"Sudah, Mah. Tadi aku makan nasi padang sama temen-temen kampus aku," jawab Niana dengan kebohongan yang sudah terbiasa ia katakan.
Teman. Salah satu hal yang sampai saat ini belum Niana temukan artinya. Ia sering bertanya-tanya apa arti sebenarnya dari seorang teman.Â
Apakah teman adalah seseorang yang selalu menyayangi dan mendukungmu? Seseorang yang menjadi tempat bagimu berkeluh kesah?Â
Seseorang yang menangis dan tertawa dalam kerasnya lika-liku kehidupan? Atau hanya sekedar seseorang yang selalu menemani ke mana pun kau pergi?
Apapun itu, Niana tidak merasa memilikinya. Namun, Niana tidak lagi memperdulikan fakta bahwa ia tidak memiliki seorang teman pun.Â
Lalu mengapa ia berbohong? Bahkan sebuah pertanyaan dapat menjawabnya. Orang tua mana yang tidak akan bersedih ketika anaknya tidak memiliki seorang teman?
"Ohh, teman yang biasa kamu ceritain itu, ya? Siapa namanya? Citra, kan? Mamah seneng deh kamu punya teman dekat. Baik-baik, ya, sama teman kamu itu, Nak ... "
Niana tersenyum pahit mendengar petuah ibunya, menjawab, "Iya, Mah ... kalo bukan sama Citra, aku sama siapa lagi?"
Ia merasa hampa, tak berharga ketika menyadari hanya kebohongan lah yang mampu membuat ibunya bahagia. Tak ada satu pun bagian nyata dari dirinya yang dapat ia banggakan kecuali kebohongan.
"Sama jangan lupa ya ... nilai kamu harus tetap bagus lho kalo mau jadi dokter. Jangan sampe dapet B+ lagi kaya semester lalu," lanjut sang ibu.
Benar-benar hanya dengan satu kalimat, sang ibu membuat dunia Niana runtuh seketika. Ibunya tidak pernah tahu, bahwa dibalik nilai A yang selalu berhasil Niana dapatkan, terlalu banyak pengorbanan yang harus ia lakukan.Â