Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ikatan Janji

15 Februari 2020   20:37 Diperbarui: 15 Februari 2020   20:48 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pepohonan seakan-akan berjalan dan berkejaran seiring laju bus kota yang ditumpangi Ilham. Hampir tujuh jam lamanya berkendara, ia masih berada di wilayah Jawa Barat. Rute jalan yang berkelo-kelok  membuat perut mual dan pusing kepala. Setelah lima belas tahun tidak pulang kampung ia masih saja belum bisa menaklukan dahsyatnya jalur selatan menuju desa tempat tinggalnya dulu. 

"Pucung! Pucung! Pucung!" teriak Kondektur bus membuyarkan lamunan Ilham, tetapi sekaligus membuat pemuda itu bersyukur, perjalanan telah berakhir. Bergegas Ilham bangkit hendak turun. Begitu pintu terbuka, ia disambut kerumunan tukang ojek yang berebut mendapatkan penumpang. Namun, mereka harus kecewa karena Ilham memilih masuk ke dalam terminal dan mengabaikan para penjual jasa tersebut. 

Ilham duduk di bangku panjang di antara lapak-lapak pedagang oleh-oleh dan cindera mata daerah setempat. Sebenarnya ia bisa langsung naik ojek untuk sampai di rumah Paman Wito, tetapi ia memilih istirahat sejenak sambil melihat perubahan sekeliling. 

Terminal seakan menjadi gerbang utama sebelum masuk ke Desa Waru Banjaran, sebab di sinila satu-satunya tempat yang tak mungkin dilewati jalur mana pun yang dipilih. Baik jalur utara ataupun selatan, keduanya akan berhenti di terminal ini. 

"Naik Ojek aja biar cepet, sudah lama aku menunggumu." Suara merdu seorang gadis terdengar begitu dekat di telinganya. Namun, saat ia menoleh tak ada siapa pun. Ilham mengedarkan pandangan mencari sumber suara. Tatapannya terhenti pada sosok gadis berwajah manis. 

"Hai!" ujar Ilham, memanggil gadis itu, tetapi lagi-lagi ia mendapatkan jawaban mengejutkan.


"Ojeg, Mas?" sahut tukang ojek yang sudah siap di atas motornya, membuat Ilham mengerutkan dahi. 

"Iya, Kang," jawab Ilham gugup. "Kang, Cewek yang tadi mana?" tanya Ilham begitu duduk di jok motor. 

"Cewek? Cewek endi, Mas? Dari tadi ndak ada siapa-siapa."

"Yang tadi mau ngojek motore Rika, Kang?"

"Nglindur, sampean Mas, Mas," jawab lelaki itu sambil geleng-geleng kepala. "Banjaran ya, Mas?" tanyanya kemudian pada Ilham. 

"Iya," jawab Ilham singkat, yang langsung disambut tukang ojek itu dengan melesatkan motornya menembus jalanan yanng masih minim penerangan. 

Kabut menyelimuti pagi, mulai memudar seiring sinar matahari yang memancar dari ufuk timur. Ilham langsung menaiki jalanan berundak menuju rumah pamannya setelah membayar ojek yang ia tumpangi. Rumah berdinding semi permanen gaya kuno tampak sepi. Bunga-bunga bakung tampak bermekaran menghiasi halaman. Meski tampak liar dan tak terawat, tetapi tetap terlihat indah dengan warna-warnanya yang cerah. 

Masa kecil Ilham dihabiskan di desa ini, tetapi sejak keluarganya pindah ke kota, Ilham tak pernah lagi menginjakan kaki di tempat kelahirannya. Orang tuanya sibuk bekerja, sementara Ilham merasa tak berkepentingan karena tak ada sanak saudaranya. Kakek dan neneknya meninggal sebelum ia pindah. Sementara pamannya lebih sering mengunjunginya di kota. 

"Ilham!" 

Tanpa disadari Ilham, Paman Wito telah berdiri di ambang pintu. Ia langsung berlari menyongsong keponakannya, kemudian mereka berpelukan sambil berjingkrak dan tertawa. Aktifitas  konyol paman dan keponakannya itu membuat pagi di musim penghujan itu terasa hangat. 

Setelah melepas kangen dengan pamannya, Ilham termenung sendiri di teras, menikmati warna merah cerah bunga Desember di halaman. 

"Paman, sejak kapan hobi menanam bunga? Bunga Desember, pula yang dipilih!" tanya Ilham, setengah meledek pamannya. 

"Kamu lupa ya, Ham? Bunga Desember adalah pengingat untukmu?"
Nada tegas ucapan Paman Wito, membuat Ilham tersentak. Ia menoleh ke arah pamannya, tetapi ia terkejut karena di sebelahnya tak ada siapa pun. 

"Paman! Paman!"
"Opo tho, Ham? Teriak-teriak, lagi nyeduh kopi ini," sahut pamannya dari arah dapur, semakin membuat Ilham keheranan.

Sejak enam bulan terakhir, Ilham selalu dihantui mimpi-mimpi aneh. Bayang-bayang tak jelas tentang kampung halaman, bunga Desember serta gadis berwajah manis yang kerap muncul dan menghilang tiba-tiba, membawanya sampai ke desa kelahirannya ini. 

"Ilham, ini ngopi dulu, biar seger!"
Bukannya menjawab, Ilham justru menatap penuh selidik pada pamannya. Mengingat kejadian-kajadian sebelumnya. 

"Ndak sopan kamu, Ham! Ditawarin minum kok malah mendelik."

"Eh iya, Paman, maaf. Suwun kopine, tak' minum sit,"

"Semprul, koe!" jawab bujang lapuk itu pada keponakannya.
Ilham hanya tersenyum, menampakan deretan gigi putihnya melihat Paman Wito cemberut. 

"Paman, aku mau keliling desa cari angin. Suwun, kopine manis kayak Paman," ucap Ilham sambil beranjak meninggalkan bujang lapuk itu sendirian. 

Ilham terus menulusuri jalanan kampung yang berbatu. Sesekali ia berpapasan dengan warga yang menatapnya penuh tanda tanya, melihat wajah asing Ilham. Beberapa kali pula ia berpapasan dengan anak-anak yang hendak berangkat sekolah. Setiap langkah kaki Ilham menyeretnya pada masa-masa sepuluh tahun silam. Dimana ia masih berseragam merah putih.

"Ilham! Aku jangan ditinggal, tunggu." Sepasang anak berseragam merah putih berlari saling berkejaran melewati IIham yang berdiri di tengah jalan. Ia memperhatikan anak-anak itu hingga tak tampak dalam pandangannya. Melihat mereka Ilham seperti melihat dirinya saat masih kecil. 

"Desvi, Desvi, Desvi." Ilham mengulang-ulang nama itu. Ia seperti menemukan benda kesayangan yang lama hilang. Potongan-potongan kenangan serupa puzel yang berserakan sedikit demi sedikit kian rapat membentuk cerita di otaknya. Ia kemudian berbalik arah, berjalan cepat menuju rumah sahabat kecilnya. 

Sepuluh menit kemudian, Ilham telah sampai di sebuah rumah lumayan mewah untuk lingkungan pedesaan. Halaman luas yang didominasi bunga Desember tertata rapi. Ilham merapatkan jaket yang dikenakannya, saat angin dingin menerpa. Rasa ragu perlahan menyergap, saat melintas dalam ingatannya, wajah lelaki bertampang seram yang selalu ditakutinya sejak kecil. Pak Wiryo, ayah Desvi. Namun, seperti ada dorongan gaib, ia terus saja melangkah memasuki pekarangan rumah itu. 

Begitu sampai di teras rumah, pintu terbuka seolah menyambut kedatangannya. "Desvi," panggil Ilham, saat dilihatnya bayangan seseorang gadis berlari, dan menyelinap masuk ke sebuah ruangan. Seperti sedang bermain petak umpet, Ilham mengikutinya hingga sampai pada sebuah ruangan minim penerangan. Ilham baru menyadari rumah itu seperti rumah kosong yang lama ditinggalkan. 

"Di mana, Desvi?" hatinya bertanya-tanya. Ia terkejut saat tangannya menyenggol benda di atas meja, disusul bunyi benda jatuh di lantai. Ia memungut benda itu dan terkejut melihat foto dalam figura yang retak kacanya. Wajah itu adalah wajah seorang gadis yang kerap menghantuinya, baik dalam mimpi dan delusi-delusinya selama ini. 

Air matanya berjatuhan seiring ingatannya pada "Desvi!" teriaknya sambil memeluk erat foto ke dalam dekapannya. Rumah itu seakan menariknya pada kejadian lima belas tahun silam. 

Cak cuk cak geer
Matine godong lengger
Sing nglomboni
Slarak jeger.

Sambil mengaitkan jari kelingking, di bawah guyuran gerimis serta kilatan petir sepasang anak berumur sembilan tahunan mengucapkan janji untuk mengingat satu sama lain sampai mati. Kemudian keduanya saling berpelukan saat suara guntur menggelegar mengagetkan keduanya. 

"Ingat ya, Ham dengan janji kita ini," ucap gadis kecil berkempang dua pada sahabatnya. Anak lelaki bertelanjang kaki itu mengangguk, meyakinkan bahawa ia sungguh-sungguh dengan janjinya. 

Rasa sesal kian menusuk hatinya. "Des, maafkan aku baru menyadarinya sekarang," ucapnya penuh penyesalan. 

Saat Ilham beranjak hendak meninggalkan tempat itu, kakinya tersandung. Sehingga menjatuhkan beberapa benda dari dalam lemari kecil yang ia jadikan pegangan. Ia mengambil kotak kayu berukuran sedang kemudian, membawanya keluar dari tempat itu. Ilham tersentak kaget begitu sampai di luar rumah. Kondisinya tak seperti saat ia baru datang, rumput-rumput liar tumbuh bebas hingga menutupi tanah. Bangunan rumah juga bukanlah bangunan rumah mewah seperti yang terlihat sebelumnya. Rumah itu adalah rumah tua, dengan bercak-bercak hitam, seperti bekas terbakar. Ia semakin menetapkan langkah keluar dari tempat itu. 

****
Ilham duduk di teras rumah pamannya, menyaksikan derasnya air hujan. Langit masih terlihat gelap, menandakan hujan masih lama berhentinya. Sementara paman Ilham, dengan setia menemani keponakannya dengan secangkir kopi di tangannya. 

"Paman, apa yang terjadi dengan Desvi," tanya Ilham pelan. Ada rasa ingin tahu, tetapi ia juga dapat menduganya sendiri, bahwa jawaban dari pamannya, pastilah sebuah kabar buruk tentang sahabat kecilnya. 

Paman Wito menarik nafas berat, sebelum menjawab. "Desvi meninggal dalam kebakaran setahun yang lalu. Tak ada satu pun anggota keluarganya yang selamat." Jawaban Paman Wito disambut dengan lelehan air mata Ilham, yang terus meluncur hingga membasahi buku diariy Desvi. Buku diariy yang menceritakan kenangan masa kecil, dan kerinduan pada Ilham. 

"Maaf, paman tidak memberitahumu tentang hal itu. Dulu, Desvi sering menanyakanmu pada paman, tapi ... "

"Iya, Paman. Aku mengerti apa sebabnya," sahut Ilham menyesalkan. 

Ingatan-ingatan masa kecil Ilham seperti ribuan potongan puzzle berserakan di kepalanya. Perseteruan antara orang tuanya dan orang tua Desvi tergambar jelas membuat Ilham merasakan sakit di ulu hatinya. Perseteruan itulah yang membuat keluarganya pindah ke kota. Kisruh tanggul sawah membuat mereka bermusuhan. Penyesalan, ketakutan, kesedihan terkumpul menjadi satu rasa yang menyesakkan dada Ilham. Ia terduduk lemas sambil menangis sesenggukan. 

"Ilham." Sentuhan lembut di pundak Ilham, mengagetkannya. Ia menoleh, dilihatnya seorang gadis berwajah manis tersenyum bahagia. 

"Desvi." Ilham memeluk pamannya, di mata Ilham sosok yang dipeluknya adalah Desvi. 

Cak cuk cak ger
Matine godong lengger
Sing nglomboni
Slarak jeger

"aku hanya ingin kau selalu mengingatku. Terima kasih sudah datang," ucap gadis itu sambil tersenyum manis, sebelum pergi. Ilham hanya bisa tersenyum sambil melambaikan tangan, melihat bayangan sahabatnya menjauh menembus air hujan. 

Tamat

Noted:
**
Cak cuk cak ger
Matine godong lengger
Sing nglomboni
Slarak jeger (mantera sebuah ikrar janji tidak menemukan bahasa Indonesia yang tepat untuk menterjemahkannya)
**
Cewek? Cewek endi, Mas? Dari tadi ndak ada siapa-siapa."= Cewek? Cewek mana, Mas? Dari tadi tidak ada siapa-siapa
**
Yang tadi mau ngojek motore Rika, Kang?"= yang tadi mau naik motornya, Abang.
**
Mendelik=melotot
***
Eh iya, Paman, maaf. Suwun kopine, tak' minum sit,"
=Oh, iya Lama, maaf. Terima kasih kopinya, saya minum dulu. 

Desember 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun