Dalam sebuah ruangan kecil berukuran 2x2 meter bernuansa kelam, tumpukan baju kotor berserakan di atas ubin berdebu, robekan kertas berisi guratan-guratan kasar memenuhi tempat sampah mungil hingga jatuh tak beraturan memenuhi kamar dengan warna abu gelap itu.Â
Tak ada secercah cahaya pun yang bersinar menerangi wajah cantik seorang perempuan muda berumur 20 tahun yang tengah meringkuk takut di ujung kasurnya.
Perempuan itu menggerogoti kuku jarinya, pupil matanya mengecil, wajahnya penuh dengan keringat dingin seakan tengah melihat hantu. Keheningan tak berujung menyelimuti hingga nada dering telepon bergema memenuhi ruangan berbentuk persegi empat tersebut,
Kriing-kriing ... kriing-kriing ... kriing-kriing
Suara keras nan nyaring tersebut berasal dari handphone yang tergeletak di atas meja kotor yang tak lagi perempuan itu pedulikan.Â
Dengan rambut kusut, wajah muram, dan baju yang belum diganti selama 3 hari, Niana mengangkat dan memutar kepalanya untuk melihat siapa gerangan yang menghubungi tengah malam begini.
Namun, setelah melihat nama yang tertera di atas layar, Niana menyeka darah yang menetes dari hidungnya, mengulurkan tangan menggapai handphone, kemudian mengusap layar untuk menjawab panggilan. Dengan suara serta senyum dibuat-buat, ia menyapa,
"Iyaa, ada apa, Mah?"
Tak lama, suara serak basah seorang wanita paruh baya terdengar hangat menyentuh hati Niana,
"Bukan apa-apa, Nak ... Mamah cuma lagi kangen aja. Niana sudah makan?" tanya sang ibu.