Mohon tunggu...
Nada Mandalika
Nada Mandalika Mohon Tunggu... Jurnalis - Give good and get good.

The end doesn't justify the means.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

KPK, Tak Usah "Ngoyo"

30 Juli 2019   23:04 Diperbarui: 31 Juli 2019   02:27 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Langkah Makamah Agung (MA) membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) menuai banyak pro dan kontra. Pertanyaan besar kita, "Apa langkah yang bisa dilakukan KPK selanjutnya menyikapi putusan ini?" Jawabannya, tidak ada.

Jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ingin lebih proporsional dalam upaya mengembalikan potensi kerugian negara (seperti yang mereka katakan), KPK bisa menyerahkan kasus ini pada Kejaksaan Agung atau Kepolisian. Kejaksaan bisa melakukan gugatan perdata untuk membuktikan dugaan kerugian yang disebut-sebut selama ini. Dengan begitu, penyelesaian kasus BLBI akan kembali pada relnya.

Namun, mengapa langkah ini tampak tidak menarik bagi KPK? 

Belakangan KPK malah melibatkan diri dengan "pertikaian" antara Sjamsul Nursalim (SN) dan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dalam kasus perdata di PN Tangerang. SN menggugat audit BPK yang dituduh tidak sesuai dengan metode audit BPK sendiri. Di sini, KPK dengan sukarela mengajukan diri sebagai pihak berkepentingan.

Banyak pihak mempertanyakan kenapa KPK tidak juga melepaskan SN dan IN yang dituduh melakukan tindak korupsi bersama-sama SAT. Padahal, SAT sendiri sudah dibebaskan oleh MA. Bukan hanya aneh, ini ajaib.

Kekisruhan penuntasan kasus BLBI oleh KPK ini diwarnai pula oleh langkah Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang terdiri dari ICW, LBH Jakarta, dan YLBHI yang melaporkan 2 Hakim Agung yang memutus lepas SAT pada Komisi Yudisial. Mereka menuduh dua hakim ini melakukan pelanggaran kode etik saat memutus lepas SAT.

KPK tentu saja langsung menyambut langkah koalisi ini. Pada KY, KPK segera menyatakan siap membantu KY memproses dua hakim MA ini.[1]

Kenapa "Ngoyo"?

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, menilai putusan hakim di perkara kasasi Syafruddin kurang tepat. Menurut koalisi ini, kasus penerbitan SKL BLBI sudah memenuhi unsur korupsi karena merugikan negara Rp4,58 triliun. Mereka berargumen putusan sidang praperadilan sudah menyatakan penanganan perkara Syafruddin oleh KPK sesuai prosedur hukum acara pidana.[2]

ICW mengatakan koalisi menganggap putusan MA dalam perkara kasasi SAT timpang dengan vonis pengadilan sebelumnya. Di pengadilan tingkat pertama SAT divonis 13 tahun penjara dan putusan sidang banding menambah hukuman itu menjadi 15 tahun. Namun, di sidang kasasi, SAT justru dibebaskan.

Tidak berlebihan kalau kita mengatakan ICW terasa seperti memaksakan pendapat. Seolah pendapat yang berbeda dari "SAT harus dibui" merupakan pendapat yang salah. Padahal, banyak pihak baik pengamat maupun saksi dalam pengadilan yang sudah mengatakan bahwa kasus ini berpotensi menjadi kasus perdata mengingat MSAA adalah skema penyelesaian utang obligor. Jadi, bukan hal aneh sebenarnya jika kedua hakim agung yang memutus bebas SAT mengatakan hal senada.

KY Tak Berhak Menilai

Saat menanggapi ketidaksetujuan pihak-pihak tertentu terhadap keputusan MA, ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus menyatakan KY menghormati independensi hakim yang telah memutus perkara untuk kasus SAT, karena dinilai berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada. KY tidak berkapasitas untuk menilai putusan hakim agung yang telah memutus sebuah perkara tidak dimiliki KY. "Sesuai dengan ketentuan undang-undang, KY tidak diperbolehkan untuk menilai salah benarnya putusan hakim, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, hingga PK," ujar Jaja Ahmad Jayus lagi.[3]

Bukan hanya KY, hakim yang menghasilkan putusan ini pun tidak boleh menilai putusannya sendiri. Sehingga, apapun keputusan hakim, ketika palu pengadilan sudah diketok, hukum yang diputuskan oleh lembaga ini bersifat mengikat. Tugasnya sebagai hakim selesai, hakim-hakim ini bahkan tidak boleh menjelaskan sudut pandangnya dalam kasus yang mereka putuskan.

Pada tahun 2014, Prof. Topane Gayus Lumbuun pernah mengadukan seorang hakim ke KY karena mengomentari vonis mati yang dilontarkan seorang mantan hakim agung. Gayus berkata, "Banyak hakim takut menjatuhkan putusan lantaran bertentangan dengan opini publik. Jadi sebaiknya putusan hakim tidak perlu dikomentari karena prinsipnya setiap putusan selalu dianggap benar (res judicata pro veritate habeteur)," lanjutnya.[4]

Intinya, apapun keputusan hakim selama dihasilkan dengan independensi dan disertai pertimbangan hukum, hasilnya haruslah dihormati.

Pelecehan

Advokat Mohammad Assegaf juga menegaskan hal ini. Bagi advokat senior ini, langkah KPK yang masih menjadikan SN dan istrinya sebagai tersangka sudah menjurus pada pelecehan terhadap institusi peradilan di Indonesia.

Penyelesaian kasus BDNI, menurut Assegaf seharusnya dilakukan komprehensif dengan tetap memperhatikan hubungan SAT dengan pemegang saham BDNI, SN dan IN, dalam pertimbangan hukumnya. "Penghormatan itu harus dilakukan pihak yang kalah, dalam kasus ini KPK, sebagaimana menghormati putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang memenangkan mereka."

Maka semua pihak, termasuk KPK dan koalisi anti-korupsi, selayaknya tunduk pada aturan yang berlaku. Tidak mengembangkan argumen yang tidak substantif, apalagi bersifat teknis dan administratif menyoal kedua hakim MA. Misalnya, masalah ketua majelis yang tidak berinisiatif menambah komposisi majelis walau ada dissenting opinion.

Mungkin koalisi ini lupa, yang duduk sebagai ketua majelis hakim dalam perkara SAT ini merupakan hakim agung ini yang punya pendapat sejalan dengan KPK. Artinya pula, pendapatnya sejalan dengan pendapat koalisi. Tentu ia memiliki pertimbangan kenapa tidak menambah jumlah hakim saat menemukan tiga kesimpulan yang berbeda. Saat ketua majelis hakim mengambil pertimbangan tetap menyelesaikan kasus hingga keluar keputusan yang mengikat, keputusannya tentu harus dihormati. Toh, ketetapan yang ia ambil tidak menyalahi aturan.

Termasuk pula kritik mengenai salah satu hakim yang masih memiliki kantor advokat. Janganlah kita keluar dari akal sehat untuk menyimpulkan masalah hakim yang masih punya kantor advokat ini  berkaitan dengan perkara SAT atau membuatnya tidak eligible saat memutus kasus SAT.**

:: Penulis adalah pemerhati masalah-masalah hukum, sosial, budaya, dan media massa.

--

[1] https://tirto.id/kpk-dukung-ky-proses-laporan-terhadap-dua-hakim-ma-eeUV

[2] https://tirto.id/eeTS

[3] https://tirto.id/ketua-ky-angkat-bicara-putusan-ma-kasus-baiq-nuril-dan-syafruddin-ed19

[4] https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt546dcd1e231ac/komentari-putusan--eks-hakim-agung-diadukan-ke-ky/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun