Cak cuk cak geer
Matine godong lengger
Sing nglomboni
Slarak jeger.
Sambil mengaitkan jari kelingking, di bawah guyuran gerimis serta kilatan petir sepasang anak berumur sembilan tahunan mengucapkan janji untuk mengingat satu sama lain sampai mati. Kemudian keduanya saling berpelukan saat suara guntur menggelegar mengagetkan keduanya.Â
"Ingat ya, Ham dengan janji kita ini," ucap gadis kecil berkempang dua pada sahabatnya. Anak lelaki bertelanjang kaki itu mengangguk, meyakinkan bahawa ia sungguh-sungguh dengan janjinya.Â
Rasa sesal kian menusuk hatinya. "Des, maafkan aku baru menyadarinya sekarang," ucapnya penuh penyesalan.Â
Saat Ilham beranjak hendak meninggalkan tempat itu, kakinya tersandung. Sehingga menjatuhkan beberapa benda dari dalam lemari kecil yang ia jadikan pegangan. Ia mengambil kotak kayu berukuran sedang kemudian, membawanya keluar dari tempat itu. Ilham tersentak kaget begitu sampai di luar rumah. Kondisinya tak seperti saat ia baru datang, rumput-rumput liar tumbuh bebas hingga menutupi tanah. Bangunan rumah juga bukanlah bangunan rumah mewah seperti yang terlihat sebelumnya. Rumah itu adalah rumah tua, dengan bercak-bercak hitam, seperti bekas terbakar. Ia semakin menetapkan langkah keluar dari tempat itu.Â
****
Ilham duduk di teras rumah pamannya, menyaksikan derasnya air hujan. Langit masih terlihat gelap, menandakan hujan masih lama berhentinya. Sementara paman Ilham, dengan setia menemani keponakannya dengan secangkir kopi di tangannya.Â
"Paman, apa yang terjadi dengan Desvi," tanya Ilham pelan. Ada rasa ingin tahu, tetapi ia juga dapat menduganya sendiri, bahwa jawaban dari pamannya, pastilah sebuah kabar buruk tentang sahabat kecilnya.Â
Paman Wito menarik nafas berat, sebelum menjawab. "Desvi meninggal dalam kebakaran setahun yang lalu. Tak ada satu pun anggota keluarganya yang selamat." Jawaban Paman Wito disambut dengan lelehan air mata Ilham, yang terus meluncur hingga membasahi buku diariy Desvi. Buku diariy yang menceritakan kenangan masa kecil, dan kerinduan pada Ilham.Â
"Maaf, paman tidak memberitahumu tentang hal itu. Dulu, Desvi sering menanyakanmu pada paman, tapi ... "
"Iya, Paman. Aku mengerti apa sebabnya," sahut Ilham menyesalkan.Â
Ingatan-ingatan masa kecil Ilham seperti ribuan potongan puzzle berserakan di kepalanya. Perseteruan antara orang tuanya dan orang tua Desvi tergambar jelas membuat Ilham merasakan sakit di ulu hatinya. Perseteruan itulah yang membuat keluarganya pindah ke kota. Kisruh tanggul sawah membuat mereka bermusuhan. Penyesalan, ketakutan, kesedihan terkumpul menjadi satu rasa yang menyesakkan dada Ilham. Ia terduduk lemas sambil menangis sesenggukan.Â