang efektif dalam mendukung SC harus menciptakan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi yang memungkinkan praktik konsumsi berkelanjutan. Ini termasuk menghubungkan nilai-nilai etis dengan struktur pasar dan sistem produksi, serta
menyediakan infrastruktur dan insentif untuk memfasilitasi pilihan yang lebih
berkelanjutan. Beberapa inisiatif kebijakan yang lebih progresif mencoba mendorong perubahan struktural dengan mengintegrasikan SC ke dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, transportasi, dan perumahan. Namun, banyak kebijakan tetap terjebak dalam pendekatan perilaku individualistik, tanpa dukungan sistemik yang kuat.

Pendidikan, Informasi, dan Perubahan Sikap

Upaya untuk mendorong konsumsi berkelanjutan juga dilakukan melalui
pendidikan dan penyediaan informasi. Berbagai program pendidikan dan kampanye informasi telah dirancang untuk meningkatkan kesadaran konsumen tentang dampak lingkungan dari tindakan mereka. Namun, seperti ditunjukkan oleh Barr (2007) dan Bostrm dan Klintman (2008), peningkatan kesadaran tidak selalu diterjemahkan ke
dalam tindakan yang berkelanjutan.

Studi menunjukkan bahwa meskipun individu memiliki niat baik, sering kali
terdapat kesenjangan antara niat dan tindakan. Ini dikenal sebagai 'kesenjangan nilai-tindakan' (value-action gap). Oleh karena itu, strategi pendidikan dan informasi perlu dilengkapi dengan intervensi struktural yang memungkinkan perilaku berkelanjutan menjadi pilihan yang mudah dan realistis.

BAGIAN 17: Globalization, Convergence, and The Euro-Atlantic Development Model Wolfgang Sachs. (Globalisasi, Konvergensi, dan Model Pembangunan Euro-Atlantik Wolfgang Sachs).

Kenneth Pomeranz dari University of California di Los Angeles mengajukan
sebuah hipotesis 'lingkungan' (Pomeranz, 2000). Dengan mengajukan pertanyaan
secara lebih spesifik, ia bertanya-tanya bagaimana Inggris bisa melampaui Tiongkok. Pada akhir abad ke-18, baik Delta Yangtze di Tiongkok maupun Inggris sama-sama dibatasi dalam pengembangan ekonominya oleh kelangkaan lahan yang tersedia untuk
menanam makanan, menyediakan bahan bakar, dan bahan-bahan lainnya. Namun
hanya Inggris yang berhasil "lepas landas", yang dicapai dengan memanfaatkan dua jenis sumber daya baru. Pertama, Inggris mendapatkan akses ke sumber daya hayati dari wilayah seberang laut. Dan yang terpenting, Inggris berhasil mengeksploitasi 'hutan
bawah tanah' dengan mempelajari cara memanfaatkan batu bara untuk proses industri. Sebaliknya, Tiongkok tidak memiliki koloni dan tidak mengakses cadangan batu bara yang jauh. Keberhasilan peradaban Euro-Atlantik sangat bergantung pada akses terhadap sumber daya dari wilayah geografis luas dan kedalaman geologis bumi.

Pada bagian The Development Dilemma (Dilema Pembangunan) terdapat bagian:

"With Britain's 'take- off' the landscape of inequality among nations began to change. Since the third decade of the nineteenth century the world has witnessed a growing gap in income between industrialized and non- industrialized countries. Britain, Germany and France rushed ahead, followed by Italy, the USA and Japan, leaving the non-
industrialized world increasingly behind. Consequently, between 1820 and 2000 global income disparity has grown continuously, rapidly up to the Second World War and at a slower pace in the second half of the past century (Bourguignon and Morrison, 2002; Firebough, 2003; Milanovic, 2005). As a result, global inequality has continued to remain very marked, comparable only to notoriously unequal nations like Brazil
or South Africa".

Sejak "lepas landas" industrialisasi di Inggris, jalur pembangunan global telah
menyebabkan ketimpangan yang semakin besar antara negara industri dan non-industri. Sering waktu, negara-negara industri seperti Eropa dan Amerika Utara melaju pesat dengan memanfaatkan sumber daya hayati dan fosil dari negara-negara koloni atau negara Selatan, menciptakan keunggulan energi dan ekonomi yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Peralihan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri memungkinkan produksi massal dan kenyamanan hidup, tetapi keberhasilan ini mengorbankan keberlanjutan ekologi global. Meskipun hanya sepertiga penduduk dunia yang menikmati kemakmuran industri, sistem ekologis planet ini sudah kewalahan dan sumber daya semakin menipis. 

Model pembangunan Euro-Atlantik yang dulu dianggap sebagai puncak kemajuan, kini terbukti tidak berkelanjutan dan tidak bisa diterapkan secara merata di seluruh dunia karena keterbatasan sumber daya dan dampak lingkungan. Namun, model
ini telah memengaruhi harapan dan imajinasi global, bahkan pada masyarakat miskin yang hidup di pelosok. Pertumbuhan pesat Tiongkok menjadi contoh nyata dari dilema ini---mengurangi kemiskinan sambil merusak lingkungan secara besar-besaran dan
membebani sumber daya global. Kondisi ini menimbulkan dilema besar: jalur
pembangunan saat ini menciptakan kekayaan bagi segelintir orang tetapi memperburuk ketimpangan ekologis dan sosial. Masa depan menuntut pergeseran menuju gaya hidup berkelanjutan yang hemat sumber daya dan selaras dengan keseimbangan ekologi serta keadilan sosial. Tanpa transformasi ini, kesejahteraan global akan tetap sulit dicapai, dan abad ke-21 akan diwarnai oleh ketegangan mendasar antara kemakmuran dan keadilan.

Dalam subbab Unequal appropriation of global resources (Perebutan Sumber Daya
Global yang Tidak Merata) terdapat rigkasan:

"For centuries, international trade has driven an unequal global distribution of natural resources, favoring wealthy countries with purchasing and political power. Today, about 25% of the world's
population consumes 75% of its resources. Countries in the Global North, particularly the USA, Europe, and Japan, heavily consume resources like aluminum, nickel, oil, and gas---much of which originates from the Global South. This imbalance has been a root cause of numerous geopolitical conflicts. 

In the past two decades, however, global economic geography has shifted. Emerging economies such as China, India, Brazil, and others have rapidly increased their share in global production and consumption. This has led to rising CO emissions and ecological footprints in the South. Yet, economic growth is mostly concentrated in urban industrial centers, not across entire nations. Global production now relies on select regions linked by transnational supply chains.
Thus, development is increasingly spatial and corporate, rather than national in nature".

Perdagangan internasional telah mendorong distribusi sumber daya alam global yang tidak merata, dengan menguntungkan negara-negara kaya yang memiliki kekuatan beli dan kekuasaan politik. Saat ini, sekitar 25% dari populasi dunia mengonsumsi 75% dari sumber daya global. Negara-negara di kawasan Utara global, khususnya Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, mengonsumsi secara besar-besaran sumber daya seperti aluminium, nikel, minyak, dan gas---yang sebagian besar berasal dari negara-negara
Selatan global. Ketimpangan ini telah menjadi penyebab utama berbagai konflik
geopolitik. Namun, dalam dua dekade terakhir, geografi ekonomi global telah mengalami pergeseran. Negara-negara berkembang seperti Tiongkok, India, Brasil, dan lainnya dengan cepat meningkatkan peran mereka dalam produksi dan konsumsi global. Hal ini
menyebabkan peningkatan emisi CO dan jejak ekologis di negara-negara Selatan.
Meski demikian, pertumbuhan ekonomi tersebut sebagian besar terkonsentrasi di pusat-pusat industri perkotaan, bukan merata di seluruh wilayah negara. Produksi global kini bergantung pada wilayah-wilayah tertentu yang terhubung melalui rantai pasok transnasional.

Dalam subbab The rise of a transnational consumer class (Munculnya kelas
konsumen transnasional) pada bagian:

"Globalization does not encompass all areas of a country, nor all social classes. On the contrary, like cliff s in the surf, the structures of domestic inequality have defi ed the recurrent waves of development,
growth and globalization over the last 30 years. Furthermore, the globalization period is marked by a nearly universal tendency towards an increase in domestic inequality (Cornia and Court, 2001: 8; World Bank, 2005: 44). Globalization has not been uniform across countries or social classes, resulting in increased domestic inequalities, especially in newly industrialized countries. A transnational consumer class has emerged, consisting of about 1.7 billion people worldwide, roughly a quarter of the global population, split evenly between the Global North and South. This consumer class shares similar lifestyles and purchasing patterns, driving global demand for resources such as meat, electrical appliances, and motor vehicles. The high consumption patterns place significant strain on the Earth's biosphere.

Access to resources by this transnational consumer class is largely determined by power dynamics, which facilitate the transfer of natural resources from poorer regions to wealthy consumers. This unequal distribution often triggers social unrest and conflict, as seen in various
geopolitical and ethnic disputes tied to resource competition. Resource extraction commonly takes place in indigenous and local communities, especially in the Global South, often harming their environment and livelihoods through pollution, deforestation, and displacement.

The environmental impacts of such exploitation extend to climate change, which disproportionately affects poor countries and populations by increasing natural disasters, disease, and agricultural
decline. Geopolitical conflicts arise as nations compete for scarce essential resources like oil and water, with rising demand, limited supply, and geopolitical rivalries intensifying global insecurity. The peak of oil production and growing resource tensions foreshadow increasing instability and hardship, particularly for countries lacking both resources and wealth."

Periode globalisasi ditandai dengan kecenderungan hampir universal terhadap
peningkatan ketimpangan domestik (Cornia dan Court, 2001: 8; Bank Dunia, 2005: 44). Khususnya, negara-negara industri baru telah mencapai pendapatan nasional yang lebih tinggi dengan harga kesenjangan yang lebih lebar antara kaya dan miskin. Bagaimanapun, periode globalisasi telah menghasilkan kelas pemenang transnasional. Dapat dijelaskan Globalisasi tidak terjadi merata di seluruh negara dan kelas sosial, sehingga ketimpangan domestik justru meningkat, terutama di negara-negara baru industri. Muncul kelas konsumen transnasional sebanyak sekitar 1,7 miliar orang, sekitar
seperempat populasi dunia, yang tersebar merata antara negara maju (Utara) dan negara berkembang (Selatan). Kelas ini memiliki gaya hidup dan pola konsumsi serupa, yang mendorong permintaan global terhadap sumber daya seperti daging, peralatan listrik, dan kendaraan bermotor, sehingga memberikan beban besar pada lingkungan.

Akses kelas konsumen ini terhadap sumber daya ditentukan oleh kekuatan
ekonomi dan politik, yang menyebabkan sumber daya berpindah dari daerah miskin ke konsumen kaya. Ketimpangan ini sering memicu konflik sosial dan politik, yang bisa berkaitan dengan suku dan agama. Eksploitasi sumber daya alam sering merugikan masyarakat adat dan lokal, terutama di daerah terpencil di negara berkembang, yang mengalami kerusakan lingkungan dan hilangnya mata pencaharian. Dampak lingkungan
dari eksploitasi ini juga menyebabkan perubahan iklim, yang paling dirasakan oleh negara dan masyarakat miskin melalui bencana alam, penyakit, dan penurunan hasil pertanian. Konflik geopolitik semakin meningkat karena negara-negara bersaing mengakses sumber daya penting seperti minyak dan air, dengan permintaan yang terus naik dan pasokan yang terbatas. Puncak produksi minyak dunia diperkirakan akan
tercapai sebelum 2015, menandai ketegangan yang lebih besar dan ketidakamanan global, terutama bagi negara yang miskin sumber daya dan dana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun