Ia menangis sekali lagi karena ia hanya mampu menemukan satu jalan keluar dari pahitnya kehidupan yang ia jalani.Â
Semua ingatan masa kecil bersama dengan ibu yang ia cintai sepenuh hati berkelebat di depan matanya. Lalu, tanpa mengetahui bahwa sang ibu masih mampu mendengar segala perkataannya, Niana berkata,
"Oiya, Mah. Aku hampir lupa. Selamat ulang tahun, ya. Jangan lupa makan supaya Mamah sehat terus dan bisa hidup panjang. Mamah kan udah ga muda lagi," ucap Niana dengan senyum seribu makna.
Melihat senyuman itu, langit mulai meneteskan jutaan rintik air. Suara gemuruh hujan terdengar sangat keras menyembunyikan tangisan pilu seorang wanita muda yang telah membulatkan tekadnya. Ketika alam menyertai kesedihannya, Niana pun mendongak menatap rembulan yang tertutupi awan dan berkata lirih,
"Maafin aku karna belom bisa jadi yang terbaik. Aku sayang banget sama Mamah. Aku kangen banget sama masakan Mamah. Tapi aku masih ada urusan yang belom sempet aku selesain. Nanti, kalo aku udah selesai, kita telfonan lagi, ya? Dadah, Mah. Aku pergi dulu."
Menyelesaikan kalimat terakhirnya, Niana mulai menyayat nadi pada pergelangan tangan kecil yang sangat rapuh. Ketika darah menetes mengotori lantai kamar berukuran 2x2 itu, kesadaran Niana perlahan memudar, pandangannya kabur bagaikan kertas buram. Hingga kegelapan menyelimuti dunianya, ia berhenti bernafas untuk selamanya.
Pada dasarnya, Niana adalah wanita yang kuat. Ia tidak pernah takut dalam menghadapi semua masalah yang datang kepadanya. Ia tidak pernah membenci teman-teman yang telah berbalik mengkhianatinya. Ia tidak pernah membenci dan menyalahkan ibunya atas semua ekspektasi yang diberikan kepadanya. Â
Namun, ada satu hal yang sangat Niana takuti. Ia takut pada monster tak terlihat yang akan datang menghantuinya. Monster yang sangat besar dan mengerikan. Monster itu bernamakan masa depan.